INDOMETRO Law Office

Lex Rejicit Superflua, Pugnantia, Incongrua: Menolak Revisi UU Polri yang Tidak Layak dan Bertentangan




Baru-baru ini kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, yakni Rancangan Undang-undang (RUU) yang kemudian menuai kontroversi. Layaknya RUU lain yang selalu mendapat tanggapan maupun kritikan dari masyarakat, begitu pula dengan RUU Perubahan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berpotensi besar akan menambah banyak masalah baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Setidaknya terdapat tiga kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam RUU tersebut yang perlu dipertimbangkan kembali yaitu pertama, perluasan kewenangan dalam ruang siber yang berpotensi terjadi intervensi terhadap UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Kedua, perluasan kewenangan terhadap penyadapan yang berpotensi terjadi tumpang tindih terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Dan yang ketiga, RUU Perubahan UU Polri tersebut sama sekali tidak mencantumkan pasal yang memperkuat tugas lembaga pengawas Polri yaitu Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas).


Dalam hal ini, poin ketiga akan menjadi pokok permasalahan yang akan dikupas lebih dalam yaitu mengenai lembaga pengawas yang berwenang mengawasi kinerja anggota kepolisian. Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional yang mengatur bahwa "Kompolnas melaksanakan fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri untuk menjamin profesionalisme dan kemandirian Polri; dan pelaksanaan fungsi pengawasan fungsional dilakukan melalui kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Berdasarkan hal tersebut, sekurang-kurangnya RUU Perubahan UU Polri harus mencantumkan satu pasal yang mempertegas kewenangan terhadap lembaga pengawas Polri. Penegasan tersebut merupakan bentuk perbaikan terhadap lembaga kepolisian yang menjadi cita-cita terhadap revisi UU Polri. Serta, bertujuan untuk membentuk dan menciptakan lembaga kepolisian yang profesional dan berintegritas.


Sarah Nuraini Siregar berpendapat bahwa Kompolnas seharusnya memiliki peran besar dalam mewujudkan reformasi Polri sesuai dengan tuntutan demokrasi. Hadirnya Kompolnas sebagai lembaga pengawas terhadap kinerja polri bertujuan untuk meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap lembaga kepolisian (Siregar, 2014:133). Namun faktanya, harapan tersebut justru masih jauh dari kenyataan, sebab berdasarkan dari berbagai literatur, ditemukan fakta bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Kompolnas masih sangat lemah. Sebab, pada dasarnya Polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus mengedepankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), namun hingga kini masih sering ditemukan perilaku polisi yang menggunakan cara-cara kekerasan terhadap masyarakat (Adji, 1998: 120). Sehingga hal tersebut menghilangkan citra Polri dan melemahkan prinsip yang sudah seharusnya dijaga oleh lembaga kepolisian, serta hal tersebut yang menunjukkan lemahnya kewenangan yang dimiliki oleh Kompolnas. 


Koordinator Badan Pekerja KontraS, Haris Azhar mengatakan "kita kritik Kompolnas karena kerjanya kurang baik, kapasitas pengawasan atau penyelesaian kasus-kasus yang melibatkan polisi sangat minim, sehingga seringkali dukungan negara untuk perbaikan polisi sangat minim, hal inilah yang menyebabkan polisi bertindak sendiri, ini kan kecenderungan umum". Oleh sebab itu telah jelas bahwa RUU Perubahan UU Polri seharusnya memasukkan pasal-pasal terkait perbaikan pengawasan terhadap kinerja Polri yang masih dianggap kurang oleh masyarakat. Salah satu anggota Kompolnas, Poengky Indarti menyebut bahwa Polri adalah lembaga yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Jika dilihat berdasarkan data keluhan masyarakat sejak tahun 2021 hingga 2023, terdapat sekitar 98% laporan yang diterima oleh Kompolnas masih terkait mengenai layanan reservasi. Terdapat enam aspek kinerja Polri yang dinilai oleh masyarakat yakni pelayanan buruk, diskriminasi, korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Persentase tertinggi yaitu keluhan terkait dengan pelayanan buruk sebesar 95% (Siregar, 2014:131).


Kasus Pelanggaran HAM oleh Anggota Kepolisian

Akhir-akhir ini masyarakat kembali digegerkan oleh sebuah kasus yang tengah viral dan melibatkan anggota kepolisian. Bahkan setiap tahun indeks kasus kekerasan oleh anggota Kepolisian mencapai angka yang tergolong tinggi yaitu berdasarkan data KontraS per Juli 2023-Juni 2024 tercatat ada 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian, salah satunya kasus kematian Afif Maulana di jembatan Kuranji Padang yang diduga dianiaya oleh anggota kepolisian. Kasus tersebut hingga kini masih menuai banyak kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat. Jika dilihat berdasarkan kalimat-kalimat yang dituding masyarakat pada kolom komentar platform media sosial mengenai berita Afif Maulana, masyarakat dominan mempercayai bahwa anggota kepolisian adalah dalang dibalik kematian Afif Maulana. "Kalau bisa otopsi jangan melibatkan Polda lagi, kalau bisa diawasi Kompolnas, LBH atau Komnas HAM, dan apapun hasil otopsi yang sebenarnya jangan sampai ada intervensi atau intimidasi dari pihak manapun" ucap akun Instagram 'n0v121f0' pada salah satu postingan akun 'infopadang' mengenai berita kematian Afif Maulana.


Berdasarkan kasus tersebut memperlihatkan ketidakprofesionalan lembaga kepolisian dan kurangnya partisipasi lembaga pengawas kepolisian yaitu Kompolnas. Jika ditinjau berdasarkan tupoksi lembaga kepolisian, menciptakan dan memelihara keamanan, ketertiban dan kemakmuran masyarakat sepatutnya menjadi tugas dari lembaga kepolisian tersebut. Namun, justru mereka yang menjadi ancaman bagi masyarakat, bahkan merusak citra dan harga diri dari lembaga Kepolisian itu sendiri (Harmoko, 2023:139). Bahkan, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian merupakan yang paling rendah dibanding lembaga penegak hukum lainnya yakni sebesar 64%. Data tersebut berdasarkan hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap lembaga penegak hukum.


Banyaknya kasus kekerasan yang terungkap justru seharusnya menjadi ajang lembaga kepolisian untuk memperbaiki citra dirinya terhadap paradigma buruk dari masyarakat. Namun sebaliknya, lembaga kepolisian justru semakin memperbesar kewenangan yang mengancam ruang gerak masyarakat sipil (Harmoko, 2023: 142). Mulai dari penambahan kewenangan Polri yang semula 11 (sebelas) kewenangan menjadi 16 (enam belas) kewenangan, bahkan RUU Perubahan UU Polri tersebut sama sekali tidak mengarah kepada reformasi Polri sebagaimana yang diharapkan. Harapan masyarakat terhadap RUU Perubahan UU Polri tersebut yakni agar Polri dapat diawasi lebih tegas oleh lembaga pengawas yaitu Kompolnas, sebab kedudukan Kompolnas hanya sebagai pemberi rekomendasi dan pertimbangan saja. Sehingga Kompolnas tidak memiliki kekuatan yang cukup kuat dan seharusnya kedudukan Kompolnas perlu dipertegas sebagai lembaga pengawas Polri yang perlu dituangkan dalam RUU Perubahan UU Polri tersebut (Amostian, 2023: 510).


Kepolisian Menjadi Lembaga Super-Body.

Salah satu rumusan pasal dalam RUU Perubahan UU Polri mengatur bahwa "melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi" menuai kontroversi sebab kewenangan tersebut dianggap sangat subjektif sehingga aparat Kepolisian memiliki kewenangan yang sangat luas dan terkesan agresif. Serta hal tersebut dapat membahayakan dan membuat Polri menjadi lembaga super atau super-body. Pasal tersebut dapat membahayakan sebab jika ditinjau berdasarkan kasus kematian Afif Maulana, aparat kepolisian bisa saja memblokir atau memutus akses ruang siber apabila terdapat akun-akun yang menyebarkan informasi bahwa kematian Afif Maulana disebabkan karena penganiayaan oleh anggota kepolisian. Atau bahkan melarang media berita untuk memberitakan mengenai kasus kematian Afif Maulana, sehingga dengan kewenangan tersebut dapat membahayakan kebebasan ruang gerak masyarakat sipil.


Berdasarkan masalah-masalah tersebut, maka muncul pertanyaan apakah RUU Perubahan UU Polri tersebut efektif untuk pembenahan lembaga kepolisian? Atau bahkan hanya untuk memperbesar kewenangan lembaga kepolisian untuk bersikap sewenang-wenang terhadap masyarakat? Hal tersebut membuat masyarakat berspekulasi bahwa RUU Perubahan UU Polri tersebut hanya bertujuan untuk melindungi aparat kepolisian dari perbuatan yang sewenang-wenang. Munculnya isu konflik kepentingan tersebut semakin memicu emosi masyarakat terhadap lembaga kepolisian. Sehingga sangat tidak krusial apabila pasal bermasalah tersebut dimasukkan ke dalam RUU Perubahan UU Polri.


Di zaman serba modern ini, semua berita serba terbuka dan mudah diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia dari anak muda hingga orang tua, sehingga apapun yang dilakukan oleh lembaga kepolisian dapat dengan mudah viral dan tersebar luas di berbagai platform media sosial (Harmoko, 2023: 140). Oleh sebab itu, demi memperbaiki citra lembaga kepolisian dan mempertegas kewenangan Kompolnas sebagai lembaga pengawas terhadap kinerja Polri, perlu dihadirkan pasal-pasal yang mengatur hal tersebut. Selain itu, pasal-pasal yang berlebihan dan sekiranya akan terjadi tumpang tindih terhadap lembaga lain perlu dihapus atau dipertimbangkan kembali untuk dicantumkan. Tentunya RUU Perubahan UU Polri dihadirkan dengan tujuan untuk mengembangkan lembaga kepolisian yang lebih baik, bukan menjadi lebih berkuasa. Sehingga masyarakat akan merasa lebih puas dengan kinerja lembaga kepolisian dalam melayani dan mengayomi rakyat Indonesia, sekaligus bentuk perbaikan terhadap citra lembaga kepolisian di tengah masyarakat, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat.






sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=936

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال