INDOMETRO Law Office

Perkawinan Anak: Kondisi Darurat dan Potensi Tindak Pidana

 


Meningkatnya permohonan dispensasi kawin di Indonesia menjadi sorotan berbagai pihak, dalam diskusi daring tentang Rapat Koordinasi Hasil Pengawasan Implementasi Dispensasi Kawin Usia Anak. Dihadiri oleh Diah Pitaloka S. Sos., M. Si., anggota Komisi VIII DPR RI, Dr. Amran Suadi, S.H., M.H., M.M., Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung, Woro Srihastuti Sulistyoningrum, S.S.T., MIDS, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Bappenas, serta Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dra. Lenny N. Rosalin, M.Sc., M.Fin. Di dalam kesempatan tersebut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, menyampaikan bahwa perkawinan anak harus menjadi perhatian semua pihak, mengingat dampak sistemik dan berkelanjutan dari perkawinan anak. Perkawinan anak akan menyebabkan kondisi sulit bagi anak, baik putusnya pendidikan, kerentanan kesehatan reproduksi, kerentanan kehidupan keluarga, hingga berdampak pada stunting dan kemiskinan yang berkelanjutan. Perkawinan anak berdampak bagi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang (kpai.go.id, 2020).


KPAI menyebutkan angka prevalensi perkawinan anak di tahun 2019 adalah 10,8% dengan target 8,74% pada tahun 2024. Sedangkan angka permohonan dispensasi kawin dari Badan Peradilan Agama (Badilag) RI, Januari-Juni 2020 sebanyak 49.684, padahal di tahun 2019 berjumah 29.359. Laporan yang diterbitkan oleh BPS dan UNICEF untuk menganalisis data perkawinan anak di Indonesia edisi tahun 2020 menyebutkan pada tahun 2018, 1 dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia. Perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 dan angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Analisis data perkawinan anak melihat perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum mereka berusia 15 dan 18 tahun dan juga perkawinan anak laki-laki. Menurut angka absolut kejadian perkawinan usia anaknya, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah 3 provinsi yang paling tinggi (kpai.go.id, 2020).


Mahkamah Agung mencatat peningkatan jumlah perkara Dispensasi Kawin yang diputus pengadilan dari 23.126 (2019) menjadi 35.441 (2020). Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifudin berkomitmen untuk membantu pemerintah dalam hal penurunan jumlah perkawinan anak dari 11,2% di 2018 menjadi 8,74% pada 2024 dan 6,9% pada 2030.  Pada 2019, permohonan dispensasi untuk anak perempuan berusia 16 tahun ke bawah berjumlah sembilan anak dan pada 2020 naik menjadi 13 anak. Sedangkan permohonan dispensasi pernikahan untuk anak laki-laki berusia kurang dari 19 tahun pada 2019 tercatat 23 anak dan pada 2020 turun menjadi 16 anak (Aulia Putri P, 2021).


Dalam studi literatur yang ditulis oleh Elga Andina dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI bidang Kesejahteraan Sosial menyebutkan permohonan perkawinan anak terjadi berasal dari orang tua maupun anak itu sendiri, faktor penyebab terjadinya hal tersebut karena minimnya pengawasan anak sehingga takut terjadi pergaulan bebas pada anak dan kehamilan di luar nikah, sebanyak 89% Hakim mengabulkan permohonan dispensasi kawin dengan dalil untuk menanggapi kekhawatiran orang tua bila terjadi permusuhan antar keluarga dan rasa malu bila tidak dinikahkan, anaknya hamil terlebih dahulu dan tidak dinikahkan. hal ini terkesan menggampangkan dan mengaburkan inti dari tujuan perkawinan (Andina Elga, 2021).


Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Abdul Jalil yang menerangkan faktor pernikahan anak adalah pergaulan bebas, pengaruh lingkungan, faktor ekonomi, pendidikan rendah, faktor agama, faktor sosial budaya, dan kurangnya pemahaman UU No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 1 Tahun 1974 tentang UU Perkawinan (UU Perkawinan). Usia remaja merupakan fase kritis, rasa keingintahuan khususnya dalam aspek seksualitas idealnya dapat difasilitasi oleh orang tua. Di sisi lain, dengan perkembangan teknologi informasi, maka remaja mendapatkan kesempatan luas untuk mengakses informasi tentang konten-konten berbau pornografi, baik di media cetak maupun elektronik, bahkan melalui warung internet. Tidak jarang terjadi, warung internet memungkinkan penggunanya untuk berhubungan seksual di bilik-bilik tertutup (Abdul Jalil, 2014).


Penelitian menunjukan bahwa perkawinan anak di bawah umur merupakan faktor meningkatnya angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perkawinan anak di bawah umur biasanya masih bersifat egois dan masih menggunakan harta dari orang tua. Agar terciptanya sebuah keluarga yang bahagia dan kekal mestinya Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berperan sebagai pencatat dan pengawas setiap perkawinan harus lebih jeli dan tegas dalam menjalankan tugas dan perannya (Rahmatiah H, 2016).


Maraknya perkawinan anak terjadi tidak terlepas pula dari ruang yang diberikan oleh lembaga yudikatif melalui Dispensasi Kawin yang tertuang dalam Pasal 7 UU Perkawinan yang menyebutkan “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”. Sehingga diskursus akademik muncul karena ada klausul yang berbunyi “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur“ dan “alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”, hal ini tentunya perlu kajian mendalam terkait penyimpangan umur dan keadaan sangat mendesak.


