Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan tindakan gegabah dengan memberhentikan salah satu hakim konstitusi. Hal ini bermula dari dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 96/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian UU MK. Dalam salah satu pertimbangannya, mahkamah mengatakan perlu untuk melakukan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang sedang menjabat untuk menegaskan pemaknaan terhadap ketentuan peralihan UU MK yang sedang diuji oleh mahkamah.
Tindakan tersebut dilakukan oleh mahkamah dengan mengirimkan surat bernomor 3010/KP.10/07/2022 yang berisi pemberitahuan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 tentang uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2020. DPR kemudian melakukan tindak lanjut surat tersebut dengan menyelenggarakan rapat paripurna. Hasil dari rapat tersebut berisi kesepakatan untuk menarik dukungan kepada hakim konstitusi Aswanto dan memilih Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah sebagai penggantinya.
Tindak lanjut tersebut dinilai sebagai kesalahan dalam memahami maksud surat yang diberikan MK. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan beberapa anggota DPR, Habiburokhman–anggota Komisi III DPR–mengatakan jika tindakan tersebut telah sesuai dengan ketentuan konstitusi, dimana DPR sebagai pihak yang mengajukan hakim konstitusi memiliki wewenang untuk memberhentikan hakim konstitusi yang dulu diajukan oleh lembaga. Selain itu, menurutnya hal ini merupakan penegasan terhadap isi surat dimana tidak ada ketentuan dalam UU MK yang memberikan keistimewaan terselubung bagi hakim yang sedang menjabat (Saputra, 2022)
Hal ini menuai perdebatan di tengah masyarakat. Sebab, mekanisme pemberhentian hakim yang diatur UU MK tidak memberikan wewenang bagi lembaga pengusul hakim untuk memberhentikan hakim dalam masa jabatannya. Selain itu, pernyataan Bambang Wuryanto–ketua Komisi III DPR–turut menunjukan pemberhentian ini mengandung unsur politis. Ia mengatakan bahwa Aswanto yang merupakan wakil DPR di MK, telah mengecewakan DPR dengan menganulir produk-produk DPR (Firmansyah, 2022). Bivitri Susanti melihat hal tersebut sangat keliru dan politis, sebab alasan tersebut seakan ingin menghukum hakim yang membatalkan produk undang-undang dari DPR (Firmansyah, 2022).
Kesalahan DPR dalam memahami surat dari MK menimbulkan dampak buruk terhadap supremasi konstitusi. Hal ini menarik untuk dikaji, sebab tindakan tersebut tidak hanya melulu soal pengangkangan prosedural yang dilakukan oleh DPR, tetapi juga menyentuh aspek serangan terhadap independensi hakim konstitusi itu sendiri.
Independensi Hakim Konstitusi
Proses pengangkatan hakim merupakan instrumen yang dibutuhkan untuk dapat menemukan sosok hakim yang tidak hanya memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni, tetapi juga integritas yang baik, independen, jujur dan imparsial (Harijanti, 2014: 554). Secara umum, terdapat lima cara pengisian jabatan hakim konstitusional dalam praktik di berbagai negara, yaitu (Palguna, 2018: 83):
Seleksi dilakukan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam hal ini, pengusulan diajukan oleh eksekutif yang dilanjut dengan persetujuan legislatif melalui mekanisme konfirmasi;
Seleksi dilakukan oleh legislatif. Disini, lembaga legislatif sepenuhnya bertanggung jawab dalam proses pemilihan hakim;
Seleksi dilakukan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga cabang kekuasaan negara diberikan kekuasaan untuk mengusulkan calon hakim dengan kuota tertentu;
Seleksi dilakukan oleh suatu komisi khusus, dan;
Penunjukan oleh eksekutif. yang mana lembaga eksekutif bertanggung jawab atas pemilihan hakim konstitusi
Saat ini, Indonesia menganut sistem nomor 3 dalam rekrutmen hakim konstitusi. Hal ini diputuskan dalam rangkaian amandemen UUD 1945 yang merumuskan hasil akhir dari proses pengangkatan hakim konstitusi menggunakan mekanisme seleksi yang dilakukan oleh lembaga eksekutif (Presiden), legislatif (DPR), dan yudikatif (Mahkamah Agung) dengan kuota pengusulan masing-masing tiga orang.
Bagi Palguna, sistem nomor 3 memang lazim digunakan oleh negara lain, misalnya oleh Korea Selatan dan Italia. Menurutnya, di satu sisi cara ini menimbulkan kekhawatiran muncul keadaan di mana para hakim yang terpilih lebih bersimpati ke institusi pengusulnya. Namun, cara ini juga turut mencegah dominasi salah satu cabang kekuasaan negara (Palguna, 2018:83).
