INDOMETRO Law Office

Dilema Polson Pill dalam Hostile Takeover: Tinjauan Fiduciary Duty, Duty of Loyalty, Care


Direksi dalam kapasitasnya sebagai organ perusahaan

Direksi adalah organ perseroan terbatas yang  bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Dalam kapasitasnya, direksi wajib bertindak dengan dilandasi doktrin fiduciary duty, di mana direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan penuh itikad baik, serta menghindari adanya benturan kepentingan, direksi juga diharuskan untuk bertindak dengan penuh kehati-hatian (duty of care) dan dapat mengutamakan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadinya (duty of loyalty). (Syarief, dkk, 2017 : 81)


Konsep tanggung jawab direksi tersebut secara langsung berkaitan dengan konsep business judgement rule, yaitu konsep yang menyatakan bahwa direksi perseroan tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban hukum atas keputusan yang diambilnya walaupun keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi perusahaan, sepanjang keputusan itu dilakukan dengan itikad baik, tujuan, dan cara yang benar, dasar yang rasional, dan kehati-hatian. (Syarief, dkk, 2017 : 98)


Aksi korporasi merger dan akuisisi yang melibatkan take over

Dengan semakin tingginya dinamika iklim pada sektor bisnis dan ekonomi, perusahaan berbondong-bondong mengadopsi sistem dan taktik yang dinilai efektif untuk menaikkan tingkat efisiensi dan meningkatkan kapabilitas perusahaan sehingga dapat meningkatkan daya saing. Dari berbagai jenis aksi korporasi, dua di antaranya yang paling populer adalah merger dan akuisisi, yang mana kedua aksi tersebut kerap dianggap sebagai “the top level management action”.


Baik merger maupun akuisisi, keduanya melibatkan proses take overTake over adalah istilah yang kerap digunakan untuk mendeskripsikan suatu proses pengalihan dan pengambilalihan aset atau saham sebuah perusahaan oleh suatu kelompok atau individu tertentu pemegang saham terhadap pemegang saham lain. Dengan kata lain take over adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan adanya upaya untuk menguasai manajemen perusahaan, di mana hal ini dilakukan dengan pengambilalihan aset sampai dengan persentase tertentu. (Tarigan, dkk, 2016 : 45)


Konflik kepentingan yang kerap dialami direksi dalam menanggapi adanya take over

Selanjutnya, dalam konteks take over umumnya terdapat suatu konflik yang berhubungan erat dengan paradigma fiduciary duty, duty of care, dan duty of loyalty direksi. Hal ini dikarenakan adanya kepentingan pribadi direksi dan kewajibannya yang sering kali bersinggungan. Sudah bukan rahasia umum bahwa praktik  take over yang dilakukan untuk keperluan merger dan akuisisi pasti akan berimbas pada perampingan perusahaan, di mana hal ini dapat mengancam posisi manajemen operasional perusahaan secara keseluruhan termasuk posisi direksi dari perusahaan yang menjadi target merger atau akuisisi. Maka dari itu, direksi perusahaan target sering kali mengesampingkan manfaat dan keuntungan yang akan diperoleh dari merger maupun akuisisi yang dimaksud, dan cenderung mencegah terjadinya take over. (Hurt, 2016 : 145)


Direksi memiliki kapasitas untuk menentukan arah manajemen perusahaan, sehingga dalam proses take over direksi perusahaan target merupakan stakeholder yang menentukan keberlangsungan proses tersebut. Bilamana direksi perusahaan target tidak menghendaki adanya take over oleh suatu penawar (bidder), hal ini mengindikasikan upaya friendly take over tersebut gagal, dalam hal ini bidder kemungkinan besar akan melakukan upaya hostile take over.


Hostile take over adalah upaya take over yang dilakukan oleh bidder secara tidak ramah. Hal ini dilakukan dengan mem-bypass direksi perusahaan target dan langsung mendekati para pemegang saham perusahaan tersebut, dengan tujuan menguasai saham perusahaan target sampai dengan persentase tertentu sampai pada titik di mana bidder dapat mempengaruhi manajemen perusahaan target. Hostile take over memiliki banyak variasi, namun yang paling umum adalah hostile bid, di mana bidder akan menawarkan untuk membeli saham target dari para pemegang saham dengan taksiran harga yang lebih tinggi dari nilai intrinsiknya. 


Menanggapi adanya suatu praktik mempengaruhi pemegang saham perseroan target yang dilakukan “di belakang” direksi perusahaan target, respons yang lazim dilakukan oleh direksi adalah mengadopsi atau mengaktifkan suatu bentuk anti take over measure, yang bertujuan untuk menghentikan kegiatan bidder tersebut atau untuk memaksa bidder untuk patuh dan merundingkan lebih lanjut mengenai transaksi ini langsung kepada direksi perusahaan target.


Poison pill sebagai mekanisme pertahanan perusahaan dalam hostile take over

Poison pill atau biasa dijumpai dengan istilah shareholder rights plan adalah suatu taktik defensif dalam menanggapi adanya hostile takeover dengan cara mencegah adanya eskalasi yang terus meningkat atas kepemilikan saham perusahaan target oleh investor tunggal. Taktik ini digunakan pada situasi di mana terdapat suatu pemegang saham atau bidder yang patut dicurigai memiliki suatu niat untuk melakukan take over


Penggunaan taktik ini sangat bervariatif, namun semuanya bertujuan untuk menangkal adanya hostile bidder, bentuk yang paling umum digunakan adalah flip-in poison pills, yaitu taktik yang akan aktif apabila terdapat kepemilikan saham bidder yang sudah mencapai  threshold kepemilikan yang telah ditentukan, seperti misalnya 15-20% kepemilikan. Dalam hal ini, poison pill akan memberikan suatu rights kepada para pemegang saham kecuali bidder dengan harga diskon 50% dari market value, maka dari itu apabila rights tersebut ditransaksikan maka akan menurunkan persentase kepemilikan saham dari hostile bidder. Adapun variasi lain dari poison pill yang kerap digunakan seperti flip-over poison pills, poison debt, put rights plan, dan sebagainya.  (Hurt, 2016 : 147)


Taktik ini memanfaatkan tekanan finansial yang dirancang sedemikian rupa agar memaksa hostile bidder untuk mengeluarkan kekayaan lebih banyak atau tidak sama sekali. Kerap ditemukan adanya hostile bidder dengan motivasi yang sangat tinggi, dalam hal ini apabila hostile bidder bersangkutan tetap melancarkan upaya take over terlepas adanya poison pill, maka direksi bisa saja mengadopsi jenis poison pill yang berbeda atau me-reset poison pill tersebut, namun yang pasti penggunaan poison pill baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada penurunan nilai saham perusahaan. (Hurt, 2016 : 148)


Secara normatif poison pill dapat mengakomodir sejumlah waktu untuk para pemegang saham agar dapat mempertimbangkan bid yang ditawarkan oleh hostile bidder, bahkan tidak menutup kemungkinan akan ada bid yang lebih menguntungkan dari pihak lain. Selain itu direksi dan pemegang saham secara bersama-sama juga dapat mengevaluasi bid dan hostile bidder yang bersangkutan, apakah kedua hal tersebut baik bagi perusahaan atau tidak. Di sisi lain, poison pill juga bisa dengan sengaja dimanfaatkan oleh direksi sebagai pencegahan dalam rangka menangkal bid tersebut ataupun menurunkan valuasi perusahaan, dengan maksud agar hostile bidder mengurungkan niatnya untuk melakukan take over.  (Hurt, 2016 : 146)


Berdasarkan beberapa literatur, terdapat dua hipotesis mengenai dampak dari penggunaan poison pill. Hipotesis pertama adalah management entrenchment hypothesis menyimpulkan bahwa penggunaan poison pill dilatarbelakangi oleh manajemen perusahaan target yang mau melindungi posisinya, maka dari itu manajemen akan melakukan berbagai upaya yang akhirnya berimbas pada timbulnya efek pencegahan yang lebih dominan dibandingkan dengan daya tawar yang dimiliki oleh perusahaan target. Dengan kata lain, sangat kecil kemungkinannya bagi pemegang saham untuk mendapatkan offer yang lebih premium, melainkan hal ini berdampak pada penurunan nilai saham. Dalam hal ini Ryngaert (1988) menyimpulkan bahwa terhadap perusahaan yang telah menggunakan poison pill secara ketat, maka terdapat perubahan harga saham negatif yang dapat dilihat. (Arikawa, dkk, 2008 : 5)


Di lain sisi, adapun hipotesis the shareholder interest hypothesis yang berkesimpulan bahwa apabila daya tawar yang dimiliki oleh perusahaan target lebih tinggi dibandingkan efek pencegahan yang dihasilkan dari poison pill, maka dalam hal ini perusahaan dapat memanfaatkan taktik ini untuk mendapatkan offer yang paling menguntungkan. hal ini pun didukung oleh, Comment dan Schwert (1995) dan Heron dan Lee (2006) sepakat bahwa penggunaan poison pill dapat meningkatkan penawaran premium tanpa menurunkan kemungkinan adanya take over. (Bothmer, 2018 : 5)


Kewajiban direksi untuk menjunjung tinggi fiduciary duty, duty of care, dan duty of loyaly dalam penggunaan poison pill


Adanya kedua hipotesis mengenai output diberlakukan poison pill mengindikasikan bahwa poison pill tidak sepenuhnya akan memberikan hasil akhir yang positif maupun negatif, melainkan hasil akhir dari penggunaan taktik ini dipengaruhi oleh dampak yang dihasilkan oleh poison pill itu sendiri terhadap perusahaan, di mana hal ini bergantung pada perbandingan efek pencegahan dan daya tawar perusahaan pasca penggunaan poison pill itu sendiri. Dalam hal ini motif dan intensi direksi dalam penggunaan poison pill juga merupakan faktor penting dalam menentukan perbandingan tersebut.


Direksi selaku roda penggerak perusahaan dan pihak bertanggung jawab dalam penggunaan poison pill, harus membuat keputusan terkait pengadopsian poison pill dengan memperhatikan norma-norma yang terkandung dalam fiduciary duty, duty of loyalty, dan duty of care, maka dari itu dalam penggunaan poison pill direksi harus mementingkan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadinya.


Adanya sinergi yang sehat antara direksi dan para pemegang saham dalam menanggapi hostile take over akan menciptakan suatu keputusan yang memuaskan dan tidak menimbulkan persoalan antara pihak-pihak dalam perusahaan, terlepas dari adanya keuntungan maupun kerugian sebagai dampak dari take over. Dengan kata lain, pengadopsian poison pill tidak selamanya berkonotasi buruk walaupun hal ini sangat berisiko dan memungkinkan terjadinya kerugian pada perusahaan. Selama dalam penggunaannya direksi menjunjung tinggi prinsip fiduciary duty, duty of loyalty, dan duty of care, maka direksi masih bertindak di dalam ruang lingkup  business judgement rule dan tidak dapat dipersalahkan dan dibebankan pertanggungjawaban hukum.






sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=688

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال