Hal di atas sering menjadi pertanyaan dalam pembelajaran di Fakultas Hukum, walaupun disana sini redaksi kalimatnya sangat variatif, namun inti pertanyaannya sama. Melalui artikel ini saya ingin menguatkan jawaban bahwa hukum internasional sangat bermanfaat untuk desa. Uraian mengenai landasan jawaban saya akan dituangkan dalam paragraf-paragraf di bawah ini.
Kita awali dengan hakikat sumber hukum internasional terlebih dahulu. Dalam berbagai literatur sering diuraikan bahwa berdasarkan jenisnya, sumber hukum terdiri atas hard law dan soft law. Jenis pertama sifatnya mengikat, sedangkan jenis terakhir tidak. Dengan demikian, dalam tahap penerapan hukum internasional jenis pertamalah yang dijadikan referensi utama. Hard law dalam bentuk konkrit berupa perjanjian internasional dan putusan pengadilan internasional, sedangkan soft law sering berupa deklarasi, resolusi, atau guideline (Shaw, 2003)
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah soft law digunakan oleh masyarakat internasional? Sangat digunakan. Dalam perkembangannya, banyak soft law yang menjadi motor utama pencapaian tujuan bersama (common goal). Tahun 2015, resolusi Majelis Umum PBB tentang Sustainable Development Goals (SDGs) menjadi dokumen utama diskursus keberlanjutan hingga hari ini (General Assembly, 2015). Semangat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjadi nilai yang mendasari banyak konvensi maupun peraturan nasional berkaitan dengan HAM, termasuk peraturan perundang-undangan Indonesia. Berkaitan dengan konflik Rusia-Ukraina, mayoritas negara menaruh harapan pada resolusi Majelis Umum PBB dibandingkan dengan resolusi Dewan Keamanan yang memiliki sifat mengikat itu (UN, 2022). Artinya, dalam praktik, peran soft law semakin besar, terutama saat hard law menimbulkan deadlock. Bahkan, hasil kerja Komisi Hukum Internasional pada dekade terakhir ini lebih banyak menghasilkan soft law.(Lubis, 2020)
Representatif OHCHR dalam webinar SDGs Learning, Training, and Practice bulan Juli 2022 menyampaikan bahwa program pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia yang mereka gagas mengedepankan pendekatan multi-stakeholder dengan negara anggota yang teknis kolaborasi pengimplementasiannya justru kebanyakan berdasarkan soft law. Program diklat itu sendiri merupakan pelaksanaan dari resolusi Majelis Umum PBB 66/137 tentang United Nations Declaration on Human Rights Education and Training tahun 2011 lalu. Banyak negara yang menunjukkan perkembangan positif dalam pelaksanaannya, salah satunya adalah Denmark yang dalam webinar yang sama memaparkan seluruh perkembangan program pendidikan dan pelatihan di negaranya. Dalam paparan itu, tampak jelas bahwa gerakan perbaikan itu dimulai dari komunitas lokal terlebih dahulu, bottom-up.
Lalu apa kaitan semua penjelasan di atas dengan pemerintahan Desa? Kaitannya tampak pada aspek tata kelola. Untuk mengimplementasikan kewenangannya sebagai satuan pemerintahan yang otonom, pemerintahan desa dituntut untuk memiliki inisiatif kebijakan dan kapasitas mengeksekusi kebijakan. Saat ini, banyak permasalahan dalam pemerintahan desa yang jika ditelisik selalu berkaitan dengan kapasitas untuk menata dan mengelola.