Sebagai wajah dari kekuasaan yudikatif, hakim diberikan kewenangan untuk memutus sesuatu secara mandiri. Kemandirian hakim dalam negara hukum adalah sesuatu yang mutlak. Hal ini sesuai dengan prinsip The International Commission of Jurist yaitu peradilan yang independen. Menurut Alex Hamilton, kemandirian kekuasaan kehakiman sangat penting, oleh karena itu maka perlu adanya jaminan proteksi terhadap kekuasaan kehakiman, karena pada dasarnya kekuasaan kehakiman adalah cabang kekuasaan yang paling lemah, oleh karenanya perlu dilindungi oleh konstitusi (Wulansari, 2016).
Pada dasarnya, independensi dan imparsialitas memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fungsional, struktural, dan personal. Dimensi fungsional mengandung pengertian larangan terhadap lembaga negara lain dan semua pihak untuk memengaruhi atau melakukan intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dimensi struktural mencakup kemandirian yang diberikan pada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga secara kolektif dalam hubungannya dengan cabang-cabang kekuasaan lain (Mahkamah Konstitusi, 2010: 18-20).
Dimensi personal menyangkut kemandirian kekuasaan kehakiman yang diberikan kepada hakim terkait dengan jabatannya. Dalam dimensi personal dibagi menjadi dua, pertama, independensi substantif yang berkaitan dengan kebebasan dalam memutus, kebebasan dari partai politik, kenetralan, menghindari konflik kepentingan, dan menjamin kerahasiaan. Kedua, independensi personal yang berkaitan dengan pengangkatan hakim, masa jabatan hakim, penempatan hakim, karier hakim, pemberhentian hakim, kesejahteraan hakim, dan keamanan hakim (Mahkamah Konstitusi, 2010: 18-20).
Preseden yang Buruk
Kesalahan DPR dalam memaknai konfirmasi yang ditanyakan MK dapat menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Terdapat dua isu yang dapat ditangkap dari polemik ini, 1) anggapan hakim konstitusi merupakan perwakilan lembaga yang dapat direcall oleh lembaga pengusulnya, dan 2) menyerang prinsip independensi dan akuntabilitas hakim konstitusi.
Terkait isu pertama, hakim konstitusi tidak mengenal mekanisme recall layaknya anggota DPR. Desain pengisian jabatan hakim konstitusi melalui pengusungan dari tiga lembaga negara dimaksudkan agar mencegah dominasi salah satu cabang kekuasaan negara dalam rekrutmen hakim, sehingga dapat menjauhi anggapan bahwa MK berada di bawah pengaruh salah satu cabang kekuasaan. Setelah hakim konstitusi diangkat, mereka tidak lagi memiliki beban terhadap lembaga pengusulnya. Mereka hanya akan terikat prinsip moral dan etik dan aturan yang terkait dengannya untuk menciptakan peradilan yang independen dan akuntabel, sehingga layak dipercaya oleh masyarakat. Hal tersebut dilakukan dengan memenuhi prinsip integritas dan transparansi, dimana prinsip integritas berkaitan dengan nilai-nilai yang harus dimiliki dan dijalankan oleh seorang hakim, sementara prinsip transparansi dapat dilihat dari transparansi putusan, dimana pengadilan harus menjamin kemudahan bagi publik untuk mengakses putusannya (Goesniadhie, 2007: 454).
Terkait isu Kedua, independensi dan akuntabilitas peradilan merupakan mahkota kekuasaan kehakiman (Palguna, 2018: 86). Apabila hal tersebut tak dapat ditunjukan, maka tidak akan ada kepercayaan dari masyarakat terhadap peradilan itu sendiri. Dalam hal ini, tindakan DPR telah menyerang independensi dan akuntabilitas hakim konstitusi. Apalagi dengan munculnya alasan bahwa hakim yang dicopot sering menganulir produk hukum yang dibentuk DPR.
Alasan tersebut tentu mencederai prinsip independensi dan akuntabilitas hakim konstitusi. Padahal, hakim konstitusi melakukan fungsi yudisialnya secara independen harus dapat menjaga pengaruh cabang kekuasaan lain, Bahkan, hakim juga harus dapat menjaga independensinya dari tekanan masyarakat, media massa, pihak yang bersengketa, sampai pengaruh rekan sejawat dalam pengambilan keputusan (Mahkamah Konstitusi, 2010: 18-20).
Apapun yang diputus oleh hakim konstitusi dalam perkara yang ditanganinya, harus didasari atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar berupa bujukan, iming-iming, tekanan, ancaman atau campur tangan, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapapun atau dengan alasan apapun, sesuai dengan penguasaannya yang seksama atas hukum (Mahkamah Konstitusi, 2010: 18-20).
Apabila tindakan DPR ini tidak dibatalkan, tentu akuntabilitas MK akan menjadi pertaruhan. Masyarakat akan menganggap hakim MK tunduk dengan lembaga pengusulnya, sehingga melihat MK sebagai lembaga yang tidak akan lepas dari kepentingan lembaganya. Hal ini juga dapat dimaknai bahwa tidak akan pernah ada keadilan substantif yang dapat dicapai jika MK tersandera kepentingan pengusulnya.