Perlu menjadi perhatian oleh lembaga judikatif bahwa Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi 2 (dua) protokol opsional Konvensi Hak Anak melalui UU No. 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak; dan UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Berdasarkan pada konvensi-konvensi tersebut menegaskan bahwa pemenuhan hak anak dan perlindungan anak tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan dan kondisi apapun sebagaimana yang diamanatkan dalam konvensi hak anak. Sehingga Lembaga Peradilan harus benar-benar memperhatikan kepentingan anak ketika mengabulkan atau menolak permohonan Dispensasi Kawin.


Mahkamah Agung pada tahun 2019 mengeluarkan Perma No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin menyebutkan pada konsideran huruf d bahwa proses mengadili dispensasi kawin belum diatur secara tegas dan rinci dalam peraturan perundang-undangan maka Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelanggaraan peradilan. Dalam buku Saku Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin yang dikeluarkan Mahkamah Agung menyebutkan bahwa 7 dari 10 perkara dispensasi kawin perempuan tidak dalam keadaan hamil, alasan yang diuraikan oleh hakim untuk memberikan dispensasi kawin karena kedua anak saling mencintai dan beresiko melanggar norma agama dan kesusilaan. Dalam putusan perkara perceraian yang dianalisis dengan menggunakan mesin pembaca (AIPJ2, 2019) 24% dari istri menikah ketika masih anak-anak, UNICEF memperkirakan 11% anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun, 24% perempuan dalam kasus perceraian menikah sebagai anak perempuan menunjukan tingkat perceraian yang lebih tinggi untuk perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun. Usia rata-rata anak perempuan dalam perkara dispensasi kawin adalah 14,5 tahun dan usia rata-rata anak laki-laki dalam perkara dispensasi kawin adalah 16,5 tahun (Mahkamah Agung, 2020).


Perma No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, Hakim memperhatikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengan anak tentunya hal ini tidak mudah dan harus dilakukan secara cermat yang mana menurut penulis tidak hanya mengacu pada dalil pemohon semata namun dengan menggunakan pengetahuan kolektif seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 huruf (d), (e), (h), (i), dan memperhatikan konvensi-konvensi yang berhubungan dangan anak seperti yang tertuang dalam Pasal 17 huruf (b).


Berdasarkan pada pemaparan di atas bahwa perkawinan merupakan ikatan suci dan memiliki tujuan yang mulia seperti yang tertuang didalam UU Perkawinan maupun dalam konteks ketentuan agama, tentunya harus dijalankan sesuai dengan asas tujuan dari perkawinan bukan semata-mata hanya karena rasa malu, maupun perihal rendahnya ekonomi, semua itu harus menjadi tanggaung jawab orang tua, keluarga maupun pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan umum yang berkeadilan serta menciptakan regulasi untuk menekan laju perkawinan anak yang ketat. Selain itu, seperti yang dijelaskan sebelumnya Penulis menyayangkan adanya peningkatan yang cukup tinggi atas perkawinan anak yang berimbas kepada hilangnya hak-hak anak itu sendiri, tentunya bisa menghambat potensi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang.


Lembaga peradilan tentunya harus memperhatikan pula konvensi maupun peraturan yang berkaitan dengan hak anak dan juga bahaya tindak pidana perdagangan orang, Pasal 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Pemberantasan TPPO) menunjukan unsur-unsur pidana perdagangan orang di antaranya adanya ancaman kekerasan, memanfaatkan posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain baik dilakukan di dalam negara maupun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Korban dalam konteks Undang-Undang a quo dijelaskan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial. UU Pemberantasan TPPO memberikan sanksi pidana apabila memenuhi unsur pidana yang disebutkan maka dijatuhi pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000 dan paling banyak Rp. 600.000.000.


Dengan demikian sejalan dengan Perma No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Kawin memiliki peranan aktif untuk mencari informasi secara mendalam dan komprehensif apakah orang tua yang mengawinkan anaknya dengan orang lain mendapat persetujuan tanpa paksaan, selain itu memastikan tidak adanya perkawinan paksaan karena penjeratan utang, ataupun menerima manfaat karena dibayar oleh orang lain sehingga orang tua membuat tipu muslihat terhadap anaknya agar menyetujui atas perkawinan, hal ini tentunya tidaklah mudah dan tidak sederhana. Sehingga di penghujung penulisan ini, Penulis memberikan rekomendasi ketika permohonan dispensasi kawin sudah dilakukan investigasi atau pencarian informasi secara menyeluruh atas permohonan dengan mengoptimalkan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait sampai pada tingkat Rukun Tetangga (RT), dukuh maupun dusun, serta melakukan sosialisasi sampai akar rumput akan bahaya perkawinan anak bagi reproduksi dan hak-hak anak serta mensosialisasikan terkait potensi pidana berupa tindak pidana perdagangan orang, dan langkah-langkah tersebut bisa mencegah modus operandi oleh pelaku tindak pidana melalui dispensasi perkawinan, dan seluruh elemen masyarakat bisa saling bekerja sama untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang maju bukan hanya slogan Indonesia maju yang selalu digaungkan.


Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال