INDOMETRO Law Office

Diskusi Hukuman Mati bagi Koruptor






Sampai saat ini, perdebatan antara kelompok retensionis dengan kelompok abolisionis mengenai hukuman mati masih berlanjut. Dalam konteks hukum positif, eksistensi hukuman mati di Indonesia masih ada dan belum dicabut dari berbagai ketentuan perundang-undangan pidana baik yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di luar KUHP dan saat ini juga masih diatur dalam RUU KUHP versi September 2019. Sehingga sebagai stelsel pidana, eksistensi hukuman mati masih dilegitimasi oleh Pasal 10 huruf a KUHP, hal ini memberikan konsekuensi bahwa hukuman mati tetap sah sebagai sanksi yang diancamkan pada berbagai kejahatan serius yang tercantum dalam berbagai undang-undang terkait hukum pidana di luar KUHP.


Dalam konteks pemberantasan korupsi, hukuman mati diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Adapun bunyi redaksi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengatur bahwa: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”


Frasa “dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan” pada ayat tersebut tentu menjadi pertanyaan. Lebih lanjut dalam penjelasan frasa “keadaan tertentu” ini dianggap sebagai pemberatan hukuman jika korupsi dilakukan, diantaranya dalam keadaan bencana alam nasional, negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Selanjutnya pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Sehingga secara normatif, jika memenuhi unsur delik, hukuman mati dapat diterapkan.


Kita sempat dihebohkan dengan kasus yang terjadi di penghujung tahun 2020. Tidak lain tidak bukan, kasus tersebut adalah kasus yang dilakukan oleh Menteri Sosial saat itu, Juliari Batubara (JB), terkait korupsi pengadaan bantuan sosial atau bansos penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial Tahun 2020. Dalam pernyataan pimpinan Komisi Pemberantasan Korups (KPK), JB terjerat kasus suap dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako untuk warga miskin dan berpotensi dapat dijatuhi dengan hukuman mati.


Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menuntut Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga menuntut pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun setelah JB selesai menjalani masa pidana pokok. Juliari dinilai melanggar Pasal 12 huruf b jo. Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Mengacu pada kasus di atas, tetap saja Pasal 2 UU Tipikor tidak diterapkan dalam kasus tersebut. Setiap perbuatan pidana sudah diatur pasalnya. Jadi tinggal ditentukan saja pasal apa yang mau diterapkan.


Hukum Pidana Indonesia menganut asas legalitas yang berati tanpa peraturan yang jelas maka suatu tindak pidana dianggap tidak ada. Selanjutnya dalam penerapan pembuktian pidana, hukum acara pidana akan membuktikan setiap unsur-unsur pidana terpenuhi. Apabila unsur-unsur pidana yang didakwakan tidak terpenuhi, maka kemungkinan besar peristiwa pidana yang dibuktikan di pengadilan tidak bisa dituntut seperti keinginan JPU.


Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana pada awalnya berfungsi untuk memeberikan efek jera kepada pelaku, sehingga si pelaku akan berpikir lagi jika ingin melakukan perbuatan yang melawan hukum. Namun adakalanya si pelaku bukannya merasa jera, malah melakukan kejahatan yang sama, padahal dia sudah pernah dihukum karena kejahatannya. Penjatuhan pidana mati diharapkan mampu memberikan efek jera. Dasi sisi lain menjatuhkan hukuman pidana mati bagi koruptor bukanlah hal yang mudah. Tentu saja ada pihak yang pro dan kontra dari kalangan aktivis HAM. Sebagian berpendapat bahwa pidana mati sudah tidak lagi sesuai dengan konsep atau paradigma hukum pidana moderen saat ini. Sehingga dilematis dalam menjatuhkan hukuman mati baik terhadap terpidana korupsi maupun terpidana lainnya.


Pelaksanaan Hak Asasi Manusia bukanlah sesuatu yang bersifat absolut dan mutlak, sangat dimungkinkan adanya ruang pembatasan untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.


Berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) di atas, jelas menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ketentuan pasal tersebut harus diatur dalam undang-undang, artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut maka tidak dimungkinkan dilakukannya pembatasan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan yang melekat pada setiap orang dan warga negara Indonesia.


Dalam implementasi penjatuhan pidana mati, kepastian hukum menghendaki bagaimana hukum dilaksanakan, tanpa peduli bagaimanapun sulitnya menerapkan hukum itu. Hal ini dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam masyarakat, misalnya “Barang siapa terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka ia harus dihukum”. Ketentuan ini menghendaki agar siapapun apabila melakukan perbuatan tersebut maka ia harus dihukum. Kemudian masyarakat menghendaki adanya manfaat dalam pelaksanaan peraturan atau penegakan hukum tersebut. Hukum tersebut untuk melindungi kepentingan masyarakat, dalam hal ini terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, selain itu keadilan juga harus diperhatikan.


Memang pada dasarnya, hakim memiliki otoritas penuh dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara. Namun ketentuan dalam undang-undang setidaknya memberikan pedoman bagi hakim. Mengutip pesan Bernardus Maria Taverne (1874-1944), ahli hukum dari Belanda, bahwa “Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun." Hal tersebut memperlihatkan bahwa dalam proses penegakan hukum, bukan undang-undang yang menentukan, melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya.


Banyak kalangan berharap, upaya pemberantasan korupsi diharapkan mampu memberikan efek jera dan menekan tingkat tindak pidana korupsi. Pemberatan hukuman mati bagi koruptor yang tertulis dalam UU Tipikor seharusnya dapat diterapkan. Tidak hanya sebatas wacana dan pajangan tertulis yang terkesan hanya formalitas belaka. Walaupun dalam perkembangan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, belum ada satupun pelaku korupsi yang dieksekusi dengan pasal pemberatan tersebut. Pada akhirnya penulis berharap, dengan masih adanya hukuman mati dalam hukum positif, tidak hanya sebatas wacana dalam menciptakan rasa takut di masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan yang sama, tetapi dapat diimplementasikan dalam proses penegakan hukum terutama dalam kejahatan tindak pidana korupsi.






sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=427

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال