Kebutuhan terhadap peran paralegal baik di ibu kota maupun daerah tetap ada. Namun, perlu ada standar kurikulum yang jelas bagi paralegal sehingga sesuai kompetensinya masing-masing.
Terbitnya Permenkumham No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum mengundang perbincangan banyak kalangan. Mulai advokat, pemberi dan penerima bantuan hukum maupun khalayak ramai. Masih minimnya sebaran Pemberi Bantuan Hukum dan advokat yang menangani kasus pro bono di daerah-daerah menjadi salah satu alasan betapa pentingnya peran paralegal dalam membantu agar terpenuhinya bantuan akses keadilan bagi masyarakat.
Di samping itu berbagai masukan terus disuarakan agar angka kebutuhan akan jasa paralegal berbanding lurus dengan kualitas jasa yang diberikan paralegal tersebut. Dalam menjawab tantangan akan kualitas jasa paralegal, Kepala Bidang Bantuan Hukum BPHN, C. Kristomo menjelaskan, tidak semua paralegal dapat memberikan bantuan hukum.
Menurut Kristomo, jika paralegal ingin memberikan bantuan hukum, maka paralegal tersebut harus terdaftar pada BPH-BPH yang sudah terakreditasi. Adapun verifikasi dan akreditasi BPH/Organisasi Bantuan Hukum (OBH) dilakukan dalam rentang waktu tiga tahun sekali.
Untuk daftar OBH yang sudah terakreditasi oleh BPHN per tahun 2016, kilk di sini.
Pada Pasal 10 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, disebutkan bahwa kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi paralegal dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum. Pasal ini tentu berpotensi munculnya perbedaan standar pada kurikulum.
Saat ditanya soal perbedaan standar minimum muatan kurikulum tersebut, Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan, memang seharusnya ke depan ada kurikulum yang jelas. Menurut Isnur, standar tersebut harus sesuai dan memenuhi ketentuan masing-masing kompetensi (litigasi atau non-litigasi) berdasarkan undang-undang.
“Saat ini YLBHI dalam tahapan menyusun kurikulum tersebut. Kami sedang punya program agar ada standar yang minimun untuk pelatihan paralegal di Indonesia. Kami sedang membuat tapi belum selesai,” ujar Isnur kepada hukumonline, Jum'at (2/3).
Ketua Umum DPN Peradi, Luhut MP Pangaribuan tidak menampik pentingnya peran paralegal dalam membantu advokat mempersiapkan bukti-bukti yang diperlukan di persidangan hingga mendampingi ke kantor yang dituju. Hal ini penting mengingat sistem peradilan di Indonesia tidak menganut verplichte procureurstelling, yakni wajib didampingi advokat dalam berperkara, sehingga perlunya peran paralegal dalam membantu tugas-tugas advokat.
Kebutuhan terhadap peran paralegal baik di ibu kota maupun daerah tetap ada. Namun, perlu ada standar kurikulum yang jelas bagi paralegal sehingga sesuai kompetensinya masing-masing.
“Paralegal ini mirip dengan paramedis, kalau ditegaskan dia bukan advokat”, jelas Luhut.
Salah satu peran penting paralegal menurut Direktur LBH Padang, Era Purnama, adalah memberikan penyadaran hukum terkait hak-hak masyarakat. Selain itu ada juga paralegal yang terkonsentrasi untuk memantau tata kelola pemerintahan. Misalnya dalam program keluarga harapan di Kementerian Sosial.
Jika dana program tersebut tidak dibayarkan oleh Pemerintah Nagari di Sumatera Barat, atau dibayarkan namun peruntukannya tidak tepat sasaran, maka itulah yang dipantau oleh paralegal. Dengan begitu dana-dana tersebut bisa dibayarkan dan peruntukannya tepat sasaran.
“Minimal ada perubahan budaya dari level struktur dengan hadirnya paralegal,” ujar Era kepada hukumonline.
Dalam memberikan penyuluhan hukum ke masyarakat, kata Era, kasus terbaru yang melibatkan peran paralegal di Sumatera Barat seperti proyek geothermal di Gunung Talang. Berdasarkan keterangan Era, Proyek tersebut hadir tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Pada proyek tersebut, paralegal dapat melakukan penyadaran terkait apa saja hak-hak masyarakat dalam sebuah investasi, salah satunya hak untuk mengetahui risiko dari proyek investasi di daerah mereka. Namun dalam perjalanannya, dalam proyek geothermal tersebut hak partisipasi masyarakat terabaikan, sehingga ada gelombang penolakan yang sangat besar dari masyarakat, sampai ribuan orang berunjuk rasa.
Saat ditanya soal penempatan tugas paralegal, Era menjawab bahwa LBH Padang memprioritaskan paralegal di tempat-tempat yang rawan konflik dan persoalan hukumnya tinggi. Misalnya, daerah yang persentuhan dengan investasinya tinggi dan di tempat-tempat yang jauh aksesnya dari kota Padang.
LBH Padang merupakan salah satu LBH yang sangat memberdayakan paralegal komunitas. Menurut Era, paralegal komunitas merupakan orang yang betul-betul hidup dan tinggal bersama masyarakat. Sehingga, paralegal tersebut lebih memahami kebutuhan-kebutuhan terhadap komunitasnya. Ia meyakini, paralegal komunitas dapat lebih memahami masalah-masalah di sekitar lingkungannya sendiri.
Kebutuhan terhadap peran paralegal baik di ibu kota maupun daerah tetap ada. Namun, perlu ada standar kurikulum yang jelas bagi paralegal sehingga sesuai kompetensinya masing-masing.
“Ada mandat komunitas terkait apa yang mereka kerjakan dan mereka bertanggungjawab kepada komunitasnya,” kata Era.
Sementara itu, Direktur LBH Makassar, Haswandi, dalam kasus non-litigasi bentuk bantuan hukum yang diberikan paralegal seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, pendampingan korban kasus pidana masyarakat marginal terutama pada anak, perempuan dan disabilitas.
Namun pendampingan yang dilakukan paralegal ini hanya terbatas pada mendampingi korban melapor ke kepolisian, melakukan monitoring proses persidangan di pengadilan serta mendampingi saksi termasuk mendampingi ke rumah sakit untuk memperoleh visum et repertum.
Tidak hanya di daerah, salah satu advokat di ibu kota Jakarta yakni pada LBH Mawar Saron, Ditho HS Sitompul juga merasakan bahwa tugas-tugas advokat LBH menjadi sangat terbantu dengan adanya paralegal seperti melakukan legal drafting atau membantu mengurus proses persidangan, sekalipun paralegal tersebut tidak sampai bersidang. Terkadang dalam sehari ada banyak sidang di berbeda-beda lokasi, sehingga tidak mungkin advokat melakukan seluruh tugas tersebut tanpa adanya bantuan dari paralegal.
Strategi Pengawasan Paralegal
Menjawab kekhawatiran soal kualitas nasihat hukum yang diberikan paralegal, masing-masing LBH baik di Ibu Kota DKI Jakarta maupun daerah memiliki strategi pengawasannya masing-masing. Namun begitu, baik di pusat maupun daerah sepakat sama-sama ingin memperkuat sistem dan kurikulum pendidikan dan pelatihan paralegal.
LBH Mawar Saron misalnya, membagi paralegal ke dalam tiga divisi, yakni divisi pidana, perdata dan non-litigasi. Pada masing-masing divisi, kata Ditho, sistem pengawasan dan pemantauannya akan dilaksanakan oleh masing-masing kepala divisi.
Kebutuhan terhadap peran paralegal baik di ibu kota maupun daerah tetap ada. Namun, perlu ada standar kurikulum yang jelas bagi paralegal sehingga sesuai kompetensinya masing-masing.
Di LBH Padang, setiap satu bulan atau dua bulan sekali selalu diadakan asistensi ke lapangan. Ia mengatakan, terdapat sekitar 86 paralegal LBH Padang yang tersebar di 18 kecamatan maupun kabupaten kota atau Nagari. Daerah terpencil menjadi tantangan tersendiri bagi paralegal di LBH Padang. Asistensi yang dilakukan LBH Padang meliputi pemantauan terkait apa yang sedang dikerjakan paralegal, apa kendala yang dihadapi serta apa rencana ke depan yang akan mereka lakukan.
Sedangkan sistem pengawasan di LBH Makassar menurut Haswandi, pendampingan oleh advokat terhadap paralegal sudah dilakukan sejak tiga bulan awal pasca training. Selain itu terdapat agenda diskusi, mentoring dan bedah kasus yang melibatkan paralegal dan dipandu oleh advokat pendamping atau mentor. Progres dan perkembangan paralegal dalam tiga bulan awal akan dievaluasi.
“3-5 orang paralegal didampingi atau dimentori oleh 1 advokat selama magang 3 bulan,” terang Haswandi.