Eksistensi tenaga honorer senantiasa melengkapi keberadaan PNS dan PPPK di instansi pemerintah. Belum memadainya kebutuhan pegawai untuk mendukung tugas dan fungsi instansi pemerintahan memaksa instansi pemerintah untuk merekrut tenaga honorer untuk melakukan pekerjaan admnistrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing instansi. Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, tenaga honorer ini merupakan pegawai tidak tetap yang didasarkan pada kontrak kerja. Dengan demikian, merujuk pada hukum ketenagakerjaan yang saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hubungan kerja yang terjadi antara tenaga honorer dengan instansi pemerintah didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Diskusi mengenai masa depan tenaga honorer terus menghangat sejak terbitnya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi tentang kebijakan pengangkatan tenaga honorer di instansi pemerintahan. Dalam Surat Edaran bernomor B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut, salah satu poinnya melarang pengangkatan pegawai di luar status PNS dan PPPK. Langkah Menteri sudah tepat untuk menertibkan pegawai di instansi pemerintahan, mengingat narasi penghapusan status tenaga honorer sudah lama diamanatkan sejak Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN). Direncanakan pada tahun 2023 nanti, pegawai yang bekerja di instansi pemerintah hanyalah ASN dan tidak ada lagi tenaga honorer.
Penertiban tenaga honorer ini sejak tahun 2005 lalu sudah diusahakan oleh pemerintah sebagaimana dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 yang melarang intansi pemerintah untuk mengangkat tenaga honorer. Namun sebagaimana kita ketahui bersama, perekrutan tenaga honorer masih saja dilakukan dengan berbagai alasan yang bisa dikerucutkan menjadi satu: dibutuhkan. Di sisi lain, banyak juga masyarakat yang berminat bekerja di instansi pemerintahan dengan harapan mendapatkan kesempatan lebih mudah untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Ditambah lagi proses rekrutmen yang sederhana tanpa memerlukan biaya pengadaan besar membuat pemangku kepentingan dapat mengangkat seseorang untuk bekerja dalam waktu tertentu.
Sebenarnya sejak dahulu, hubungan hukum antara tenaga honorer dengan instansi pemerintah tidak jelas. Mulai dari prosedur rekrutmen yang bias, gaji dan tunjangan yang beragam tiap instansi, bahkan beban kerja yang terlampau variatif menuntutnya melakukan pekerjaan apa pun. Sayangnya, UU ASN tidak mengatur mengenai prosedur peralihan tenaga honorer menjadi ASN yang mana seharusnya suatu peraturan perundang-undangan melalui Ketentuan Peralihan dapat mengakomodasi perubahan kebijakan yang dapat terjadi di kemudian hari, demikian semata-mata untuk perlindungan hukum. Sempat ada jamannya juga ketika dahulu tenaga honorer dapat diangkat menjadi ASN setelah memenuhi persyaratan tertentu, namun tidak dengan saat ini. Sesuai Pasal 96 Peratuan Pemerintah Nomor 49 tahun 2018 tenaga honorer tidak boleh diangkat untuk menjadi ASN. Dengan demikian, tenaga honorer yang terdapat di instansi pemerintah harus terlebih dahulu mengikuti rangkaian seleksi untuk dapat menjadi calon ASN.
Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan mendorong tenaga honorer mengikuti seleksi penerimaan calon ASN. Sesuai dengan Sistem Merit yang dicanangkan oleh UU ASN, seleksi calon ASN dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, harus terukur dengan metode passing grade, serta melalui tahapan seleksi administrasi dan seleksi kompetensi. Penentuan kelulusan berdasarkan kompetensi dan kualifikasi secara transparan dan objektif ini penting untuk memastikan kualitas calon pegawai. Untuk memaksimalkan jumlah kelulusan, pemerintah berupaya menurunkan passing grade. Atas upaya pemerintah tersebut otomatis timbul konsekuensi jika tenaga honorer tersebut tidak lulus seleksi, spekulasi yang terjadi di antaranya adalah pemecatan.
Kekhawatiran tersebut kian menguat. Meskipun pemerintah berencana menurunkan passing grade untuk memudahkan peserta lulus seleksi, hampir tidak ada proses seleksi dengan kelulusan seratus persen. Tidaklah etis jika tenaga honorer yang tidak lulus seleksi serta merta dikenakan pemecatan, mengingat di antara mereka banyak yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun. Banyak opini bergulir memberikan solusi seperti tenaga honorer yang sudah lanjut usia tetap melanjutkan masa kerjanya hingga masa pensiun sedangkan bagi tenaga honorer usia produktif akan diberikan penghargaan sesuai ketentuan perundang-undangan dan kemampuan instansi masing-masing. Namun pada akhrinya menggunakan adagium ex aequo et bono, semoga apapun keputusan yang diberikan oleh pemerintah telah didasarkan dengan prinsip keadilan.
Perihal seleksi calon ASN ini tidak serta merta hanya untuk menghapus tenaga honorer di instansi pemerintahan. Selain untuk kepastian hukum, sesuai dengan Peta Jalan Pembangunan ASN RPJM 4 (2020-2024) Birokrasi Berkelas Dunia maka seleksi tersebut juga bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mengabdi di sektor pemerintahan. Sehingga jelas bahwa pelaksanaan seleksi membutuhkan tanggung jawab yang besar karena sangat menentukan kualitas dari sumber daya yang dipekerjakan sehingga seleksi peralihan tenaga honorer tersebut wajib dilaksanakan secara tertib prosedur sesuai tahapan seleksi calon ASN yaitu dengan menggunakan Sistem Merit, dimulai dari pendaftaran sesuai formasi, seleksi administrasi, dan seleksi kompetensi.
Untuk menjamin penyelenggaraan seleksi calon ASN terlaksana dengan maksimal, sudah saatnya pemerintah memperkuat prinsip Good Governance sebagai konsep manajemen pembangunan yang bertanggung jawab sejalan dengan kebutuhan publik, minimal dengan memperkuat prinsip-prinsip akuntabel, transparan, dan profesional. Penguatan prinsip-prinsip ini pada dasarnya sudah termanifestasi dari terobosan BKN dalam rekrutmen calon ASN melalui sistem CAT yang terbukti ampuh mengurangi tingkat kecurangan yang otomatis menaikkan integritas dan profesionalisme dalam tubuh instansi pemerintah. Selain itu penerapan Good Governance juga tercermin dalam Sistem Merit yang dicanangkan oleh UU ASN. Sistem Merit merupakan penerapan manajemen pegawai secara objektif yang berdasar pada kualifikasi, kemampuan, pengetahuan dan keterampilan seseorang sebagai upaya untuk mewujudkan ASN memiliki kualitas unggul dan berdaya saing.
Sebagai penutup, diharapkan proses seleksi tenaga honorer menjadi calon ASN dilaksanakan secara objektif dan transparan serta memiliki kualitas yang sama baiknya dengan seleksi umum sehingga instansi pemerintah sebagai organisasi publik senantiasa memiliki kualitas pegawai yang baik dalam jangka panjang. Dengan demikian tercapailah kualitas pegawai ASN yang dicita-citakan memiliki kinerja tinggi, disiplin, dan etos kerja yang tinggi tanpa ada ketimpangan dengan ASN yang mengikuti seleksi umum.
sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=603