Perkawinan merupakan perpaduan dua insan dalam suatu ikatan untuk menjalani hidup
besama. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami istri, oleh
karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu
perkawinan. Perkawinan ini sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap
mempertahankan generasi atau keturunannya. Ketika rumah tangga sudah mempunyai keturunan,
sering kali tujuan berumah tangga untuk membangun rumah tangga bahagia tidak lagi tercapai, dan pada akhirnya berujung pada perceraian, pada hal, akhir dari perjalanan berumah tangga seperti itu tidak pernah dicita-citakan.
Angka perceraian di Indonesia pada setiap tahunnya mengalami tren kenaikan yang cukup
signifikan. Dr. Kamarudin Amin, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama RI,2 mengakui akan hal itu. Beliau tidak menafikan data yang dilaporkan Setjen Badilag Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun ini per Agustus 2020 angka perceraian yang dilaporkan oleh Dirjen Badilag MA sudah mencapai angka 306.688 kasus. Dimana angka perceraian di Indonesia pada tahun 2019 berjumlah 480.618 kasus, mengalami kenaikan sebesar 12 % bila dibandingkan tahun sebelumnya,dimana pada tahun 2018 sebanyak 444.358 kasus.
Seperti yang disampaikan oleh Dr. Drs. H. Aco Nur, SH. MH., Dirjen Badilag MA RI, dalam
Webinar Dialog Internasional tentang Hak-Hak Perempuan dan Anak pasca perceraian di tiga negara,
Indonesia, Malaysia dan Australia, bahwa berdasarkan penelitian Badilag MA RI, AIPJ dan Perguruan
Tinggi pada Tahun 2018 dari 447.417 putusan Pengadilan Agama tentang perceraian terdapat 70 %
perceraian diajukan oleh pihak isteri, yang disebut Cerai Gugat, hanya 2 % dalam perkara tersebut yang
mengajukan hak asuh anak, dan 1 % mengajukan nafkah anak, pada hal dalam kasus perceraian
tersebut diperkirakan terdapat 850.000 anak terdampak dari perceraian orang tuanya.3. Miss. Leisha
Lister, Penasehat Senior AIPJ dalam Keynot Speaker di webinar tersebut mengungkapkan bahwa setiap
tahun terdapat 1 (satu) juta anak di Indonesia yang terdampak perceraian orang tuanya, mereka rentan
menjadi korban atas sikap abai oleh orang tuanya maupun oleh masyarakat dan Negara.
Pada tahun 2014. Dr. H.Ahmad Choiri, SH. MH.,4 dalam suatu penelitian yang dilakukannya di
wilayah Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur, menyimpulkan bahwa sikap abai atas perlindungan hak-hak anak korban perceraian orang tuanya bukan hanya dilakukan oleh orang tua anak tersebut
melainkan juga oleh hakim pengadilan agama. Alasan yang disampaikan beliau adalah mayoritas majelis hakim yang menangani perkara perceraian yang di dalam perkara tersebut terdapat anak, namun tidak mempertimbangkan sama sekali akan hak-hak anak di dalam putusannya. Sikap abai ini berdalih karena mereka yang bercerai tidak mempersoalkan tentang anak dan apabila hakim dalam memutus perkara perceraian tersebut disertai hak asuh anak maupun nafkah anak akan melanggar asas hukum ultra Petita.5 Penulis pernah melakukan penelitian yang sama di tahun 2017 terhadap 1000 perkara perceraian di 3 (tiga) Pengadilan Agama yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Hasilnya dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut :
1. Dari 1000 perkara tersebut sebanyak 70 % (persen) perkara cerai gugat, sisanya cerai talak.
2. Dari 1000 perkara tersebut terdapat 1500 orang anak berusia di bawah 18 tahun, artinya terdapat
150 % (persen) anak yang rentan menjadi korban perceraian orang tuanya.
3. Dari 1000 perkara tersebut hanya 7 % (persen) para pihak berperkara yang mengajukan hak-hak
anak pasca perceraian, seperti hak asuh anak, nafkah anak dll.
4. Dari 1000 perkara tersebut hanya 1 % (persen) Mediator, baik mediator hakim maupun mediator
nonhakim yang berhasil mendamaikan tentang hak-hak anak meski tidak diajukan dalam posita
maupun petitum surat gugatan atau permohonan.
5. Dari 1000 perkara tersebut hanya 12 % (persen) dalam putusannya, hakim pengadilan agama
mempertimbangkan tentang hak-hak anak.
