Tulisan Jimly Assiddiqie dalam Buku Pancasila: Identitas Konstitusi Berbangsa dan Bernegara memberikan opsi bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat dibubarkan saja apabila tidak ada kewenangan yang dimiliki. Alasannya yaitu DPD mempunyai kewenangan yang kecil bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lain. Bahkan DPD selama ini tidak ada kewenangan untuk memutus. Jadi jika tidak ada kewenangan memutus sama sekali, ada opsi untuk lebih baik dibubarkan saja (Asshiddiqie, 2020). Jimly nampak kecewa terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia, yang pada khususnya tidak memberikan kewenangan kepada DPD. Pernyataan dari Jimly yang juga merupakan anggota DPD tentu dapat dikatakan sebagai pernyataan yang mewakili suasana kebatinan lembaga dan anggota DPD. DPD Indonesia memang harus diakui mempunyai kewenangan yang cenderung lemah bila dibandingkan dengan lembaga negara yang setingkat. Bandingkan misalnya dengan DPD di Amerika Serikat yang disebut sebagai Senate. Senate di Amerika Serikat mempunyai kedudukan yang kuat, bahkan lebih kuat dari DPR Amerika Serikat. Senate mempunyai kekuasaan yang kuat, misalnya dalam bidang memutuskan suatu hal, contohnya seperti impeachment atau pemakzulan.
Di Amerika Serikat, dalam perkara impeachment kewenangan Senate lebih kuat jika dibandingkan dengan kekuasaan DPR. Prosedur impeachment terhadap Presiden memang diawali oleh DPR. Tetapi DPR hanya melakukan penyelidikan dan penuntutan (impeachment) kepada Senate. Setelah itu maka Senate yang memutuskan apakah Presiden diputuskan berhenti atau tidak. Posisi tersebut tentu memberi gambaran kekuasaan Senate yang begitu besar. Contoh konkrit terjadi pada impeachment Presiden Bill Clinton dan Donald Trump. Dua Presiden Amerika Serikat tersebut berhasil di-impeach oleh DPR. Tetapi setelah disidang oleh Senate, dua Presiden tersebut berhasil keluar dari jerat impeachment dan tetap mampu menyelesaikan tugas untuk satu periode. Bahkan Bill Clinton mampu terpilih kembali untuk periode kedua.
Kekuasaan Senate yang begitu besar di Amerika Serikat tidak dapat dilepaskan dari segi historis dan sistem ketatanegaraan. Amerika Serikat secara historis lahir dari adanya penggabungan negara-negara bagian. Artinya sebelum ada negara Amerika Serikat, sudah berdiri negara-negara bagian yang membentuk Amerika Serikat. Inilah yang kemudian menjadikan kewenangan negara bagian kuat. Karena negara bagian merupakan negara pembentuk negara federal. Konsekuensi terhadap kuatnya negara bagian, tentu salah satunya diwujudkan dalam perwakilan negara bagian di tingkat federal atau pusat. Negara bagian harus mempunyai kewenangan yang kuat di tingkat federal, mengingat sebagai negara pembentuk. Alhasil, negara-negara bagian melalui wakilnya di Senate mempunyai kewenangan yang kuat.
Hal ini berbeda dengan di Indonesia. Indonesia secara historis lahir terlebih dahulu baru selanjutnya membentuk daerah-daerah. Artinya daerah-daerah tersebut dibentuk oleh Indonesia. Walaupun memang sebelum Indonesia merdeka, sudah ada daerah-daerah. Tetapi daerah-daerah tersebut bukan seperti negara bagian seperti di Amerika Serikat. Masih banyak daerah yang menjadi kekuasaan penjajah saat sebelum kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka dari penjajah, maka secara otomatis daerah-daerah yang dikuasai penjajah menjadi daerah milik Indonesia. Memang dalam dinamika ketatanegaraan, terdapat daerah-daerah yang bergabung dan juga memisahkan diri. Segi historis tersebut yang menjadi salah satu penyebab kekuasaan DPD cenderung relatif lemah bila dibandingkan dengan kekuasaan DPR.
Kemudian Amerika Serikat dari segi sistem ketatanegaraan menganut bentuk negara federal atau serikat. Bentuk negara federal sangat simetris dan relevan dengan penguatan DPD. Hal tersebut karena negara federal mempunyai kewenangan yang hampir sama dengan negara bagian. Hanya beberapa kewenangan saja misalnya soal hubungan luar negeri. Bentuk negara tersebut tentu mempunyai kekuatan pada negara bagian masing-masing, sehingga tidak heran jika wakil negara-negara bagian juga mempunyai kewenangan yang kuat.
Indonesia dari segi sistem ketatanegaraan menggunakan bentuk negara kesatuan. Bahkan secara tegas dalam mekanisme perubahan konstitusi dinyatakan bahwa bentuk negara kesatuan tidak dapat dilakukan perubahan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan bahwa “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Artinya bentuk negara kesatuan merupakan bentuk negara yang final bagi Indonesia. Namun, bukan berarti bentuk negara kesatuan dengan sistem sentralisasi kekuasaan. Bentuk negara kesatuan yang dianut oleh Indonesia adalah bentuk negara dengan desentralisasi kekuasaan. Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Kemudian ayat (2) mengemukakan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan daerah tersebut dijalankan dengan otonomi seluas-luasnya. Kecuali yang diatur lain dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (5) yang menjelaskan bahwa Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Melihat dari hal tersebut maka DPD perlu dikuatkan. Penguatan dapat dilakukan secara kelembagaan dan kewenangan. Penguatan secara kelembagaan agar sesuai dengan semangat otonomi daerah. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi membuat perlunya wakil daerah di pusat. Wakil daerah itu harus representatif. Artinya harus dihitung berdasarkan jumlah daerah kabupaten/kota. Bukan ditentukan berdasarkan provinsi dengan jumlah yang sama, seperti yang ada saat ini. Hal tersebut karena pada setiap provinsi terdapat jumlah kabupaten/kota yang berbeda. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22C ayat (2) menyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jika sistem perwakilan jumlah anggota yang dipakai seperti sekarang, maka dapat dikatakan DPD sebagai dewan perwakilan provinsi, bukan dewan perwakilan kabupaten/kota masing-masing.
Oleh karena itu lebih baik jika ada perwakilan setiap kabupaten, kota, dan provinsi. Masing-masing berjumlah 1 (satu) anggota untuk mewakili daerahnya masing-masing. Jika tidak maka anggota DPD cukup 1 (satu) anggota mewakili satu daerah provinsi, tetapi dengan syarat harus ada penguatan kewenangan. Paling tidak kewenangan anggota DPD hampir sama dengan anggota DPR.
Jika melihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22C ayat (2) juga ada yang menarik dengan penentuan jumlah. Jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini agak janggal. Jumlah anggota DPD lebih sedikit dari jumlah anggota DPR. Tetapi kewenangan DPD lebih lemah dari DPR. Hal ini tentu tidak linier. Apabila dilakukan voting tentu DPD akan selalu kalah dari aspek jumlah maupun kewenangan. Bandingkan misalnya dengan di Amerika Serikat. Jumlah Senate lebih sedikit dibandingkan jumlah anggota DPR Amerika Serikat. Tetapi kewenangan Senate lebih besar dari DPR, misalnya dalam kewenangan terkait penyelesaian impeachment. Di sini ada ekuilibrium (keseimbangan) antara Senate dengan DPR. Senate mempunyai jumlah yang sedikit tetapi mempunyai kewenangan yang lebih, begitu sebaliknya. Tetapi jika melihat Indonesia, tidak ada keseimbangan antara DPD dengan DPR dari segi kelembagaan dan kewenangan. Hal ini tentu sulit untuk mencari titik check and balances antar lembaga negara dalam hal ini khususnya antara DPD dengan DPR. Artinya juga perlu diperkuat kewenangan DPD agar dapat menjaga keberimbangan khsususnya dalam cabang kekuasaan legislatif di Indonesia yaitu MPR, DPR, dan DPD. Salah satu penguatan yang mungkin dilakukan yaitu dengan memberikan kewenangan legislasi lebih kuat kepada anggota DPD. Misalnya, DPD ikut memutuskan atau menyetujui rancangan undang-undang terkait dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD juga harus diberikan kewenangan untuk ikut membahas rancangan undang-undang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
sumber: rechtsvinding