INDOMETRO Law Office

Ketetapan MPR Pasca Putusan MK


Eksistensi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) masih menjadi polemik. Berbagai pakar, akademisi, dan praktisi berdebat terkait dengan kedudukan Ketetapan MPR dalam dinamika ketatanegaraan dan peraturan perundang-undangan. Terakhir Yusril Ihza Mahendra dan Afriansyah Noor mewakili Partai Bulan Bintang sebagai pemohon, mengajukan permohonan pengujian undang-undang (
judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon meminta kepada MK untuk membatalkan ketentuan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).


Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPP berbunyi “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Pemohon berpendapat, bahwa bunyi penjelasan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)


Argumen pemohon, dengan dinyatakan inkonsitusional Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPP, maka dapat diasumsikan tidak ada halangan bagi MPR untuk membuat ketetapan. Apalagi, seperti pendapat pemohon, bahwa tidak ada satu pasal dari UUD NRI Tahun 1945 yang secara eksplisit melarang MPR membuat ketetapan, baik bersifat menetapkan (beschikking) maupun bersifat mengatur (regeling). 


Kewenangan MPR

Argumen pemohon tersebut memang logis secara matematis, bila tidak ada larangan maka boleh dilakukan. Tetapi hal tersebut tidak logis atau koheren dengan prinsip negara hukum. Tidak adanya larangan MPR untuk membuat ketetapan, tidak berarti secara otomatis MPR mempunyai kewenangan membuat ketetapan. Prinsip negara hukum, mengharuskan adanya pembagian kekuasaan atau pembagian kewenangan. Salah satu prinsip negara hukum seperti dikemukakan oleh Julius Stahl, bahwa dalam negara hukum harus ada pembagian kekuasaan atau kewenangan (Muhtada dan Diniyanto, 2018: 89).


Konsekuensi dari adanya pembagian kewenangan, maka harus ada sumber kewenangan yang diberikan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Misalnya, kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kewenangan tersebut harus jelas, siapa sumber yang memberikan kewenangan. Jika dalam Hukum Administrasi, setidaknya ada tiga sumber kewenangan yaitu  atribusi, delegasi, dan mandat. Kaitan konteks Hukum Tata Negara, sumber kewenangan menjadi penting, agar pelaksanaan kewenangan lembaga negara mempunyai legalitas dan legitimasi. Hampir semua lembaga negara di Indonesia mempunyai sumber kewenangan dalam pelaksanaan kewenangan. UUD NRI Tahun 1945 banyak memberikan kewenangan kepada lembaga negara. 


Artinya, harus ada kewenangan yang diberikan terlebih dahulu oleh MPR untuk membuat ketetapan. Tanpa adanya kewenangan, maka berpotensi terjadinya abuse of power (penyalahgunaan kewenangan) atau semena-menaTindakan seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum. Begitu juga dengan ketetapan MPR yang bersifat regeling, tentu dapat merusak prinsip peraturan perundang-undangan. Adanya ketetapan MPR yang bersifat regeling, akan membuat norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia menjadi carut marut seperti pada masa sebelum reformasi. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi dinamika ketatanegaraan. Adanya ketetapan MPR yang bersifat regeling, akan menjadi preseden bagi lembaga lain untuk membuat keputusan yang bersifat regeling. Misalnya, keputusan Presiden yang bersifat regeling. Ini sama saja kita mundur kebelakang dalam penataan ketatanegaraan dan penataan peraturan perundang-undangan.


MK Menolak Permohonan

MK kemudian dalam Putusan Nomor 66/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa, 16 Januari 2024 menolak seluruh isi permohonan. MK dalam salah satu pertimbangan hukum menyatakan bahwa apabila Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPP dinyatakan inkonstitusional, maka akan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. MK berpandangan dengan tidak adanya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPP menjadi tidak jelas tentang Ketetapan MPR mana yang dimaksud. MK juga berpendapat, dengan tidak adanya penjelasan tersebut. MPR akan dapat berpotensi menjadi lembaga yang tidak sejajar dengan lembaga lainnya. Peniadaan penjelasan tersebut juga memungkinkan MPR membuat ketetapan yang bersifat regeling. Karena posisi MPR sebagai lembaga tidak sejajar dengan lembaga lainnya, maka Ketetapan MPR yang bersifat regeling tidak dapat diuji secara konstitusional oleh lembaga lain. MK juga memberikan pertimbangan dan penegasan mengenai kedudukan Ketetapan MPR. Kedepan, undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan tidak menjadikan Ketetapan MPR sebagai bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.


Ada yang menarik dalam putusan MK tersebut, yaitu pendapat dari Suhartoyo dan Saldi Isra dalam pendapat berbeda (dissenting opinion). Suhartoyo dan Saldi Isra memperdebatkan tentang kewenangan MPR dalam mengubah dan menetapkan UUD NRI Tahun 1945, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, memilih wakil Presiden dan hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan. Suhartoyo dan Saldi Isra bertanya, bagaimana cara melaksanakan kewenangan tersebut? Pertanyaan dari Suhartoyo dan Saldi Isra menarik, karena pelaksanaan kewenangan tersebut setidaknya harus dilakukan dengan beschikking. Artinya MPR dapat membuat ketetapan untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki.


Suhartoyo dan Saldi Isra juga berpendapat agar pertimbangan dan penegasan MK untuk menghapus ketatapan MPR dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, seharusnya diletakan juga dalam amar putusan. Suhartoyo dan Saldi Isra juga menghendaki agar Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dihapus karena penjelasan tersebut memuat norma sehingga tidak sesuai dengan teori dan praktik pembentukan peraturan perundang-undangan. Artinya, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan memasukan Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan harus sama-sama dinyatakan inkonstitusional.


Solusi terhadap Ketetapan MPR

Polemik tentang kedudukan Ketetapan MPR harus segera diselesaikan. Berbagai jalan telah ditempuh, salah satunya adalah dengan melakukan judicial review ke MK terhadap materi muatan dalam undang-undang yang berkaitan dengan Ketetapan MPR. Namun “masih belum berhasil” menyelesaikan polemik kedudukan Ketetapan MPR. Perlu ada solusi yang tepat. Solusi yang tepat dan umum adalah dengan melakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945. Amandemen tersebut dapat dilakukan secara terbatas hanya untuk memberikan kewenangan kepada MPR untuk membuat ketetapan. Termasuk dalam batasan-batasan tentang ketetapan yang dimaksud. Pertanyaannya, apakah bisa? Jawabannya adalah bisa dan mudah. Karena MPR mempunyai kewenangan untuk melakukan amandemen konstitusi. Apabila MPR ingin mempunyai kewenangan, maka MPR dapat dengan sendirinya memberikan kewenangan tersebut melalui sumber yang jelas yaitu UUD NRI Tahun 1945.


Hal ini berbeda, misalnya dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk memutus, termasuk memutus pembentukan undang-undang. DPD tidak mungkin dapat memberi kewenangan pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin memberi kewenangan, kewenangan untuk membentuk atau mengubah sumber kewenangan saja tidak ada. Beda dengan MPR, yang mempunyai kewenangan untuk amandemen UUD NRI Tahun 1945. Adanya kewenangan tersebut dapat dijadikan sebagai pijakan untuk memberikan kewenangan terhadap dirinya sendiri. Pertanyaan sangat mendasar, apakah MPR bersedia menambah kewenangan? Jika tidak bersedia, sebaikanya polemik tentang Ketetapan MPR, disudahkan saja.





sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=874

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال