Baru-baru ini kita dibuat heboh dengan fenomena munculnya kaum milenial yang dilabeli “Crazy Rich”. Istilah Crazy Rich sendiri dalam Bahasa Indonesia artinya “Super Kaya”. Istilah ini dikenalkan oleh Kevin Kwan dalam novel “Crazy Rich Asian” yang menceritakan Nick Young anak dari keluarga terkaya di Singapura yang terlahir kaya raya dari bisnis keluarga. Istilah ini di Indonesia sendiri sepertinya sedikit berbeda, justru diberikan kepada mereka yang “mendadak kaya”. Sebagian dari mereka hanya butuh waktu relatif singkat mengumpulkan harta kekayaan, sayangnya cara pengumpulan harta tersebut dianggap ilegal oleh negara.Sebut saja kasus IK dan Kasus DS, yang sempat viral dengan gaya hidupnya karena kerap memamerkan dan membagikan harta kekayaannya kepada kalangan bawah hingga artis-artis. IK dan DS sendiri adalah afiliator Binomo dan Quotex, keduanya adalah platform trading yang menyediakan perdagangan Binary Option (opsi biner). Artikel ini akan mencoba membahas 1) apakah perbuatan IK dan DS bisa disebut tindak pidana? 2) bagaimana upaya memulihkan hak para korban?
Dugaan Tindak Pidana
Dikutip dari Tribun.news, baik IK dan DS adalah affiliator atau pihak yang bekerjasama dengan sebuah perusahaan, bertugas menarik calon konsumen. IK dan DS mencari konsumen dengan mengiming-imingi keuntungan dengan cara mereka menawarkan sebuah kode atau nomor referral yang seakan-akan kode ini dapat menjadi diskon atau bahkan meningkatkan kemungkinan “menang” bagi calon konsumen. Jika ada konsumen yang menggunakan kode tersebut, maka baik IK maupun DS akan mendapat komisi dari setiap transaksinya, bahkan jika konsumen kalah maka komisi yang diterima IK dan DS akan semakin besar. Produk yang dipromosikan oleh keduanya adalah Binary Option atau opsi biner. Sederhananya produk ini adalah “mutasi” atau pengembangan dari kontrak berjangka (futures contract).
Kontrak berjangka di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, sebagaimana terakhir kali diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2017 (selanjutnya disebut “UU Perdagangan Berjangka”). Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Kontrak Berjangka adalah suatu kontrak standar untuk membeli atau menjual komoditi dengan penyelesaian kemudian sebagaimana ditetapkan di dalam kontrak yang diperdagangkan di Bursa Berjangka. Menurut Pantas Lumban Batu, kontrak berjangka dilakukan dengan tujuan hedging atau lindung nilai dari sebuah komoditi yang diperjualbelikan (vide: Pantas Lumbun Batu, Perdagangan Berjangka, Dian Utama, Jakarta, 2008, hlm 19). Contoh sederhananya jika pada tanggal 1 April 2022 Budi sepakat untuk membeli jagung sebanyak 3 ton dari Abhim seorang petani jagung, dimana perjanjian ini berlaku selama 3 bulan, sehingga selama 3 bulan Abhim harus menyediakan 3 ton jagung kepada Budi. Dengan kontrak berjangka, harga jagung yang harus dibayarkan oleh Budi kepada Abhim tidak akan mengalami perubahan, harganya tetap sesuai dengan harga yang disepakati pada tanggal 1 April 2022 lalu, walaupun harga jagung dipasaran selama periode 3 bulan tersebut mengalami kenaikan atau bahkan penurunan.
Dalam Pasal 1 angka 8 UU Perdagangan Berjangka, juga dikenal istilah “Opsi” sama seperti jual beli saham, pembeli kontrak berjangka melalui bursa memiliki opsi untuk menjual atau mengalihkan kontrak berjangka yang telah ia beli. Dari opsi jual-beli inilah trader kontrak berjangka mendapat keuntungan, hasil selisih antara harga jual dan beli. Contoh sederhana, ketika Budi yang sudah membeli kontrak berjangka pada 1 April 2022 dengan harga Rp1.000.000, dengan jangka 3 bulan sampai 1 Juni 2022. Namun, kemudian ia melihat adanya kenaikan harga jagung pada 1 Mei 2022 di harga Rp1.500.000, maka Budi memiliki opsi untuk mengalihkan kontrak berjangka tersebut kepada orang lain. Sebut saja Barin, yang kemudian membeli kontrak berjangka dari Budi, karena menurut Barin harga jaung sampai dengan 1 Juni 2022 akan terus naik dan melihat potensi dapat dijual kembali. Jadi inilah praktik paling sederhana dari Kontrak Berjangka dengan opsi. Sesuai UU Perdagangan berjangka semua Kontrak Berjangka dengan opsi yang diperdagangkan di bursa harus memiliki izin atau dibawah pengawasan Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi atau BAPPEBTI.
Lalu apa itu opsi biner? opsi biner tidak dijelaskan di dalam UU Perdagangan Berjangka maupun dalam peraturan turunannya, bahkan BAPPEBTI dalam unggahan resminya menyatakan bahwa Opsi Biner adalah kegiatan yang dilarang. Perlu diketahui bahwa sepanjang 2021 BAPPEBTI telah memblokir setidaknya 1.222 domain investasi termasuk yang memperdagangkan opsi biner. Opsi Biner diperkenalkan di Amerika setidaknya secara publik pada tahun 2008, ketika terjadi krisis besar-besaran hingga terjadi peristiwa bangkutnya Lehman Brothers. Hal ini diakibatkan adanya subprime mortgage yang didominasi oleh aset properti yang memiliki underlying semu, seperti yang divisualisasi dalam film The Big Short garapan sutradara Adam McKay. Sejak saat itu orang-orang mulai mencari investasi yang lebih mudah dan instant, hingga akhirnya diperkenalkanlah opsi biner. Kenapa disebut biner? biner murapakan bahasa program yang hanya terdiri dari angka “0” dan “1” atau hanya ada dua kemungkinan dalam sistem biner, seperti “ya” dan “tidak”. Opsi Biner menurut Wall Street Survivor adalah perdagangan komoditas dengan cara menebak harga pasarnya pada periode tertentu, trader cukup menebak salah dan benar saja, jika tebakan benar maka trader akan untung, jika tebakan salah maka nilai investasi akan berkurangan atau bisa jadi habis.
Lantas, apakah legal di Indonesia ? sistem ini illegal di Indonesia, sebab memang belum ada dasar hukumnya dan diperkuat dengan pernyataan otoritas BAPPEBTI. Namun yang menjadi menarik adalah opsi biner ini mendasarkan permainannya pada harga berbagai komoditas/asset, seperti emas yang ada di bursa komoditas berjangka, sehingga ia masuk ranah pengawasan BAPPEBTI. Sayangnya jika memang sejak awal kegiatan ini illegal, seharusnya otoritas tidak perlu waktu satu atau hingga tiga tahun untuk bersikap, excess-nya fenomena kaya mendadak menjadi jamur dan banyak masyarakat menjadi korban.
Kemudian pasal atau tindak pidana apa yang dilanggar oleh affiliator seperti IK dan DS ? di luar dari pasal yang sempat disebutkan pihak kepolisian mulai dari penipuan hingga pencucian uang, penulis berpendapat seharusnya asas lex specialis derogate lex generalis berlaku dalam kasus ini, sebab apa yang dilakukan keduanya ternyata melanggar Pasal 57 Ayat (2) huruf d Jo. Pasal 72 UU Perdagangan Berjangka “Setiap Pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi pihak lain untuk melakukan transaksi kontrak berjangka, kontrak derevatif syariah, dan/atau kontrak deravatif lainnya dengan cara membujuk atau memberi harapan keuntungan di luar kewajaran” pelanggar pasal diancam pidana paling lama delapan tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00-(sepuluh milyar rupiah). Selain itu baik IK maupun DS sama-sama memberikan edukasi atau tips & trik bermain opsi biner, layaknya peran seorang “Penasihat Berjangka”. Perlu diketahui kegiatan seperti ini juga berpotensi melanggar Pasal 34 Jo. Pasal 71 Ayat (3) UU Perdagangan Berjangka, sebab menjadi penasihat berjangka juga harus mendapat izin dari BAPPEBTI. Pelanggar pasal ini diancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00-(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00-(satu milyar lima ratus juta rupiah).
Upaya Memulihkan Hak Korban
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh oleh para korban, mulai dari gugatan keperdataan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, penggabungan gugatan dengan tuntutan pidana berdasarkan Pasal 98 KUHAP, restitusi, atau yang penulis sarankan melalui tulisan ini adalah melakukan permohonan pengembalian harta sitaan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana lain (“Perma 1/2013”).
Keuntungan menggunakan Perma 1/2013, harta kekayaan IK dan DS yang disita pada perkara pidana dapat dimohonkan kepada hakim untuk dilelang kemudian hasilnya dibagikan kepada para korban. Kerap terjadi ketika harta benda pelaku disita dalam kasus pidana seperti TPPU, umumnya benda tersebut akan dirampas untuk negara. Hal ini akan berdampak pada gugatan perdata atau restitusi yang diajukan para korban menjadi sia-sia. Sebab ketika harta benda pelaku dirampas untuk negara maka sudah tidak ada lagi harta benda yang dapat dieksekusi untuk memenuhi gugatan keperdataan / restitusi, seperti yang terjadi pada kasus First Travel pada 2017 lalu. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan Perma 1/2013 antara lain:
Permohonanan hanya dapat diajukan oleh pihak penyidik, sehingga perlu kesadaran dan koordinasi antara penyidik dan para korban;
Permohonan yang dibuat penyidik harus memuat rincian harta kekayaan yang telah disita dan alasan kenapa harus diberikan penetapan penanganan harta oleh pengadilan, dan disampaikan ke ketua pengadilan negeri (“KPN”) tempat harta berada, atau di salah satu tempat harta berada, dalam hal harta di luar negeri maka permohonan ditujukan ke KPN Jakarta Pusat;
Setelah berkas lengkap KPN melakukan pengumuman selama 30 hari kerja, untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang merasa memiliki namun tidak dilibatkan dalam permohonan;
Jika tidak ada keberatan, KPN kemudian menunjuk hakim untuk memeriksa dan memutus permohonan tersebut;
Hakim pemeriksa, akan memutus permohonan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak sidang pertama, dengan memeriksa alat bukti dan barang bukti yang dihadirkan pemohon (penyidik);
Hakim pemeriksa perkara dalam putusannya akan memutuskan apakah harta kekayaan hasil tindak pidana disita sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak (para korban);
Terhadap putusan tersebut, apabila masih ada pihak yang merasa berhak, masih dapat mengajukan keberatan.
Hingga saat ini penulis hanya menemukan satu kasus tindak pidana saja yang menggunakan Perma 1/2013, yakni dalam Putusan 1/P-TPPU/2021/PN bir., dalam kasus tersebut hakim memerintahkan aset milik terdakwa dilelang untuk negara. Sehingga bisa dikatakan bahwa sampai dengan saat ini Perma 1/2013 belum pernah digunakan untuk kepentingan korban perorangan. Padahal Perma 1/2013 dapat menjadi solusi berbagai masalah hukum terkait penyitaan dan pemulihan hak korban, apalagi Indonesia tengah gencar mempromosikan keadilan restoratif.
sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=740