INDOMETRO Law Office

Anjlok Indeks Perspektif Korupsi dan Tantangan dalam Pemberantasan Korupsi

 




Jika korupsi adalah musuh bersama, tentu segala upaya pemberantasan terhadap korupsi akan dilakukan sepenuhnya. Namun  kenyataannya, korupsi makin marak dan akrab dengan kita. Bagaimana tidak, hampir setiap hari pemberitaan di layar kaca, media massa dan media online selalu dihiasi pemberitaan kasus korupsi, baik ditingkat nasional maupun daerah. Mulai nominal kecil sampai besar yang menimbulkan kerugian negara berdasarkan ketentuan yang berlaku.


Berbicara korupsi di Indonesia, kita dihadapkan pada tantangan besar terhadap pemberantasan kejahatan tersebut, mengingat dalam diskursus Internasional, Indonesia pernah disebut sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi sudah merambah hampir semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Tindak pidana korupsi di Indonesia mewabah ke berbagai sektor kehidupan. Hampir dipastikan, tidak ada satu ranah pun yang tidak tersentuh oleh korupsi, baik itu ranah politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan agama. Karena Korupsi sangat erat kaitannya dengan kemiskinan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan sejarah panjang dengan sederetan peraturan perundang-undangan yang ditunjang dengan lembaga khusus demi pemberantasan korupsi, namun hingga kini korupsi tetap merajalela dan masif.


Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia  tahun 2020 dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) hasilnya sudah dapat diprediksi dan sangat tidak mengejutkan. IPK Indonesia mengalami penurunan drastis,  yakni menurun dari poin 40 menjadi 37 dan berpengaruh terhadap peringkat Indonesia dari 85 menjadi 102. Politik hukum pemberantasan korupsi merupakan agenda penting Pemerintah Indonesia. Politik hukum adalah pernyataan kehendak dari negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan ke arah mana hukum itu akan dikembangkan.


Presiden Joko Widodo telah menerbitkan dan melakukan revisi terhadap sejumlah regulasi, termasuk Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2012-2025. Namun rencana aksi tersebut belum didukung dengan kerja nyatasebagai upaya pemberantasan korupsi. Jika dicermati politik hukum pemberantasan korupsi [A6] terkesan belum ada keseriusan. Misalnya upaya revisi terhadap  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPKdinilai sebagai upaya pelemahan terhadap lembaga tersebut. Pemilihan paket pimpinan KPK juga dinilai sebagai bentuk upaya agar lembaga tersebut semakin tidak bernyali lagi dalam melakukan pemberantasa korupsi. Belum lagi beberapa kasus korupsi yang mangkrak dari proses,  seperti kasus Harun Masiku yang menjadi DPO sejak 17 Januari 2020.


Belakangan ini kita juga dihebohkan dengan kasus besar, seperti kasus korupsi yang menyeret 2 Menteri, yaitu Menteri Perikanan  dan Kelautan dan Menteri Sosial. Pada satu sisi kita mengapresiasi kinerja KPK, namun di sisi lain ini menjadi pertanda dan pengingat bahwa pemberantasan korupsi masih perlu dilakukan reorientasi paradigma. Apakah formula mencegah lebih baik dari pada mengobati? Apakah keberhasilan pemberantasan korupsi itu ditandai dengan semakin banyaknya pelaku yang berhasil ditangkap? Tentu hal tersebut perlu dirumuskan bersama para pihak terkait.


Belum lagi dibeberapa putusan pengadilan, hampir terdapat disparitas pemidanaan terhadap para pelaku dan KPK sudah merilis buku terkait disparitas pemidanaan para pelaku dari Sabang sampai Merauke. Tentu saja hakim memiliki keyakinan tersendiri dalam memberikan putusan. Sejumlah buronan korupsi pun sampai sejauh ini masih melenggang bebas berkeliaran ke luar negeri. Sebut saja kasus yang terbaru di tahun 2020, yaitu kasus  Harun Masiku. Tentu ini semakin menambah buram catatan upaya pemberantasan korupsi  di Indonesia.


Salah satu aspek penting dalam pemberantasan korupsi adalah proses penegakan hukum. Penegakan hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara teliti, cermat dan komprehensif. Masa depan hukum dan penegakan hukum salah satunya ditentukan oleh hukum dan aparat penegak hukum. Namun apa jadinya jika penegak hukum bekerja sama dengan maling? Kejahatan akan terus terjadi bahkan meningkat. Akhirnya yang ditangkap dan dijerat hanya pelaku kelas teri, sementara pelaku kelas kakap masih bebas berkeliaran. Memang terkesan naif, tapi begitulah adanya.


Mengutip pesan Bernardus Maria Taverne ahli hukum dari Belanda, “Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun." Hal tersebut memperlihatkan bahwa dalam proses penegakan hukum, bukan undang-undang yang menentukan, melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya. Janganlah aparat penegak hukum justru main serong atau bermufakat dengan pelaku kejahatan. Tentu akan semakin sulit melakukan penegakan hukum. Warren Burger seorang hakim Pengadilan di Amerika Serikat pernah mengatakan, “Sistem pengadilan telah dipenuhi dengan pengacara yang buas, hakim yang ganas,dan pegawai dengan beban kesibukan yang tinggi sehingga tidak dapat penyediakan prosedur yang adil”.

 

Revisi UU KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

 

Pengesahan Revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) menunjukkan betapa Indonesia tengah berada pada titik paling rendah dalam pemberantasan korupsi. Revisi UU KPK tersebut berpotensi menjadi komoditas yang hendak ditukarkan dengan semangat pemberantasan korupsi. Maka tak ayal bahwa sejak  proses pengajuan revisi, UU KPK telah menuai protes karena tidak taat prosedur dan tak berorientasi pada semangat pemberantasan. Revisi  UU KPK tersebut dinilai sebagai untuk membajak dan melemahkan KPK karena eksistensi KPK dinilai bisa jadi dapat “mengancam" kepentingan segenlintir elit politik. Ternyata benar, belum segenap setahun pasca pemberantasan korupsi, IPK Indonesia langsung menurun drastis. Tentu banyak indikator yang menyebabkan menurunnya IPK Indonesia.



Dengan menurunnya IPK Indonesia, bagaimana masa depan pemberantasan korupsi di negara ini? Penerbitan beberapa peraturan bukanlah menjadi suatu jaminan terhadap keberhasilan dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hal tersebut harus didukung dengan beberapa faktor lainnya. Menyikapi IPK Indonesia yang menurun drastis, perlu ditinjau lagi akar persoalannya. Apakah itu menyangkut tatanan regulasi, penegak hukum, sarana pendukung dan lainnya. Jika tidak dibenahi, tidak menutup kemungkinan IPK Indonesia akan terus mengalami penurunan.


Tantangan Pemberantasan Korupsi

Menurunnya IPK Indonesia seharusnya menjadi tantangan dalam pemberantasan korupsi. Apakah IPK tersebut menjadi alarm darurat atau hanya dianggap sebagai angin lalu saja? Keseriusan negara dalam hal ini perlu dipertanyakan. Komitmen Presiden Jokowi sewaktu pencalonan Presiden periode kedua terkait dengan rencana aksi pemberantsan korupsi perlu diingatkan lagi. Paradigma pemberantasan korupsi akan menjadi tumpuan dalam upaya mengurangi angka korupsi di negara  ini. Tinggal menunggu waktu saja, apakah IPK Indonesia akan terus menurun di tahun tahun berikutnya atau ada upaya keseriusan komitmen agar bisa keluar dari zona merah korupsi.


Oleh karena itu, dalam rangka menjawab tantangan pemberantasan korupsi di masa yang akan datang, perlu  dilakukan beberapa upaya, antara lain melakukan pembenahan dalam rangka memperkuat peran dan fungsi lembaga anti korupsi. Mendorong prinsip keterbukaan pada setiap proses kebijakan yang berkaitan dengan keuangan negara yang cenderung memberikan banyak peluang untuk melakukann korupsi. Sehngga dengan prinsip keterbukaan tersebut akan dapat meminimalisir penyalanggunaan kewenangan dan konflik kepentingan. Memberikan ruang bagi masyarakat untuk turut serta berpartisipasi terkait dengan akses perumusan kebijakan agar kebijakan yang dikeluarkan akuntabel dan transparan. Semangat dan keseriusan itu harus dimulai dari penyelengggara negara.








sumber:https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=377

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال