INDOMETRO Law Office

Interaksi Hukum Pidana dan Hukum Administrasi dalam Kebijakan Pemerintah




Awal tahun 2021 Harian Kompas mengangkat tajuk berita berjudul: Menko Polhukam: Kesalahan Administrasi Tidak Bisa Ditindak Pidana Korupsi. Isi berita itu menarik perhatian secara akademis dan juga penerapannya di lapangan penegakan hukum, lantaran ada penegasan dari Pemerintah bahwa tidak pemerintahan yang tidak memiliki unsur niat jahar/mensrea tidak dapat dikenakan pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (1999/2001). Sikap pemerintah ini merespon berbagai dinamika hukum yang ada, baik secara praktik di lapangan dimana aparat penegak hukum (APH) yang sulit membedakan antara ‘kerugian negara’ dengan ‘kerugian keuangan negara’, sehingga pemidanaan terhadap tindakan pejabat pemerintahan yang menimbulkan kerugian negara dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. 


Secara normatif, juga sebagai respon dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUU-IX/2016 yang menegaskan bahwa kehadiran UU Administrasi Pemerintahan adalah dalam rangka menjadikan pidana adalah sebagai ultimum remidium, setelah sarana administrasi diselesaikan. Untuk merefleksikan kembali tentang hal itu, maka tulisan ini membahas tentang persinggungan hukum pidana dan hukum administrasi dalam tindakan pemerintahan. 

 

Kerugian Negara dan Kerugian Keuangan Negara: 

Titik Singgung Antara Hukum Pidana dan Administrasi Negara. 


Dari segi hukum administrasi negara, terdapat pokok bahasan yang sering beririsan dengan tindak pidana korupsi yaitu adalah Tindakan pemerintahan (bestuurhandelingen). Secara konseptual, tindakan pemerintahan ialah Tindakan atau perbuatan dari alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgaan) untuk menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie). Tindakan pemerintahan memiliki jenis, salah satunya adalah tindakan hukum/rechthandelingen yang terbagi lagi menjadi tindakann hukum privat dan tindakan hukum publik. Dari jenis tindakan hukum pemerintah ini-lah yang kemudian banyak berisikan dengan tindak pidana korupsi, saya mengatakan irisan antara tindakan hukum pemerintah yang merupakan segi hukum administrasi ‘sangat tipis’ dengan hukum pidana (tindak pidana korupsi). 

 

Salah satu cara untuk membedakan hal itu, maka cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara membedakan kerugian negara dan kerugian keuangan negara. Untuk mengkaji suatu perbuatan, pertanyaan utama yang diajukan dalah apakah perbuatan tersebut masuk dalam kategori “kerugian Negara” atau “Kerugian Keuangan Negara”? Merujuk pada beberapa sumber hukum, konsep kerugian negara ada dalam Pasal 1 ayat (22) UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, yakni Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 


Dari pasal tersebut, dapat dilihat bahwa kerugian negara itu timbul dari kekurangan uang. Secara teoritik, kekurangan uang ini juga meliputi potential loss yakni kerugian yang dapat ditaksir secara akurat dan tepat, baik terhadap intensifikasi/ekstensifikasi pemasukan/yang seharusnya menjadi pemasukan. Sederhananya, “calon” pemasukan negara yang harusnya menjadi pemasukan, tetapi “gagal” menjadi pemasukan, juga terhitung menjadi kerugian negara. Peraturan Perundang-Undangan tersebut di atas memberikan definisi terkait kerugian negara/daerah dalam pengertian yang sama bahwa Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikemukakan unsur-unsur dari kerugian negara/daerah, yaitu bahwa : a. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang berharga, barang milik negara dari jumlahnya dan/atau nilai seharusnya; b. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya; c. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan tepat. 


Kemudian, dalam pasal 59 ayat (1) UU 1/2004 dinyatakan: Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2): Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut. Dalam frasa itu, salah satu implikasi dari kerugian negara adalah “wajib mengganti kerugian”, perlu diperhatikan bahwa konsep ‘ganti kerugian’ adalah konsep keperdataan yang tidak dikenal dalam konsep hukum pidana/acara pidana. Hal ini berkorelasi erat dengan tindakan hukum pemerintahan dalam hukum privat/privatrecht handelingen dan bersegi dua/merzijdik publiekrechtelijke handelingen, dimana terdapat tindakan-tindakan pemerintahan yang berhubungan dengan unsur subjek hukum privat, salah satunya dalam bentuk hubungan sewa menyewa.