6. Dari 1000 perkara tersebut hanya 1 % (persen) dalam putusannya dimuat penerapan hukum dari
Undang-Undang Perlindungan Anak, (Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagai mana diubah
dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014).
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama belum melaksanakan
secara optimal kewenangannya dalam memberikan perlindungan anak pasca perceraian orang tuanya,
sesuai undang-undang perlindungan anak.6 Pada hal sejatinya hakim pengadilan agama sebagai
penegak hukum mewakili negara, harus berani keluar dari zona nyaman, menjadi hakim yang progresif,
tidak berdalih yang penting perkara cepat selesai tidak perlu mencari-cari persoalan yang tidak
disengketakan oleh para pihak berperkara dan itu hanya menambah beban dalam membuat keputusan.
Kinerja hakim pengadilan agama yang mengabaikan perlindungan anak seperti itu dapat diartikan bahwa pengadilan agama di Indonesia kurang berperan dalam memberi perlindungan anak, khususnya anak korban perceraian orang tuanya. Permasalahannya adalah, apa dan bagaimana peran yang bisa
dilakukan oleh para hakim pengadilan agama di dalam memberi perlindungan terhadap anak khususnya
anak-anak korban perceraian orang tuanya, yang setiap tahun angkanya mengalami peningkatan.
1. Definisi Anak Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dalam Kamus Umum bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan
dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. Menurut R.A. Kosnan “Anak
yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh
untuk keadaan sekitarnya”. Oleh karna itu anak-anak perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh. Akan
tetapi, sebagai makhluk social yang paling rentan dan lemah, ironisnya anak-anak justru sering kali
ditempatkan dalam posisi yang paling dirugikan, tidak memiliki hak untuk bersuara, dan bahkan mereka sering menjadi korban tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-haknya. Pengertian anak
menurut UU No. 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, disebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Anak menurut Kitab Udang –Undang Hukum perdata dijelaskan dalam Pasal 330 Kitab 3
Undang-undang Hukum Perdata, dinyatakan orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jadi yang dimaksud dengan anak dalam tulisan ini
adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah.
2. Dasar Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia.
Dasar hukum pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia, mengacu kepada peraturan
perundang-undangan nasional dan internasional. Dasar hukum nasional yang utama adalah Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak, yang berisi antara lain tentang definisi anak, tujuan perlindungan anak, hak-hak anak, kewajiban negara, masyarakat dan keluarga.
Di samping Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 dengan perubahannya tersebut, terkait
dengan perlindungan terhadap anak telah ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik terkait pemidanaan terhadap pornografi anak, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi.
Landasan hukum internasional terkait dengan perlindungan anak yaitu Konvensi tentang Hak-
hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada Tanggal 20 Nopember
1989. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan, antara lain : Anak-anak berhak atas
pengasuhannya dan bantuan khusus, Meyakini bahwa keluarga, harus diberikan perlindungan dan
bantuan yang diperlukan sedemikian rupa sehingga dapat dengan sepenuhnya memikul tanggung
tanggung jawabnya di dalam masyarakat, Mengakui bahwa anak, harus tumbuh berkembang dalam
lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian, Mempertimbangkan bahwa
anak harus dipersiapkan seutuhmya untuk hidup dalam suatu kehidupan individu dan masyarakat, dan
dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan
terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan, persamaan dan
solidaritas.
Mengingat bahwa kebutuhan untuk memberikan pengasuhan khusus kepada anak, telah
dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa mengenai Hak-hak Anak tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hak-hak
Anak yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 20 November 1959 dan diakui dalam Deklarasi
Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik (terutama dalam pasal 23 dan pasal 24), dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,Sosial dan Budaya (terutama pasal 10) dan dalam statuta-statuta dan instrumen-instrumen yang relevandari badan-badan khusus dan organisasi-organisasi internasional yang memperhatikan kesejahteraan anak.
3. Peran Pengadilan Agama Terhadap Perlindungan Anak.
Kebanyakan orang tua yang mengalami pecah (broken) dalam rumah tangganya sehingga
berujung ke Pengadilan untuk bercerai, hanya memikirkan kehidupan pribadinya tanpa memikirkan nasib anak-anaknya pasca perceraian. Hal ini dapat diketahui dari tingginya angka perceraian pasangan suami isteri yang telah mempunyai anak, mereka tidak mempersoalkan di pengadilan tentang anak-anak
mereka yang rentan terdampak perceraian tersebut. Mereka egois yang penting bercerai dengan
pasangannya tidak memikirkan bagaimana nasib anak-anak nanti, setelah bercerai nanti akan dipelihara
oleh siapa, siapa yang menafkahi, bagaimana pendidikannya, bagaimana biaya kesehatannya dan lain
sebagainya.
Sikap abai terhadap anak-anak korban perceraian orang tuanya bukan hanya dilakukan oleh
para orang tua anak-anak tersebut, melainkan juga oleh para hakim pengadilan agama ketika menangani
perkara perceraian yang terdapat anak di dalamnya. Sebagian besar para hakim yang mengadili perkara
perceraian tersebut juga bersikap abai terhadap perlindungan anak korban perceraian orang tuanya.
Sikap para hakim tersebut tercermin dari hasil penelitian penulis tersebut di atas, di mana dari 1000
perkara perceraian hanya ada 12 % di dalam putusannya mempertimbangkan tentang hak-hak anak,
bahkan hanya 1 % hakim Pengadilan Agama yang memuat ketentuan Undang-undang perlindungan
anak, yaitu UU Nomor 23 Tahun 2002 jo. UU Nomor 35 Tahun 2014, di dalam pertimbangan hukumnya pada hal di dalam perkara tersebut terdapat anak yang jadi korban perceraian orang tuanya. Untuk itu perlu ditegaskan dalam tulisan ini mengenai peran pengadilan agama atau hakim pengadilan agama yang menangani perkara perceraian yang di dalamnya terdapat anak untuk memberi perlindungan terhadap anak yang terdampak akibat perceraian orang tuanya.
1. Perlindungan Anak Dalam Pembuatan Surat Gugatan.
Seseorang yang mengajukan perkara perceraian ke Pengadilan Agama diawali dengan
membuat surat gugatan atau permohonan. Surat gugatan tersebut bisa dibuat sendiri, atau melalui
kuasa hukumnya atau meminta bantuan pada posbakum yang disediakan di dekat ruang PTSP.
Pengadilan Agama. Dalam sesi ini Pengadilan Agama harus mengontrol kinerja petugas posbakum agar
setiap kali membuatkan surat gugatan atau permohonan perkara perceraian dan di dalam rumah
tangganya terdapat anak, maka diperintahkan agar dimuat baik di dalam posita maupun dalam petitum
mengenai hak-hak anak tersebut. Jika memang tidak disengketakan, karena akan dipelihara maupun
dinafkahi bersama atau ditanggung sendiri juga harus dimuat penegasan tersebut di dalam posita agar
majlis hakim yang memeriksa perkara perceraian tersebut dapat juga menanyakan dan
mempertimbangkan di dalam putusan mengenai perlindungan anak. Sejatinya bagi kalangan advokat
juga dapat dianjurkan di dalam penyusunan surat gugatan atau permohonan agar persoalan hak-hak
anak pasca perceraian orang tuanya supaya dimuat di dalam posita maupun petitum. Dengan demikian
bisa jadi setiap perkara perceraian baik cerai gugat maupun cerai talak, yang di dalamnya terdapat anak,
dapat dipastikan pengadilan agama akan memeriksa dan mempertimbangkan hak hak anak sesuai
undang-undang perlindungan anak.
2. Perlindungan Anak Dalam Mediasi (perdamaian).
Sebagaimana bunyi Pasal 25 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang
prosedur mediasi di Pengadilan bahwa materi perundingan yang dibahas dalam mediasi tidak terbatas
pada apa yang termuat di dalam posita maupun petitum. Ini artinya ketika seorang mediator sedang
memediasi perkara perceraian yang di dalamnya terdapat anak, namun tidak dimasukkan baik dalam
posita maupun petitum mengenai hak-hak anak pasca perceraian orang tuanya, maka mediator harus
memberi perlindungan terhadap anak tersebut dengan memediasi jika terjadi perceraian maka akan
seperti apa nasib anak-anak mereka. Boleh jadi mediasi untuk tidak jadi bercerai tidak berhasil, namun
tentang hak asuh anak, nafkah anak dan lain-lain dapat disepakati dalam mediasi tersebut, sehingga
mediasi dilaporkan berhasil sebagian.
3. Perlindungan Anak Dalam Pemeriksaan Perkara.
Tidak sedikit perkara perceraian yang diputus pada tingkat banding, akhirnya majlis hakim
tingkat banding membatalkan putusan hakim tingkat pertama dengan mengadili sendiri dengan
perbaikan amar putusan hakim tingkat pertama. Pembatalan tersebut dikarenakan terdapat kurangnya
data maupun pertimbangan hukum terkait perlindungan anak. Hakim tingkat banding sering kali
menambahkan pertimbangan dengan menerapkan undang-undang perlindungan anak No. 23 tahun
2002 jo. UU Nomor 35 tahun 2014, terutama Pasal 14 yang menegaskan bahwa setiap anak berhak
untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir. Oleh karena itu sudah seharusnya menjadi kewajiban ketika orang tuanya
bercerai di hadapan hakim, maka nasib anak-anak mereka pasca perceraian orang tuanya wajib didalami oleh hakim, bagaimana nasib anak-anak ini ke depan, siapa yang memelihara, siapa yang menafkahi, siapa yang mendidik dan seterusnya.
4. Perlindunagn Anak Meski Tidak Diminta.
Di dalam Sema Nomor 4 Tahun 2014 pada angka 5 rumusan hukum kamar agama ditegaskan
bahwa Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan nafkah anak kepada ayahnya apabila
secara nyata anak tersebut berada dalam asuhan ibunya, sebagaimana hal tersebut diatur dalam pasal
156 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.7 Dengan dasar aturan ini hakim pengadilan agama bisa
menyimpangi asas hukum perdata mengenai Ultra Petitum Partium (hakim tidak boleh mengabulkan
sesuatu yang tidak diminta) untuk menghukum ayah dari anak tersebut untuk memberikan nafkah
terhadap anaknya meski tidak diminta oleh ibunya, apabila nyata anak tersebut berada dalam
pemeliharaan ibunya. Oleh karena itu hakim pada saat memeriksa perkara perceraian, jika ada anak
yang rentan akan jadi korban perceraian orang tuanya, dipersoalkan ataupun tidak dipersoalkan
mengenai nafkah anak, sudah seharusnya hakim mendalami tentang hal itu. Hakim harus mencari data
tentang berapa kemampuan seorang ayah jika akan dibebani untuk membayar nafkah untuk anaknya.
Dan semua itu harus dimuat dalam pertimbangan hukum secara jelas.
5. Perlindungan Anak Berdasarkan The Best Interest Of The Child
Di dalam memeriksa perkara sengketa hak asuh dan nafkah anak, pengadilan agama sejatinya
hakim yang memeriksa perkara tersebut selalu berorientasi kepada kepentingan yang terbaik untuk
anak. Di dalam memutus perkara tersebut hakim sejatinya memberi pertimbangan yang cukup di dalam
putusannya dengan pertimbangan yang berorientasi bukan kepada kepentingan ibu anak tersebut,
bukan juga kepada kepentingan ayah anak tersebut melainkan yang lebih utama adalah demi
kepentingan yang terbaik untuk anak (the best interest of the child). Seperti perkara sengketa hak asuh
anak yang diajukan oleh ibu dari anak perempuan yang baru berumur 7 tahun di Pengadilan Agama
Jakarta Timur pada tahun 20158. Hakim yang memeriksa perkara tersebut memutus hak asuh anak
tersebut kepada ayahnya dengan alasan, anak tersebut sudah nyaman tinggal bersama dengan ayahnya
dan dirawat sejak umur 3 tahun bersama dengan isterinya yang baru. Bahkan sikap anak yang baru
berumur 7 tahun tersebut, nampak asing dengan ibu kandungnya sendir karena sejak umur 3 tahun telah
ditinggal pergi oleh ibunya yang bekerja sampai saat gugatan diajukan masih sebagai pramugari yang
baru bisa pulang hanya 1 bulan sekali. Jika hanya berpedoman kepada Pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam,9 anak yang baru berumur 7 tahun tersebut atau belum mumayyiz seharusnya dikabulkan
gugatan penggugat yaitu anak dipelihara oleh ibunya, namun hal itu bukan yang terbaik untuk anak
tersebut.
Tulisan ini bertujuan untuk memberi isyarat kepada para pimpinan pengadilan agama agar
memberi perhatian yang selama ini terabaikan khusus kepada para hakim, para mediator, petugas pos
bantuan hukum, kepada para pengacara / advokat dan pelaku hukum keluarga lainnya agar penerapan
terhadap undang-undang perlindungan anak dalam kasus sengketa perceraian yang ada anak di
dalamnya maupun terhadap sengketa hak asuh dan nafkah anak serta perkara tentang anak berhadapan
dengan hukum lainnya, agar lebih ditingkatkan dengan berorientasi kepada kepentingan yang terbaik
untuk anak (the best interest of the child) supaya tidak terjadi dampak negatif terhadap anak yang orang
tuanya bercerai di pengadilan agama. Dengan adanya perhatian yang lebih progressif oleh pengadilan
agama maka tidak akan muncul anak-anak terlantar, anak putus sekolah, anak jalanan, anak yang nakal
dan lain sebagainya, karena menjadi korban perceraian orang tuanya.