Berdasarkan pertanyaan Anda, kami mengasumsikan bahwa hakim yang Anda maksud adalah hakim yang berada di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung dan perkara yang Anda maksud adalah perkara pidana.
Kemudian, sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai sanksi yang dikenakan terhadap hakim yang menerima suap berkenaan dengan kasus yang sedang ia tangani.
Suap menyuap merupakan tindak pidana yang diatur di dalam UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 yang selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Jerat Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi. Dengan demikian, hakim yang terbukti menerima suap dipidana berdasarkan pasal suap dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001.
Selain merupakan tindak pidana, hakim yang menerima suap tergolong sebagai bentuk pelanggaran kode etik yaitu tidak berperilaku jujur. Salah satu bentuk perilaku jujur hakim adalah tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah keluarganya untuk meminta atau menerima hadiah, warisan, pemberian, penghargaan, pinjaman atau fasilitas dari:http://[1]
- advokat;
- penuntut;
- orang yang sedang diadili;
- pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili;
- pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan yang secara wajar patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
Hakim yang terbukti melanggar kode etik akan diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial yang selanjutnya akan diberikan sanksi kepada yang bersangkutan.[2] Adapun bentuk-bentuk sanksi bagi hakim yang melakukan pelanggaran kode etik berupa:[3]
- Sanksi ringan terdiri atas teguran lisan, teguran tertulis, atau pernyataan tidak puas secara tertulis.
- Sanksi sedang terdiri atas:
- penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 tahun;
- penurunan gaji sebesar 1 kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 tahun;
- penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 tahun; atau
- hakim nonpalu paling lama 6 bulan.
- Sanksi berat terdiri atas:
- pembebasan dari jabatan struktural;
- hakim nonpalu lebih dari 6 bulan sampai dengan 2 tahun;
- pemberhentian sementara;
- pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau
- pemberhentian tetap tidak dengan hormat.
Sanksi tersebut diberikan oleh Mahkamah Agung kepada hakim yang bersangkutan setelah diusulkan oleh Komisi Yudisial, paling lama 60 hari sejak tanggal usulan diterima.[4]
Jika Putusan Pengadilan Diputus oleh Hakim yang Menerima Suap
Pada dasarnya, setiap putusan pengadilan harus dianggap benar atau dikenal dengan asas res judicata pro veritate habetur. Artinya, putusan hakim itu harus dianggap benar dan tidak bisa dipersalahkan, sebelum ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Dalam perkara pidana, jika hakim terbukti menerima suap sehingga memengaruhi putusannya, maka para pihak dalam perkara pidana dapat mengajukan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Berikut masing-masing penjelasannya.
- Banding
Dalam hal perkara pidana akan diajukan banding, penuntut umum atau terdakwa bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi kecuali terhadap putusan bebas, putusan lepas, putusan pengadilan dalam acara cepat, dan putusan praperadilan.[5]
Permintaan banding tersebut bertujuan untuk:[6]
- menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya;
- untuk memeriksa baru untuk keseluruhan perkara itu.
Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri. Apabila perlu, pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan penetapan dari pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan tinggi dijatuhkan.[7]
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka putusan hakim yang ditetapkan berdasarkan permintaan pelaku suap, dapat dijadikan dasar untuk membatalkan putusan pada tingkat pertama atau mengubah putusan pengadilan negeri.
- Kasasi
Kasasi dapat diajukan terhadap putusan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung (misalnya banding) ataupun putusan bebas dan lepas dari pengadilan negeri.[8]
Pemeriksaan pada tingkat kasasi dilakukan untuk menentukan:[9]
- apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
- apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
- apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan hakim yang dipengaruhi oleh tindakan suap menyuap, dapat dijadikan landasan para pihak untuk mengajukan kasasi.
Majelis hakim kasasi dapat membatalkan putusan pengadilan di bawahnya jika terbukti ada kesalahan penerapan hukum atau tidak diadili menurut ketentuan undang-undang.[10]
- Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dan lepas.[11] Selengkapnya mengenai kriteria putusan berkekuatan hukum tetap dapat Anda baca dalam artikel Kapan Putusan Pengadilan berkekuatan Hukum Tetap?
Adapun alasan atau dasar permintaan peninjauan kembali adalah sebagai berikut:[12]
- jika ada keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
- apabila adalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar atau alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
- jika putusan itu jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Adapun, peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.[13] Kami berpendapat bahwa hakim yang menerima suap sehingga memengaruhi putusannya, maka putusan hakim tersebut dapat diajukan peninjauan kembali jika telah berkekuatan hukum tetap. Atas permintaan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan dan menjatuhkan putusan berupa putusan bebas, lepas, tidak menerima tuntutan penuntut umum, dan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.[14]
Sebagai informasi tambahan, apabila dalam perkara suap tersebut juga terbukti ada konflik kepentingan sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman, maka ada kemungkinan suatu putusan pengadilan dinyatakan tidak sah. Dalam hal ini yaitu ketika seorang hakim tidak mengundurkan diri dari persidangan ketika ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.[15]
Adapun yang dimaksud dengan “kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.[16]
Perkara yang terbukti ada konflik kepentingan sebagaimana dimaksud di atas, akan diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.[17]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa putusan hakim yang menerima suap tetap dinyatakan berlaku berdasarkan asas res judicata pro veritate habetur, kecuali telah diputus sebaliknya oleh pengadilan yang lebih tinggi. Namun, suap yang diterima hakim dapat dijadikan dasar yang kuat untuk membatalkan putusan tersebut dengan mengajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Selain itu, kami tekankan bahwa hakim yang menerima suap merupakan bentuk pelanggaran kode etik dan wujud pelanggaran hukum pidana.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi;
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi;
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
- Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Putusan:
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012;
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.
Referensi:
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Cetakan Kesembilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
[1] Huruf C angka 2 butir 2.2. ayat (1) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”)
[2] Huruf D angka 2 dan 3 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
[3] Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (“UU 18/2011”)
[4] Pasal 22D ayat (3) UU 18/2011
[5] Pasal 67 dan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
[6] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Cetakan Kesembilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 292
[7] Pasal 240 KUHAP
[8] Pasal 244 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 hal. 30, lihat juga Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Kedua. Cetakan Kesembilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 301
[9] Pasal 253 ayat (1) KUHAP
[10] Pasal 255 ayat (1) dan (2) KUHAP
[11] Pasal 263 ayat (1) KUHAP
[12] Pasal 263 ayat (2) KUHAP
[13] Pasal 263 ayat (1) KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 hal. 39
[14] Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP
[15] Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”)
[16] Penjelasan Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman