Akademisi sekaligus Guru Besar UI Prof Sulistyowati Irianto menyoroti soal penegakan dan supremasi hukum di Indonesia saat ini.
Ia mengkritik soal supremasi hukum saat ini yang dinilainya telah terjadi banyak penyimpangan sehingga menjadikan masyarakat mempertanyakan netralitas penyelenggara Pemilu. Kekhawatiran itu, diakuinya, semakin meningkat sejak Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober 2023 lalu mengeluarkan putusan kontroversial bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Hal ini menjadi topik pembahasan diskusi publik bertajuk 'Ancaman Politik, Netralitas Penyelenggara Pemilu dan Politisasi Sosial' yang digelar di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Senin (11/12/2023) kemarin. Diskusi tersebut menghadirkan dua pembicara yakni Prof Sulistyowati Irianto dan Pengamat Politik sekaligus Guru Besar Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ikrar Nusa Bhakti. "Apa sih yang diperjuangkan dalam negara hukum? Jawabannya adalah supremasi hukum. Setiap tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara harus didasarkan pada hukum dan bukan sebaliknya, penyelenggara negara mau apa baru hukumnya dibuat. Tujuan hukum itu untuk memberi perlindungan pada warga negara dari kesewenang-wenangan dari penguasa."
Menurutnya, saat ini publik secara jelas dipertontonkan bahwa hukum bisa dibuat seenaknya sesuai keinginan pemimpin. Ia mencontohkan aturan diubah demi memuluskan langkah seseorang yang belum cukup umur untuk bisa mengikuti kontestasi politik.
“Ini sepertinya kita yang sekolah hukum dianggap nggak ada. Tidak tahu apa-apa. Padahal kita semua tahu bahwa Mahkamah Konstitusi lahir disaat publik tidak lagi percaya kepada institusi kepolisian polisi dan penegak hukum lainnya,” ungkap Sulistyowati. "Hal yang kita hadapi hari ini, yang curang adalah penyelenggara negara karena dia juga kontestan di dalam pemilu. Jadi yang dikatakan netral itu tidak ada. Mahkamah konstitusi yang diperjuangkan selama ini tidak lagi jadi sakral akhirnya. Ia kemudian mencontohkan apa yang dialami oleh seniman Butet dan yang lainnya. Menurutnya, Butet dan teman-temannya (seniman) diintimidasi karena melakukan kanalisasi dari sekolah-sekolah rakyat. "Orang-orang seniman, budayawan hanya menyampaikan dalam bentuk seni, masa hal tersebut dianggap mengancam. Dalam konstitusi, hak mengembangkan kebudayaan adalah hak konstitusional, hak dasar," tandanya.
Sosok Anwar Usman menjadi perhatian utama usai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kepadanya. Anwar terbukti melanggar kode etik dan sederet prinsip profesi terkait uji materi pasal syarat batas usia calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres). Putusan MKMK itu turut memberikan kesan ternyata penanganan perkara uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) tidak dilakukan dengan baik yang dampaknya cukup besar terhadap situasi politik menjelang pemilihan presiden.
Di sisi lain, sosok Anwar juga menjadi sorotan setelah menikah dengan Idayati, adik dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia menjadi pusat perhatian ketika sejumlah pihak mengajukan uji materi terhadap syarat batas usia capres-cawapres. Dari sekian gugatan yang ditangani adalah uji materi nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 itu dilayangkan oleh seorang mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru.
Almas merupakan anak dari advokat sekaligus Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Dalam putusannya, MK menyatakan mengabulkan sebagian gugatan.
“Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Anwar saat membacakan amar putusan pada 16 Oktober 2023 lalu. Dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun. Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.
Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023). Alhasil, putusan MK memicu perdebatan. Sejumlah pihak lantas melaporkan dugaan pelanggaran kode etik Anwar ke MK. Pihak-pihak yang mengajukan gugatan adalah praktisi hukum Denny Indrayana serta akademisi pakar tata negara Zainal Arifin Mochtar.
sumber: Trimbun News