INDOMETRO Law Office

Ambang Batas Parlemen dan Upaya Reformasi Sistem Kepartaian di Indonesia



Sejak mulai diterapkannya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk pertama kalinya pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2009 lalu, telah terjadi perubahan signifikan dalam mekanisme penentuan partai politik yang akan memperoleh kursi di parlemen. Pengaturan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen pada Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008  tentang Pemilihan Umum telah meloloskan 9 partai politik di DPR dari total 38 partai politik peserta Pileg 2009. Perubahan jumlah ini tentu sangat siginifikan dibandingkan dengan Pileg tahun 1999 dan tahun 2004 yang masing-masing menghasilkan 19 partai politik dan 16 partai politik di parlemen.


Pada dasarnya, tujuan utama dari penerapan ambang batas parlemen adalah untuk menyederhanakan partai politik di parlemen. Adapun penyederhanaan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya fragmentasi politik di parlemen serta menciptakan pemerintahan yang lebih stabil. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai ambang batas parlemen selalu dimasukkan dalam revisi UU Pemilu dan terus mengalami kenaikan persentase.


Hasil Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017  tentang Pemilihan Umum telah menetapkan ambang batas parlemen sebesar 4 persen dan menghasilkan 9 partai politik yang lolos di parlemen pada Pemilu 2019 lalu. Adapun saat ini, tengah dilakukan kembali pembahasan draft perubahan RUU Pemilu dengan wacana kenaikan ambang batas parlemen menjadi 5 persen setelah pada Juni 2020 lalu sempat beredar wacana kenaikan parliamentary threshold sebesar 7 persen.


Demokrasi dan Potret Multipartai dalam Sistem Presidensial


Gagasan terkait penerapan ambang batas parlemen termasuk usulan kenaikan persentase di setiap Pemilu seringkali dinilai sebagai bentuk ‘penjagalan’ demokrasi. Terlebih, penerapan ambang batas parlemen ini membuat banyaknya suara masyarakat yang terbuang. Terhitung pada Pemilu serentak tahun 2019 lalu terdapat 13,5 juta suara pemilih yang terbuang. Permohonan uji materi (judicial review) pun terus diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) guna membatalkan ketentuan ambang batas parlemen sejak pertama kali diberlakukan. Namun, penerapan ambang batas parlemen masih terus berlangsung hingga saat ini lantaran MK justru menegaskan bahwa pemberlakuan ambang batas parlemen ini merupakan bentuk penyederhanaan partai politik dan penguatan sistem presidensial di Indonesia.


Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan negara yang menganut sistem presidensial dengan sistem kepartaian multipartai, di mana terdapat lebih dari dua partai politik yang dapat menduduki parlemen. Adapun pemberlakuan sistem multipartai di Indonesia memang tidak diatur secara ekspilist, namun hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik….”. Adanya frasa “gabungan partai politik” ini mengindikasikan bahwa sistem kepartaian yang berkembang di Indonesia ialah sistem kepartaian multipartai.


Selanjutnya, apabila sistem kepartaian ini dikaitkan dengan tujuan penguatan sistem presidensial sebagaimana yang juga menjadi salah satu dari 5 kesepakatan dasar perubahan Undang-Undang Dasar, penyederhanaan partai politik dalam sistem multipartai ini memang dapat menjadi upaya penguatan sistem presidensial. Penyederhanaan partai politik diharapkan dapat mencegah terjadinya fragmentasi politik serta disharmonisasi antara Presiden dan DPR, sehingga mewujudkan pemerintahan yang lebih stabil. Namun, penerapan sistem multipartai dalam sistem pemerintahan presidensial sendiri bahwasanya memang merupakan kondisi yang sulit dijalani dan tengah menjadi paradoks tersendiri. Pada satu sisi, apabila Presiden tidak memiliki dukungan mayoritas di DPR dengan komposisi yang tidak berimbang, maka pemerintahan akan sulit mencapai stabilitas.


Berkaca pada pengalaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono (SBY) periode pertama, diketahui bahwa kala itu Partai Demokrat selaku partai pemerintah tidak mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu Presiden hanya mendapat perolehan suara sebesar 7,45 persen dalam Pileg, sementara perolehan kursi terbesar di DPR berhasil diraih oleh Partai Golongan Karya. Hal ini kemudian menyebabkan disharmonisasi antara Pemerintah dan DPR, sehingga menyebabkan kebijakan pemerintah cenderung sulit disetujui oleh DPR. Oleh karena hal ini pulalah, maka gagasan pemangkasan partai politik diluncurkan guna mengatasi fragmentasi dan disharmonisasi yang terjadi.


Namun sebaliknya, penerapan sistem presidensial dengan sistem multipartai berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan apabila partai pemerintah menguasai DPR dan memiliki koalisi besar di DPR. Dalam hal ini, sistem presidensial akan mudah terperangkap ke arah otoritarianisme dan semakin menguatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Arend Lijhpart (1994) bahwa pemusatan kekuasaan dengan mayoritas di parlemen ini akan menjadikan Presiden sangat kuat dan berkuasa yang kemudian berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang. Hal ini bahwasanya merupakan konsekuensi nyata sekaligus menunjukan kelemahan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai.


Komposisi yang tidak seimbang antara partai koalisi dengan partai oposisi di DPR akan membuat mekanisme checks and balances tidak berjalan, dan hal ini akan menjadikan pemerintah sangat berkuasa. Tidak berlebihan kemudian jika hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan pemerintahan yang sewenang-wenang. Sebab, pada hakikatnya kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak pasti disalahgunakan (Lord Acton: 1887), dan hal ini dapat menjadi ancaman demokrasi yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, beberapa negara dengan sistem presidensial seperti Amerika Serikat dan Filipina misalnya lebih memilih sistem dwi partai untuk menegakkan mekanisme checks and balances, di mana hanya ada satu partai pendukung pemerintah dan satu partai oposisi di parlemen.


Reformasi Kepartaian

Problematika sistem presidensial yang diterapkan dengan sistem multipartai ini seyogianya tidak dipandang sebelah mata. Terlebih, saat ini Indonesia telah mengadopsi pelaksanaan Pemilu serentak yang memberi efek ekor jas kepada para pemilih untuk memilih partai politik yang berasal dari partai Presiden, sehingga memungkinkan komposisi parlemen yang terus dikuasai oleh partai pemerintah. Tidak hanya itu, masih diberlakukannya ketentuan ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen akan menciptakan ‘koalisi gemuk’ yang tidak berimbang terhadap Presiden yang terpilih di mana hal ini menjadi ancaman demokrasi yang serius.


Cepat atau lambat, agenda penyederhanaan partai politik memang harus dijalankan. Semakin banyak partai politik yang menduduki parlemen, semakin menghasilkan komposisi yang tidak berimbang. Selain itu, pengambilan keputusan di DPR akan membutuhkan waktu yang lebih panjang karena terbentur oleh kepentingan masing-masing partai. Idealnya, sistem presidensial memang dikombinasikan dengan sistem dwi partai. Namun, mengingat Indonesia merupakan negara multikultural rasanya memang sulit mewakili seluruh kepentingan elemen masyarakat hanya dalam dua partai politik saja. Oleh sebab itu, dibutuhkan presentase ambang batas yang proporsional guna menciptakan sistem multipartai sederhana dan terbatas.


Ambang batas parlemen yang terlalu rendah bahwasanya dapat menyebabkan pelonjakan jumlah partai politik yang menduduki parlemen, sehingga semakin membuka peluang terjadinya fragmentasi politik dan praktik politik kepentingan. Namun, kenaikan ambang batas parlemen yang terlampau tinggi juga hanya akan menghambat pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, terutama di negara multikultural seperti Indonesia. Untuk itu, penyerdehanaan partai politik dapat diwujudkan dengan hanya meloloskan 4-6 partai politik di DPR, di mana hal ini dapat diwujudkan dengan menaikan ambang batas dalam rentang 5 hingga 7 persen. Secara hipotetis, jumlah tersebut akan menciptakan konfigurasi kekuatan politik di DPR yang sederhana antara partai koalisi dan partai oposisi. Selain itu, penetapan ambang batas parlemen yang konsisten guna menciptakan multipartai sederhana ini dapat dikombinasikan dengan memperkecil jumlah daerah pemilihan (dapil). Kedua hal ini dimaksudkan untuk menciptakan persaingan yang ketat sehingga partai politik lebih berupaya untuk menjangkau seluruh konsituennya di dapil.


Penetapan presentase ambang batas parlemen melalui rumusan terbuka tentu menjadi hal penting untuk dilakukan. Perumusan revisi UU Pemilu selanjutnya terkait penetapan ambang batas parlemen harus menyertakan dasar perhitungan yang jelas hingga menghasilkan angka yang dipilih, termasuk penetapan ambang batas parlemen bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang masing-masing penetapannya dapat dilakukan berjenjang dengan presentase yang lebih rendah. Hal ini diperlukan guna menjaga konsistensi penyelenggaraan Pemilu serta menjamin proporsionalitas hasil Pemilu. Adapun alternatif lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan fusi fraksi di DPR, sehingga nantinya hanya akan ada dua fraksi di parlemen yakni koalisi dan oposisi yang masing-masing terdiri dari gabungan partai politik yang lolos ke DPR. Fusi fraksi ini juga dimaksudkan untuk menciptakan komposisi parlemen yang lebih ideal, sehingga tidak terdapat pemusatan kekuasaan pemerintah  serta mewujudkan pemerintahan yang lebih stabil dan demokratis.


sumber: rechtsvinding

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال