INDOMETRO Law Office

Prinsip Ultimum Remidium dalam Penerapan Hukum Pidana di Indonesia



Kejahatan adalah salah satu penyakit sosial yang paling tua. Hal tersebut telah ada sejak manusia pertama kali berjalan di permukaan bumi, bahkan sejak manusia pertama diciptakan. Adam dan Hawa melanggar perintah Tuhan karena mengambil buah larangan, sehingga mereka dikeluarkan dari surga dan akhirnya turun dan tinggal di bumi. Dalam perkembanganya kejahatan muncul dalam berbagai macam bentuk seperti, pencurian, pembunuhan, penggelapan, penipuan, korupsi, dan berbagai macam bentuk lainnya. Untuk menanggulangi masalah tersebut, salah satu jalan yang ditempuh adalah menggunakan hukum pidana.

 
Menurut Prof. Sudarto yang mengambil pendapat dari Mezger, definisi hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana (Sudarto:2013,13). Pidana adalah nestapa atau penderitaan, maka apabila dikaitkan dengan pendapat sebelumnya bahwa hukum pidana adalah hukum mengenai penderitaan yang dikenakan kepada orang yang melanggar aturan-aturan yang ada dan telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena daya rusaknya yang begitu besar, maka dalam mengenakan pidana terhadap seseorang tidak dapat dilakukan secara serta merta, diperlukan suatu pengetahuan  dalam menerapkannya. Ilmu pengetahuan tersebut adalah Ilmu Hukum Pidana. Pada dasarnya, berdasarkan ilmu hukum pidana, penjatuhan pidana atau hukuman terhadap pelaku tindak pidana merupakan jalan terakhir (the last resort) dalam menanggulangi kejahatan. Hal ini biasa disebut dengan istilah ultimum remidium atau obat terakhir. Menurut doktrin ini, penanggulangan kejahatan seharusnya tidak langsung menggunakan hukum pidana, dapat diupayakan hal-hal lainnya terlebih dahulu (jalur mediasi, diversi, hukum perdata atau administrasi, dll.).



Namun sayangnya, di Indonesia doktrin ultimum remidium dirasa tidak berjalan dengan seperti yang telah diharapkan. Baik dari segi substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan kultur hukum (legal culture) di Indonesia, paham retributif yang berasal dari aliran klasik hukum pidana masih sangat mendominasi. Seolah-olah semua kasus hukum yang terjadi harus diselesaikan melalui jalur hukum pidana. Masyarakat secara umum pun masih memiliki pemikiran bahwa apabila seorang pelaku tindak pidana tidak dipidanakan dirasa “kurang mantep”. Sebagai contoh, kita dapat melihat terhadap kasus yang menimpa First Travel. Terlepas bagaimana ending dari kasus tersebut, sebenarnya kasus ini lebih condong terhadap aspek hukum perdata daripada hukum pidana, karena pada dasarnya hal ini adalah permasalahan “tidak terpenuhinya suatu prestasi” oleh salah satu pihak. Pada akhirnya kasus ini pun masuk ke ranah pidana dan diputus bersalah karena melakukan tindak pidana penipuan dan pencucian uang berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.3096K/Pid.Sus/2018 (kompas.com Senin, 27 Januari 2020). Namun naas, aset dari kasus tersebut tidak dapat dikembalikan kepada korban dan akhirnya menjadi milik negara.


Dalam hal ranah legal structure, masih terdapat aparat penegak hukum yang masih berpikir bahwa hukum pidana sebagai sarana utama  dalam menanggulangi kejahatan. Beberapa hal dapat dicontohkan terhadap kasus maladministrasi tertutama dalam hal penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah, seharusnya dapat diselesaikan melalui mekanisme internal terlebih dahulu sesuai Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Namun berdasarkan wawancara yang pernah dilakukan terhadap Bapak Adi Wicaksana Kepala Seksi Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Semarang menyatakan bahwa sering terjadi perbedaan pendapat dan penafsiran dalam hal menentukan unsur ada atau tidaknya “penyalahgunaan wewenang” antara jaksa dan pejabat tata usaha negara, terutama dalam hal penggunaan diskresi oleh pejabat tata usaha negara yang menimbulkan kerugian negara. Secara singkat, Adi Wicaksana menyatakan bahwa selama perbuatan yang dilakukan oleh pejabat publik itu berdampak pada kerugian negara, disitulah hukum pidana dapat masuk (Guslan: 2019, 113).


Maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam hal terdapat perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat publik yang menimbulkan kerugian keuangan negara, terlepas apakah sudah dilakukan upaya hukum lainnya atau belum, maka hukum pidana dapat masuk dan menjadi sarana utama (primum remidium) dalam menanggulangi tindak pidana. Walaupun disisi lain, pada tanggal 26 Maret 2015 dalam rangka memperingati HUT IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) ke-62, IKAHI telah bersepakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi hendaknya mengutamakan sarana dan mekanisme diluar hukum pidana terlebih dahulu, yaitu melalui Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sesuai amanah dari Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (IKAHI: 2015, 1). Contoh kasus lainnya adalah kasus seorang ayah yang tidak sengaja menabrak anaknya sendiri di Sidoarjo, Jawa Timur (news.okzeone.com). Menurut Kombes Pol Frans Barung Mangera, bahwa ayah dari anak tersebut dapat dijerat dengan Pasal 359 KUHP. Hal ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum kita masih kental dengan nuansa aliran klasik hukum pidana yang berpandangan retributif.


Hal yang dapat terjadi, bahkan sudah terjadi akibat masih kuatnya paradigma hukum pidana sebagai primum remidium salah satunya adalah overcapacity pada lembaga pemasyarakatan kita (smslap.ditjenpas.go.id). Akibat lanjutan dari hal ini adalah membludaknya anggaran untuk membiayai keperluan pangan para napi, belum lagi masalah internal lainnya. Sebenarnya hal ini merupakan suatu kewajaran, dikarenakan memang seperti itu konsekuensi dari Pasal 1 ayat (1) KUHP (asas legalitas). Para pakar sepertinya sudah memikirkan hal ini sebelumnya sehingga dalam RUU KUHP yang baru telah dilakukan reformulasi terhadap asas legalitas kita, serta sebuah solusi terkait alternatif lain bagi pidana penjara, yaitu pidana kerja sosial. Sehingga diharapkan dampak negatif dari penjatuhan pidana dapat berkurang dan tertanggulangi. Pemikiran lainnya yang tidak kalah menarik adalah dari Prof. Romli Atmasasmita mengenai rekonstruksi asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) yang dilengkapi dengan asas tiada kesalahan tanpa kemanfaatan (geen schuld zonder nut). Terdapat beberapa poin penting yang dapat diungkapkan terkait asas ini, yaitu (Atmasasmita: 2017, 200-206):

  1. Asas tiada kesalahan tanpa kemanfaatan adalah pelengkap dari asas yang pertama (geen straf zonder schuld), dan berdasarkan pada prinsip komplementaris. Hal ini berarti apabila dalam hal penerapanya, kepastian hukum tidak menimbulkan efek jera dan kontraproduktif, maka prinsip kemanfaatan dan efisiensi dapat diterapkan;
  2. Asas ini bertumpu pada premis bahwa “keadilan hukum pidana bukan hanya bertumpu pada kesalahan sebagai tolok ukur keberhasilan (output), melainkan juga harus berorientasi pada dampaknya (outcome), yaitu kemanfaatan bersama antara pelaku, korban, dan masyarakat”;
  3. Asas tiada pidana tanpa kesalahan bertitik tolak pada konflik kepentingan  individu dan diselesaikan melalui sarana konflik untuk mencapai kebenaran material. Sedangkan asas tiada kesalahan tanpa kemanfaatan bertitik tolak pada musyawarah dan mufakat untuk mencapai perdamaian di mana keadilan merupakan kesepakatan mengenai penilaian adil oleh para pihak. Namun ketika musyawarah tidak mencapai mufakat, para pihak dipersilakan menempuh jalur pengadilan.

Apabila para aparat penegak hukum menerapkan asas ini dalam ranah praktik peradilan, maka secara langsung mereka telah menerapkan hukum pidana sebagai ultimum remidium bukan sebagai primum remidium. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan suatu sinergitas antara kebijakan penal (penal policy) dan kebijakan non penal (non penal policy) dalam kebijakan kriminal atau politik kriminal yang diambil oleh pemerintah, yang pada intinya bersepakat untuk menjadikan hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam menanggulangi kejahatan mengingat dampak (impact) yang ditimbulkan dalam penggunanaya memiliki daya rusak yang sangat besar, serta diperlukan pendekatan integral (berkesinambungan) antara bagian dari sistem hukum kita (legal substance, structure, legal culture), untuk mewujudkan hukum yang membahagiakan masyarakatnya.


sumber: rechtsvinding

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال