Pada awal tahun 2021 rencana untuk merevisi UU Pemilu batal karena Pemerintah dan sejumlah fraksi di DPR memutuskan untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU Pemilu, termasuk juga dengan revisi UU Pilkada (Tim Perludem,2022:5). Dengan adanya keputusan ini maka DPR bersama pemerintah sepakat bahwa Pemilu serentak tahun 2024 akan dilaksanakan dengan tetap menggunakan regulasi lama yaitu UU No. 7/2017 Tentang Pemilu.
Meski sudah dibatalkan oleh DPR dan Pemerintah pada tahun 2021 tetapi wacana tentang revisi UU Pemilu muncul kembali setelah ditetapkannya Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua pada akhir Juni 2022. Urgensi revisi UU Pemilu menurut Ketua KPU RI Hasyim Asyari dikarenakan pembentukan DOB ini akan berdampak pada pemilih, daerah pemilihan alokasi kursi DPR RI, dan pemilihan DPRD, gubernur, serta bupati atau wali kota kalau terbentuk kabupaten atau kota (republika.co.id).
Menanggapi isu yang berkembang tentang urgensi Revisi UU Pemilu karena pembentukan DOB baru anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus menyatakan tak sependapat karena penambahan tiga provinsi baru di Papua dalam pelaksanaan Pemilu 2024, tetap bisa diakomodasi tanpa harus revisi UU ataupun perpu karena melihat pada penambahan DOB selama ini tidak selalu ada penambahan jumlah kursi DPR. Sedangkan untuk tiga DOB Papua pada Pemilu 2024, tetap mengikuti dapil seperti biasa untuk DPR RI. Namun, untuk DPRD provinsi, nanti akan ada penyesuaian seperti konsep seperti di Kalimantan pada saat ada DOB Kalimantan Utara (Kaltara) yang dimekarkan dari provinsi Induknya (Kaltim) (sumbar.suara.com).
Membandingkan pembentukan DOB Papua dengan pembentukan Propinsi Kalimantan Utara sebagai dasar argumen dalam menolak revisi UU Pemilu tentu sah-sah saja, permasalahannya mengapa UU Pemilu harus direvisi karena revisi bukan hanya terkait dengan pembentukan DOB Papua semata. Kekhawatiran tentang revisi dapat melebar kemana-mana dapat diminimalisir dengan revisi terbatas UU Pemilu ini.
Mengapa Perlu Revisi?
UU Pemilu 2017 adalah UU yang sudah dipergunakan pada pelaksanaan Pemilu 2019. Penggunaan UU lama tanpa revisi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah potensi tantangan Pemilu 2024 sudah dapat diprediksi dan dipetakan dari awal. Sedangkan kekurangannya adalah kelemahan-kelemahan yang terdapat di UU Pemilu tidak dapat diperbaiki karena terkait dengan substansi peraturan, untuk itu revisi terbatas terhadap UU Pemilu tetap harus dilakukan.
Setidaknya ada 2 alasan mengapa UU Pemilu ini harus direvisi . Alasan pertama, masih adanya ketentuan atau pasal-pasal yang bermasalah terkait dengan implementasinya. Ketentuan pasal bermasalah ini berkaitan dengan pengalaman pelaksanaan Pemilu 2019. Pasal bermasalah tersebut antara lain adalah Pasal 383 ayat 2 tentang pelaksanaan penghitungan suara dan Pasal 468 ayat (2) tentang sengketa proses Pemilu.
Pasal 383 ayat (2) menyatakan bahwa “perhitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara” frasa “dilakukan dan selesai” pada hari pemungutan suara secara de facto sulit untuk diterapkan. Pengalaman Pemilu 2019 menunjukkan bahwa perhitungan suara hampir tak ada yang dapat diselesaikan pada hari pemungutan suara. Artinya jika ketentuan Pasal 383 ayat (2) ini benar-benar diterapkan maka sebagian besar pelaksanaan perhitungan suara pada Pemilu 2019 sebenarnya tidak sesuai dengan ketentuan.
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan penghitungan suara yang telah dilakukan pada Pemilu 2019 maka PKPU 3/2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024 KPU menetapkan jadwal penghitungan suara selama 2 hari yaitu tanggal 14 dan 15 Februari 2024. Secara de jure PKPU ini bermasalah karena bertentangan dengan Pasal 383 ayat (2) tetapi secara de facto justru pasal 383 (2) yang bermasalah karena sangat sulit untuk diimplementasikan, untuk itu revisi terhadap Pasal 383 (2) ini dibutuhkan.
Ketentuan Pasal 468 ayat (2) mengatur tentang sengketa proses Pemilu di Bawaslu bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu paling lama 12 hari sejak diterimanya permohonan. Ketentuan penanganan sengketa selama 12 hari tidak menjadi persoalan ketika diterapkan pada Pemilu 2019 tetapi menjadi persoalan ketika ketentuan ini juga diterapkan pada Pemilu 2024.
Persoalan utama terkait dengan jangka waktu penanganan sengketa adalah adanya perbedaan signifikan terkait masa kampanye pada Pemilu 2019 dengan Pemilu 2024. Pada Pemilu 2019 Kampanye dilaksanakan selama 202 hari sedangkan pada Pemilu 2024 Kampanye hanya akan digelar selama 75 hari. Istilah hari dalam UU Pemilu mengacu pada hari kerja bukan hari kalender sehingga ketentuan 12 hari bisa mencapai waktu 15 hari lebih. Dengan masa kampanye yang hanya 75 hari kalender maka penanganan sengketa selama 12 hari kerja jelas terlalu lama. Sengketa kampanye yang ditangani bisa jadi belum selesai bahkan saat masa kampanye sudah selesai.
Alasan kedua terkait dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Sebagai regulasi kepemiluan UU No.7/2017 pada awalnya hanya akan digunakan untuk pelaksanaan Pemilu 2019 terbukti dengan sempat dimasukkannya Revisi UU Pemilu sebagai Prolegnas Prioritas pada tahun 2021. Meski kemudian dibatalkan tetapi setidaknya menunjukkan bahwa UU 7/2017 sebenarnya tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam jangka panjang. Perubahan dinamika masyarakat dan ketatanegaraan yang berakibat munculnya peraturan-peraturan baru adalah salah satu potensi persoalan yang mucul tanpa diantispasi sebelumnya oleh UU 7/2017.
Salah satu peraturan baru yang mucul setelah berlakunya UU 7/2017 adalah keluarnya UU 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) . Dalam Pasal 13 ayat (1) UU IKN disebutkan bahwa Ibu Kota Nusantara hanya melaksanakan Pemilihan umum untuk memilih Presiden & Wakil Presiden, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR , dan pemilihan umum untuk memilih anggota DPD. Kemudian pada ayat (2) diatur bahwa dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan perhitungan dalam penentuan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada daerah yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Nusantara , penentuan jumlah kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada daerah tersebut mengacu pada ketentuan peraturan perundang - undangan memilih anggota DPR dan anggota DPD.
Selain pembentukan Ibu Kota Negara isu terbaru lainnya terkait dengan disahkannya RUU pembentukan Daerah Otonomi Baru di Papua. Pembentukan DOB ini juga berpotensi berpengaruh pada perubahan pembagian jumlah kursi dan Dapil di wilayah tersebut. Dalam PKPU 3/2022 tentang tahapan ditentukan bahwa penetapan jumlah kursi dan penetapan Dapil dilakukan pada tanggal 9 Februari 2023. Sehingga revisi UU Pemilu terkait dengan penetapan jumlah kursi dan dapil setidaknya sudah harus dilaksanakan pada akhir tahun 2022.
Selain pembagian kursi dan Dapil perubahan wilayah terkait dengan Ibu Kota Negara dan DOB juga akan berpengaruh pada ketentuan tentang penyelenggara Pemilu yaitu KPU dan Bawaslu mengingat selain Pemilu serentak pada tahun 2024 juga akan digelar Pilkada serentak yang akan memilih Kepala Daerah di DOB tersebut.
Penentuan jumlah anggota KPU dan Bawaslu diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 93 (3). Dalam ketentuan tersebut jumlah anggota KPU dan Bawaslu dicantumkan dalam Lampiran I dan II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang. Legalitas dari penyelenggara Pemilu tentu akan dipertanyakan jika tidak memasukkan penyelenggara Pemilu yang dibentuk di IKN atau di DOB dalam lampiran I dan II UU Pemilu.
Kita menyadari bahwa untuk melakukan revisi sebuah peraturan membutuhkan waktu yang tidak singkat sehingga revisi harus dibatasi pada pasal-pasal yang krusial saja. Revisi ini cukup penting karena terkait dengan substansi yang dapat berpengaruh pada legitimasi pelaksanaan Pemilu 2024. Jika mekanisme revisi lewat DPR dirasakan sulit karena membutuhkan waktu dan dikhawatirkan akan melebar kemana-mana, maka Perpu bisa menjadi opsi yang paling memungkinkan.