Berdasarkan ketentuan ayat 1 terlihat bahwa UU Perbendaharaan Negara menganut identifikasi dalam menentukan kerugian negara apakah tergolong sebagai perbuatan melawan hukum (pidana) atau kelalaian administrasi (hukum administrasi). Lebih lanjut dalam menentukan telah terjadinya penggunaan wewenang yang berujung pada kerugian negara akan diselesaikan terlebih dahulu berdasarkan instrumen administrasi pemerintahan. Dengan demikian terlihat adanya penyelesaian internal yang dilakukan secara prefentif (early warning system) oleh administrasi negara. 


Hemat saya, dalam hal terdapat kesalahan prosedur (kesalahan administratif) tindakan pemerintahan diatas dalam melakukan hubungan, dan terdapat sesuai yang terlewati dari prosedur itu dan muaranya mengakibtkan kerugian negara (dalam bentuk apapun), maka menurut UU 1/2004 ini menyediakan instrumen ganti kerugian yang merupakan konsep keperdataan. Kerugian negara adalah rezim dari UU 1/2004 yang murni dan mutlak adalah rezim hukum administrasi, yang tidak memiliki sifat jahat.


Berikutnya, yang perlu dipahami adalah mengenai “Kerugian Keuangan negara”. Kerugian keuangan negara ada dalam UU Tipikor (1999 dan 2001), diantaranya disebutkan dalam pasal 2: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 


UU Tipikor tidak menjelaskan secara gamblang, apa yang dimaksud dari kerugian keuangan negara, melainkan hanya mengatur hukum acara yang berkaitan dengan tata cara melaksanakan aturan yang bersinggungan dengan kerugian keuangan negara. Secara doktriner, kerugian keuangan negara berbentuk: 1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaannegara/daerah (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan; 2.  Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/ daerah lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku; 3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif); 4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai); 5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusya tidak ada; 6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya; 7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku; 8. Hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.” 


Indikator ini, sejalan dengan Putusan MK 25/PUU-XIV/2016. Putusan tersebut menghendaki bahwa pidana harus diletakan sebagai ultimum remidium (vide Pertimbangan Hakim: hlm 112). Selain itu, ditegaskan oleh MK bahwa yang membedakan antara kerugian negara dan kerugian keuangan negara adalah mengenai sifat dari kerugian tersebut. Untuk menggunakan instrumen pidana, maka kerugian itu benar-benar sudah terjadi (actual loss) yang dibuktikan oleh fatwa dari lembaga berwenang (Ex: BPK). Sedangkan, apabila bersifat potential loss tidak dapat dikatakan adanya tindak pidana. Lengkapnya MK mengatakan: 


Dengan demikian bila dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan. Dengan perkataan lain kerugian negara  merupakan implikasi dari: 1) adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan 2) penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor. Berdasarkan hal tersebut menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi. 


Sebagai contoh: Kepala desa dalam memanfaatkan tanah kas desa (TKD) berkwajiban membayarkan biaya sewa yang nantinya akan masuk kas desa sebagai pemasukan keuangan desa. Ketika Kepala Desa itu tidak melakukan kewajiban pembayaran sewa, maka itu dikatakan sebagai potential loss, dimana kerugian itu sejatinya belum terjadi, melainkan ‘baru’ akan terjadi lantaran sifat kerugiannya masih bersifat kemungkinan, dimana desa yagn seharusnya mendapat pemasukan menjadi gagal lantaran kepala desa abai terhadap pembayaran sewa. Beda hal jika Kepala Desa itu melakukan penyelewenangan terhadap DD (Dana Desa), dimana tindakan itu nyata dan langsung menghilangkan keuangan negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk pembangunan desa. 


Dengan jabaran diatas, ditarik pemahaman bahwa kerugian negara (KN) adalah rezim UU 1/2004 yang merupakan hukum administrasi. Sedangkan Kerugian keuangan negara (KKN) adalah rezim UU Tipikor (1999 dan 2001) yang merupakan hukum pidana. Pemahaman desar ini sering dilupakan dalam praktik penegakan hukum, sehingga sering mencampuradukan keduanya. 







sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=561


Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال