Krisis kemanusiaan dan konflik yang terjadi di jalur Gaza dan Tepi Barat antara Hamas, organisasi yang dibentuk oleh Ahmad Yasin pada 1987 sebagai oposisi terhadap Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO)
Terhitung sejak 7 Oktober 2023 sampai dengan 1 November 2023, korban jiwa di pihak Palestina mencapai sejumlah 8.805 dengan korban luka sampai menyentuh angka 22.240. Sedangkan di pihak Israel sendiri, jumlah korban tercatat sejumlah 6.815 dengan detail 1.415 korban jiwa dan 5.400 korban luka
Serangan Hamas dan Respons Israel
Pada hari Sabtu, 7 Oktober 2023 yang bertepatan dengan hari Sabat dan sehari setelah peringatan 50 tahun Perang Yom Kippur, Hamas dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina lainnya melancarkan Operation Al-Aqsa Flood, sebuah serangan terkoordinasi yang terdiri dari serangan darat dan udara ke berbagai wilayah perbatasan Israel. Pada pukul 6 pagi waktu setempat, sebuah serangan udara ekstensif yang melibatkan roket diluncurkan ke kota-kota pesisir Ashdod dan Ashkelon dan sejauh Tel Aviv (sekitar 70 kilometer di utara Gaza). Diperkirakan antara 3.000-5.000 roket diluncurkan pada hari pertama.
Sekitar 1.000 militan Hamas juga menerobos penghalang keamanan di beberapa posisi. Hamas dilaporkan menerobos perbatasan pada awalnya dengan mengirimkan pasukan elit melalui glider, dan para tentara tersebut kemudian mulai membongkar pagar listrik dan tembok dengan menggunakan bahan peledak. Buldoser dilaporkan kemudian digunakan untuk menciptakan ruang bagi lebih banyak pejuang untuk masuk ke Israel di beberapa titik.
Setelah serangan masuk, para militan menyerang markas Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Gaza selatan dan menyerbu beberapa fasilitas militer dan polisi. Hamas membuat IDF lengah, dan pasukannya mampu bergerak cepat melewati daerah perbatasan, mencapai hingga 14 mil dari perbatasan. Militan lainnya menyerang kota-kota, kibbutzim, dan jalan-jalan, membunuh dan menculik ratusan perwira dan warga sipil Israel. Pihak berwenang Israel menemukan sedikitnya 260 mayat di lokasi festival musik dekat Re'im, dekat dengan tempat para militan Hamas menerobos pagar keamanan. Diperkirakan 130 sandera dipindahkan ke Gaza
Israel tidak tinggal diam atas serangan yang dilakukan oleh Hamas ke negaranya. Israel melakukan serangan balasan ke Gaza dengan mengklaim setidaknya telah menjatuhkan 6.000 bom di Gaza dengan estimasi seberat 4.000 ton. Serangan balasan tersebut juga dibarengi dengan blokade akses pangan dan energi ke wilayah tersebut. Israel memotong akses terhadap makanan, air, obat-obatan dan bahan bakar
“Dalam pengepungan dan pengeboman, semua langkah yang diperlukan harus diambil untuk menyelamatkan, sedapat mungkin, gedung-gedung yang didedikasikan untuk agama, seni, ilmu pengetahuan, atau tujuan-tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat penampungan orang-orang sakit dan terluka, asalkan gedung-gedung itu tidak sedang digunakan untuk tujuan-tujuan militer.
Pihak yang terkepung berkewajiban untuk menunjukkan keberadaan gedung-gedung atau tempat-tempat seperti itu dengan tanda-tanda yang jelas dan dapat dilihat, yang harus diberitahukan kepada pihak musuh sebelumnya.”
Lebih lanjut, Human Rights Watch (HRW) juga menyatakan bahwa Israel menggunakan bom fosfor dalam melakukan penyerangan ke kawasan pelabuhan Gaza pada 11 Oktober 2023. Dilaporkan banyak anak dan lansia sesak napas karena udara dipenuhi yang asap. Senjata sejenis juga dilaporkan digunakan Israel di Lebanon selatan pada 10 Oktober 2023. Kesimpulan itu berdasarkan analisis video yang merekam serangan dan wawancara terhadap beberapa warga di lokasi sasaran serangan. Lantas, bagaimana pengaturan mengenai penggunaan bom fosfor menurut hukum internasional?
Bom Fosfor dan Aturannya dalam Hukum Internasional
Penggunaan bom fosfor pada 10 dan 11 Oktober silam di Gaza dan Lebanon bukan merupakan kali pertama yang dilakukan oleh Israel. Selama Cast Lead Operations pada Desember 2008 sampai dengan Januari 2009, militer Israel menembakkan sekitar 200 amunisi bom fosfor yang diluncurkan ke daerah-daerah padat penduduk di Gaza. Serangan tersebut mengakibatkan rusaknya bangunan sipil, termasuk sekolah, pasar, gudang bantuan kemanusiaan, dan rumah sakit
Bom fosfor sendiri tidak didefinisikan sebagai senjata kimia menurut Konvensi tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta tentang Pemusnahannya (Convention on The Prohibition of The Development Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on Their Destruction) karena tingkat mortalitasnya berasal dari panasnya, bukan dari tingkat racunnya. Tetapi keduanya memiliki kesamaan ketika bersentuhan dengan tubuh manusia dimana ia dapat membakar jaringan hingga ke tulang, menyebabkan kerusakan pernapasan permanen, dan menyebabkan kegagalan organ
Menurut hukum internasional, tepatnya Protokol III Konvensi Tentang Larangan atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional (Convention on Conventional Weapons/CCW), bom fosfor dianggap sebagai incendiary weapons ketika digunakan sebagai senjata. Sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 angka 1 Protokol III CCW, incendiary weapons berarti senjata atau amunisi dengan tujuan utama untuk membakar terhadap benda atau menyebabkan luka bakar pada seseorang dengan menggunakan api, panas, atau kombinasinya yang dihasilkan oleh reaksi kimia dari suatu zat yang dilontarkan ke suatu sasaran. Atas dasar itu lah bom fosfor dikategorikan sebagai incendiary weapons sehingga dilarang untuk digunakan. Terlebih, pada Pasal 2 angka 1 Protokol III CCW secara jelas melarang penggunaan incendiary weapons dalam situasi apapun untuk menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran.
Akan tetapi, terdapat kelemahan terhadap implementasinya. Pihak militer seringkali menggunakan dalih bahwa penggunaan bom fosfor adalah untuk melakukan kamuflase, dimana kamuflase tidak dikategorikan sebagai incendiary weapons
sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=841