Indonesia merupakan negara yang rakyatnya multikultural dengan adat istiadat, suku, agama, golongan, etnis yang sangat beragam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan sebanyak 278,8 juta jiwa sampai tahun 2023 dengan usia 15-64 tahun sebanyak 69,13% penduduk, usia 0-14 tahun sebanyak 23,89% dan kemudian 6,98% penduduk yang berusia 65 tahun ke atas. Jumlah penduduk tersebut berasal dari 38 provinsi di Indonesia dengan macam-macam adat istiadat dari daerah masing-masing wilayah provinsi tersebut. Negara Indonesia juga memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Selain adat istiadat dan suku bangsa yang beragam, Indonesia memiliki keberagaman dalam hal agama dan kepercayaan. Tahun 1965, Presiden Indonesia Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Di dalam Penjelasan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS TAHUN 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, Pasal 1 disebutkan bahwa dengan kata-kata "Dimuka Umum" dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia, ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Maka dalam hal ini, Indonesia mengakui adanya 6 agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Terkait kepercayaan, Indonesia mencatat berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan total ada 187 kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia yang terdata oleh pemerintah.
Dengan data yang disajikan di atas, pemerintah Indonesia berusaha untuk tetap menjaga kerukunan antar umat beragama. Hal ini perlu menjadi sorotan dan perhatian terhadap pemerintah karena masalah identitas apalagi tentang agama merupakan hal yang cukup sensitif. Isu kerukunan agama harus diperhatikan oleh Presiden, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri khususnya. Tetapi perlu diingat dan disadari bersama bahwa isu kerukunan antar umat beragama tetap menjadi tanggungjawab seluruh rakyat Indonesia.
Kedudukan peraturan menteri diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Dengan kata lain, mengacu ketentuan Pasal 8 ayat (1) tersebut Peraturan Menteri diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
ATURAN PASAL YANG SERING MENJADI POLEMIK BAGI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat menjadi topik yang sangat sering dibahas oleh organisasi bercorak agama khususnya pada agama yang tergolong minoritas dalam negara Indonesia. Dalam hal ini, yang menjadi fokus dari organisasi bercorak agama dan para pemuka agama, yaitu perizinan pendirian rumah ibadat. Pada Peraturan Bersama Menteri tersebut mengenai perizinan pendirian ibadat diatur secara lengkap pada Pasal 14, yaitu:
1. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
3. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Meninjau dari Pasal 14 ayat (1) tersebut bahwa syarat umum yang dijadikan sebagai syarat perizinan rumah ibadat, dinilai merupakan hal yang lazim untuk diatur sedemikian rupa karena persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung sifatnya adalah umum dan dapat diberlakukan oleh seluruh agama yang diakui di Indonesia (tidak adanya unsur ketimpangan atau ketidakadilan). Pasal 14 ayat (2) merupakan pembahasan yang dalam, faktanya menuai pro dan kontra dalam masyarakat sehingga mengganggu kerukunan umat beragama di Indonesia. Menurut hemat penulis, berikut uraiannya :
Huruf a merupakan tantangan bagi umat pemeluk agama yang tergolong sedikit jumlahnya di dalam lingkungan yang memiliki mayoritas agama lain dengan adanya prinsip fanatisme beragama. Misalkan dalam suatu daerah X yang memiliki mayoritas agama Kristen Protestan dengan masyarakat berprinsip fanatisme. Umat pemeluk agama lain dalam hal ini dicontohkan, yaitu agama Hindu, ingin membangun suatu tempat ibadah Pura. Umat beragama Hindu akan mendapat kesulitan untuk mendirikan Pura karena jumlah pemeluk agama Hindu di daerah X hanyalah 50 (lima puluh) orang. Tentu dalam hal ini, perizinan pembangunan Pura menjadi terhambat dan tidak terealisasikan akibat kurangnya pengguna rumah ibadat tersebut, yaitu paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang.
Huruf b juga menjadi suatu tantangan bagi pemeluk agama yang tergolong sedikit jumlahnya di dalam lingkungan yang memiliki mayoritas agama lain dengan adanya prinsip fanatisme beragama. Contoh sama dengan poin di atas bahwa adanya prinsip fanatisme yang berkembang di daerah X maka perizinan pembangunan Pura akan kesulitan mendapatkan dukungan paling sedikit 60 (enam puluh) orang dari masyarakat setempat. Tentunya masyarakat setempat tidak akan mendukung dan apabila ada yang mendukung tidak mencapai batas minimal yang ditentukan karena prinsip fanatisme yang berkembang di daerah X.
Huruf c, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota tidak menjadi suatu tantangan karena apabila permintaan rekomendasi tertulis kepada departemen agama tidak sulit dan pemerintah dinilai sebagai lembaga yang nasionalis, bukan sebagai pribadi yang berprinsip fanatisme. Hanya saja tantangan yang mungkin dihadapi adalah jangka waktu yang tidak menentu dan relatif lama karena departemen agama merupakan lembaga pemerintahan yang memiliki tugas cukup kompleks.
Huruf d, rekomendasi tertulis dari FKUB kabupaten/kota akan menjadi tantangan juga bagi pemeluk agama yang tergolong sedikit jumlahnya di dalam lingkungan yang memiliki mayoritas agama lain. Ketentuan Pasal 10 ayat (2), jumlah anggota FKUB tingkat kabupaten/kota paling banyak adalah 17 (tujuh belas) orang. Pada Pasal 10 ayat (3) Peraturan Bersama Menteri ini, FKUB tingkat kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di kabupaten/kota. Berdasarkan contoh pada poin di atas, perbandingan pemeluk agama setempat, yaitu agama Hindu akan mengalami kesulitan apabila agama Hindu menjadi agama paling sedikit pemeluknya di daerah X. Diatur dalam Pasal 10 ayat (3), bahwa keterwakilan minimal 1 (satu) orang, menjadi pertanyaan besar, bagaimana apabila dalam FKUB daerah X tersebut yang menjadi anggota beragama Hindu hanya 1 (satu) orang dan berhadapan dengan paling banyak 16 (enam belas) orang dari agama lain. Pada bagian ini akan menjadi suatu ketidakadilan bagi pemeluk agama Hindu karena akan kesulitan mendapat rekomendasi FKUB karena keanggotaan FKUB didasarkan pada perbandingan jumlah pemeluk agama daerah X.
sumber: https://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=artikel&berita=862