Pemerintah sepertinya kurang jeli dalam melihat persoalaan kebutuhan perumahan untuk masyarakat khususnya kalangan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Alih-alih memberikan solusi dengan menyediakan tanah dan rumah beserta skema cicilan yang ringan, pemerintah justru menambah beban masyarakat dengan memotong penghasilan mereka lagi sebesar 3% setiap bulannya. Meski baru efektif berlaku pada tanun 2027, kebijakan ini patut dipertimbangkan ulang. Mengingat kebijakan ini belum terbukti mampu menyelesaikan masalah kebutuhan rumah sebagaimana yang telah dijalankan untuk para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan nama ‘Bapertarum’.
Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebagaimana mandat UU Nomor 4 Tahun 2016 memiliki tujuan membantu MBR mendapatkan rumah pertama dengan cicilan rendah serta suku bunga Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tetap atau flat di angka sebesar 5%. Yang patut diperhatikan, program Tapera ‘wajib’ bagi setiap kelas pekerja, baik formal maupun informal termasuk yang sudah memiliki rumah. Tak hanya itu, penghimpunan uang dari pekerja yang dikelola oleh Badan Pengelola (BP) Tapera, yang hanya menjadi dihimpun dan dipupuk dananya pada portfolio surat berharga atau efek, disebut-sebut tak banyak membuahkan hasil saat nantinya dipetik belasan atau puluhan tahun ketika pekerja memasuki usia pensiun.
Yang justru seolah-olah luput adalah pemerintah kurang mengoptimalkan implementasi UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang diubah sebagian melalui UU Cipta Kerja. Dalam regulasi tersebut, Pasal 36 UU Nomor 1 Tahun 2011 jo. UU Cipta Kerja mengatur soal kewajiban pengembang perumahan untuk ikut mendukung program ‘Sejuta Rumah’ era Presiden Joko Widodo kala itu, yakni rumah bagi kelas MBR dalam skema hunian berimbang. Pihak swasta yang menjalankan kegiatan pembangunan skala besar berkewajiban untuk menyediakan hunian untuk MBR dalam satu kawasan atau setidaknya masih dalam satu kabupaten/kota dalam bentuk rumah deret.
Pasal 50 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 36 ayat 2 huruf b UU Perumahan dan Kawasan Permukiman, memberikan semacam ‘kelonggaran’ bagi pengembang perumahan, di mana: “dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret maka dikonversi dalam: a. bentuk rumah susun umum yang dibangun dalam satu hamparan yang sama; atau b. bentuk dana untuk pembangunan rumah umum,”. Terdapat sejumlah opsi bagi pihak swasta untuk mengganti rumah deret menjadi rumah susun atau dalam bentuk dana pembangunan rumah umum.
Ketersediaan perumahan justru persoalan mendasar yang mestinya diatasi oleh pemerintah. Pasalnya, ketersedian hunian layak huni berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat atau terjadi backlog mencapai 12,71 juta unit rumah (data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021). Semangat dari UU Perumahan dan Kawasan Permukiman sangat progresif dalam memberikan jalan keluar menyediakan hunian tersebut dengan skema kolaborasi antara pemerintah bersama swasta dalam menghadirkan hunian terjangkau bagi kalangan MBR baik rumah deret maupun rumah susun.
Faktanya, pemerintah kurang serius mengawal hal tersebut sampai-sampai angka backlog perumahan masih sangat tinggi. Padahal, dibanding pemerintah memupuk dana masyarakat yang rawan moral hazard (berkaca dari kasus Jiwasraya, Taspen, dan semacamnya), mestinya pemerintah cukup menegakkan implementasi UU Perumahan dan Kawasan Permukiman, yakni menggandeng swasta membangun rumah/rumah susun untuk MBR atau melakukan konversi dalam bentuk dana yang diberikan oleh swasta kepada pemerintah sehingga pemerintah mempunyai cukup opsi untuk menghadirkan ketersedian rumah khusus MBR sebagaimana semangat dibentuknya UU Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Salah satu keuntungannya, kelas MBR akan mendapatkan hunian seharga MBR namun dari segi lokasi akan mendapatkan hunian dalam kawasan yang tidak terlalu jauh dari pusat kota dengan harga cukup terjangkau. Namun, jika pihak swasta tidak mampu atau tidak berkeinginan untuk memenuhi ketentuan untuk membangun rumah tapak/rumah susun yang masih dalam kawasan pihak swasta, pemerintah membentuk badan khusus sesuai dengan Pasal 50 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 36 ayat 3 UU Perumahan dan Permukiman, yang mengatur: “Pengelolaan dana dari konversi sebagaimana dimaksud ayat 2 huruf b dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan”.
Pembentukan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2021, merupakan semangat baru untuk mewujudkan hadirnya hunian khusus MBR di mana memiliki tugas untuk mempercepat pembangunan perumahan dengan melakukan pengelolaan dana konversi dan menyediakan lahan untuk dapat dibangun rumah sederhana serta rumah susun dan pada akhirnya dapat mewujudkan hunian berimbang. Untuk itu, Badan Percepatan Penyeleggaraan Perumahan wajib untuk menjalankan tugasnya secara baik untuk mewujudkan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat membutuhkan rumah pertamanya.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah rumah dengan harga yang terjangkau untuk setiap kalangan khusunya masyarakat berpenghasilan rendah karena seperti yang telah kita ketahui bersama kendala masyarakat untuk membeli rumah adalah harganya yang melambung tinggi, tidak tergapai oleh setiap lini masyarakat, dan jika harga rumah sudah masuk dalam kemampuan masyarakat, maka permasalahan akan kebutuhan rumah pada masyarakat golong menengah kebawah akan mendapatkan jalan keluar terbaik.
Harga Rumah Subsidi yang ditentukan pemerintah tahun 2024 melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023, saat ini di Jabodetabek maksimal sebesar Rp 185.000.000,-. Jika UMP Jabodetabek tahun 2024 berkisar Rp 4.600.000,- s/d Rp 5.000.000,-, dengan perhitungan suku bunga floating sebesar 11-14%, maka bukan hal yang tidak mungkin untuk masyarakat memiliki hunian pertama didekat tempat mereka bekerja dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Alih-alih pemerintah memungut tabungan untuk Tapera di mana tidak seluruh orang yang melakukan iuran dapat memanfaatkan program Tapera itu sendiri, maka sebaiknya mencari jalan keluar terbaik dengan memanfaatkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sehingga dalam mengeluarkan kebijakan dapat tepat guna. Pada prinsipnya, untuk mewujudkan hunian khusus MBR, baik rumah landed maupun rumah susun, dibutuhkan pelaksanaan dan penegakan UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU Ciptra Kerja secara keseluruhan dengan dilakukan pengawasan secara menyeluruh dan jika adanya pelanggaran maka diberlakukan sanksi sebagai penegakan peraturan sehingga tercapai tujuan negara hadir dengan bekerja sama dengan pihak swasta dalam mewujudkan hunian yang ideal untuk MBR tanpa memberatkan seluruh pekerja dengan iuran Tapera yang tidak seluruh peserta dapat memanfaatkan program Tapera itu sendiri.
sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=952