Seluruh penatakelolaan pemerintahan desa harus dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku, dan ketika kata “hukum” disebutkan haruslah mencakup hukum internasional juga karena hukum internasional adalah bagian dari hukum Indonesia, seperti yang ditunjukkan Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara (Melatyugra, 2016; MK, 2017). Tentu saja, ketika menggunakan hukum internasional untuk kepentingan tata kelola di Desa, soft law harus dipertimbangkan. Pentingnya hukum internasional dalam konteks tata kelola Desa dapat dilihat dari dua aspek utama yaitu aspek kewilayahan dan aspek kependudukan. 91 persen wilayah Indonesia adalah desa dan 43 persen penduduk Indonesia ada di desa (Iskandar, 2020). Dengan demikian, penggunaan maksimal segala sumber hukum yang ada untuk pemerintahan desa menjadi urgen. Banyak kesenjangan peraturan perundangan nasional yang dapat diisi oleh hukum internasional.
Dua kovenan yang amat relevan untuk dipahami aktor pemerintahan desa adalah International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Selanjunya, tiga dokumen soft law yang berkaitan langsung dengan desa adalah resolusi Majelis Umum PBB tentang SDGs, United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas (UNDROP), dan Rome Declaration on World Food Security (Deklarasi Roma).
ICESCR adalah perjanjian internasional yang menjadi landasan bagi seluruh negara peserta untuk menjamin pemenuhan hak bekerja dan mengembangkan diri untuk menjadi sejahtera. Kovenan ini dapat dijadikan referensi ketika aparatur desa ingin mengembangkan kebijakan berkaitan dengan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat desa.
ICCPR adalah perjanjian internasional yang menjadi landasan bagi seluruh negara peserta untuk menjamin hak-hak politik yang non-diskriminatif. Prinsip ini kemudian berkembang menjadi prinsip inklusif dalam segala aspek kebijakan publik. Kovenan ini dapat dijadikan referensi ketika aparatur desa ingin mengembangkan kebijakan berkaitan dengan standar operasional pemilihan kepala desa atau aparatur desa, termasuk peningkatan partisipasi masyarakat desa dalam bidang politik di desa.
Resolusi Majelis Umum PBB tentang SDGs khususnya Tujuan 2 selalu menyasar area pedesaan dan masyarakat desa. Tujuan 2 menggunakan bidang pertanian sebagai entry point. Tersedianya sumber makanan yang adekuat dan terjaminnya kesehatan masyarakat desa dapat dikelola dengan mengombinasikan nilai dalam ICESCR dan Tujuan 2 ini.
Selanjutnya adalah UNDROP. Deklarasi ini merupakan instrumen hak asasi manusia yang fokusnya pada hak asasi petani dan rakyat yang bekerja di pedesaan. Dokumen ini merupakan elaborasi hak sosial dan hak ekonomi petani secara khusus dan pekerja di desa secara umum. Sudah sangat jelas dokumen ini penting dijadikan referensi bagi pengembangan kebijakan di desa baik oleh Kepala Desa berdasarkan kewenangannya bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa.
Deklarasi Roma adalah pernyataan dunia berkaitan dengan ketahanan pangan yang meliputi ketersediaan dan akses terhadap pangan yang mumpuni. Ketersediaan harus dipastikan bagi masyarakat desa juga, jangan hanya dibiarkan desa sebagai penghasil pangan semata. Di saat bersamaan, masyarakat desa mampu menyediakan pangan yang cukup dan sehat untuk dirinya dan keluarganya adalah makna dari mampu mengakses pangan yang pada akhirnya akan berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di desa.
Uraian singkat tentang inti dan isi dari kelima instrumen hukum di atas merupakan contoh sederhana tentang betapa relevannya materi hukum internasional bagi penyelenggaraan pemerintahan desa terutama untuk referensi pembentukan kebijakan sejalan dengan wewenang pemerintahan desa. Hal ini sejalan dengan asas rekognisi-subsidiaritas dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 (Eko, 2015). Inisiatif harus berasal dari Desa dan subjek utama pelaksananya adalah Desa.
Sebagai simpulan, ungkapan think globally, act locally adalah kalimat yang senantiasa relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa dan kehidupan masyarakat desa sehari-hari dan hukum internasional sangat membantu mencapai tujuan itu.
sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=628