Nikah siri menjadi salah satu fenomena yang sering terjadi di masyarakat, khususnya di Indonesia. Keberadaan praktik nikah siri menimbulkan berbagai pandangan yang kontroversial, baik dari segi hukum negara, hukum agama, maupun dampak secara sosial.
Lantas, bagaimana hukum pernikahan siri menurut pandangan Islam?
Apa Itu Nikah Siri?
Menukil buku Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri karya Yani C. Lesar, istilah nikah siri berasal dari bahasa Arab az-zawaj as-siri, yang berarti pernikahan yang dilangsungkan secara tersembunyi atau rahasia.
Nikah siri merujuk pada pernikahan yang tidak diumumkan secara luas dan tidak didaftarkan secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) atau lembaga negara. Karena tidak dicatatkan secara resmi di KUA dan tidak diakui oleh negara, pernikahan siri tidak memiliki kekuatan hukum yang sah.
Dalam buku Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam Edisi Ketiga oleh Nurul Irfan, nikah siri dijelaskan sebagai pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam, tetapi tidak tercatat secara administratif di KUA.
Dengan demikian, nikah siri dianggap sah menurut ajaran Islam karena memenuhi syarat dan rukun pernikahan, tetapi tidak memiliki keabsahan menurut hukum negara. Hal ini disebabkan oleh tidak dipenuhinya ketentuan administrasi yang diwajibkan dalam sistem hukum di Indonesia.
Hukum Nikah Siri dalam Islam
Nikah siri pada dasarnya memenuhi unsur-unsur pernikahan dalam Islam. Merujuk pada buku Nikah Siri karya Vivi Kurniawati, Lc., nikah siri dianggap sah secara agama apabila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan.
Lima rukun nikah dalam Islam berdasarkan pandangan mazhab Asy-Syafi'iyah adalah sebagai berikut:
Terdapat wali nikah
Adanya calon pengantin pria
Adanya calon pengantin wanita
Terlaksananya ijab qabul
Kehadiran dua orang saksi yang beragama Islam dan berjenis kelamin laki-laki.
Di sisi lain, nikah siri yang tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan sesuai dengan ketentuan syariat Islam dianggap haram. Pernikahan semacam ini dinilai tidak sah dan dipersamakan dengan perbuatan zina, sebagaimana dijelaskan dalam buku Seri Fiqih Kehidupan 8: Pernikahan karya Ahmad Sarwat.
Sebuah pernikahan akan dianggap sah dalam sudut pandang Islam jika pernikahan tersebut memenuhi syarat dan rukun nikah.
Menikah secara Resmi Lebih Baik
Islam mengajarkan umatnya untuk hidup bermasyarakat dengan baik dan mematuhi aturan yang berlaku, termasuk hukum pernikahan yang diatur oleh negara. Dalam konteks ini, pernikahan secara resmi dan diakui oleh hukum negara sangat penting untuk memastikan adanya perlindungan hukum bagi pasangan suami istri serta keluarga yang dibangun.
Sebagaimana diungkapkan dalam buku Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri karya Yani C. Lesar, apabila memungkinkan, sebaiknya umat Islam melangsungkan pernikahan secara resmi agar terhindar dari berbagai mudharat atau dampak negatif yang mungkin muncul setelah pernikahan, baik dari sisi hukum maupun sosial.
Salah satu alasan penting untuk menikah secara resmi adalah agar pasangan suami istri memiliki bukti yang sah (bayyinah) yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa mereka telah menikah di hadapan negara dan masyarakat.
Bukti yang dianggap sah menurut hukum syar'i adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, seperti buku nikah yang tercatat di KUA.
Dengan adanya pernikahan resmi, pasangan suami-istri memiliki alat bukti yang sah untuk memperkuat status hukum mereka sebagai pasangan yang sah dan melindungi hak-hak mereka, baik di mata hukum negara maupun dalam konteks sosial dan agama.