Saat ini pemerintah tengah berupaya mengesahkan Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP). RKUHP merupakan suatu rancangan undang-undang yang disusun dengan tujuan untuk memperbaharui KUHP sebagai sumber hukum pidana saat ini yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch, serta untuk menyesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini. Selain itu, RKUHP juga disusun dalam rangka mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara atau kepentingan individu, antara perlindungan pelaku terhadap pelaku dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak dan kewajiban asasi manusia.
Namun, RUU KUHP yang telah disusun sejak tahun 1968 dan sampai saat ini belum juga disahkan akibat adanya polemik perdebatan di masyarakat. Di antara banyak pasal yang menuai perdebatan publik akan dikaji pasal kontroversial yang paling disoroti yaitu pasal 218-220 RUU KUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 218 Ayat (1) RUU KUHP mengatur bahwa "Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV". Sedangkan pasal 219 berbunyi: “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Penting untuk menjadi catatan bahwa pasal tersebut sempat ada dalam KUHP yang bersumber dan diadaptasi dari WvS yang pernah berlaku. Pasal penghinaan raja dan ratu dicantumkan dan diadaptasi dalam Pasal 134 KUHP dengan bunyi “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah.” Namun, faktanya pasal ini dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pada 4 Desember 2006. Hal ini merujuk kepada penilaian MK bahwa pasal penghinaan kepala negara menimbulkan ketidakpastian hukum disebabkan parameter unsur “penghinaan” yang tidak jelas, mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara (yang dijamin oleh pasal 28I UUD 1945), dan mengabaikan prinsip persamaan di depan hukum dan jelas bertentangan dengan konstitusi.
Pada dasarnya penghinaan merupakan perbuatan yang tergolong mala per se. Mala per se merupakan istilah bahasa latin yang mengacu kepada suatu perbuatan yang dilarang dan masuk dalam kategori kejahatan karena selain peraturan atau undang-undang yang melarang perbuatan tersebut, pada dasarnya perbuatan tersebut dari asalnya merupakan perbuatan yang jahat, sehingga penghinaan tersebut merupakan kejahatan yang natural atau wrong in themselves (Nawawi, 1998).
Namun, penghinaan terhadap presiden merupakan perbuatan yang tergolong mala prohibita di Indonesia jika kita lihat dari kronologi sejarah terbentuk pasal penghinaan ini. Mengutip pendapat Dr. I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono dalam dissenting opinion-nya dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006. Meskipun menurut sejarahnya, KUHP yang berlaku saat ini adalah berasal Wetboek van Strafrecht yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda dimana ketentuan tentang penghinaan terhadap lembaga Presiden (dan Wakil Presiden), menurut sejarah penyusunannya, adalah bertolak dari maksud untuk melindungi martabat Raja, Sehingga Perbuatan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak berasal dari anggapan bersama dari masyarakat Indonesia bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu kejahatan. Hal ini merupakan warisan peraturan dari Kolonial Belanda yang sudah diadaptasi. Pasal ini jelas tidak relevan dengan keadaan negara yang menganut demokrasi.
Unsur penghinaan tidak memiliki parameter yang jelas untuk diterapkan di ranah hukum pidana berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 atas pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta tidak memiliki urgensi untuk diterapkan karena hal-hal sebagai berikut.
Penghinaan berkaitan erat dengan subjektivitas seseorang. Merasa tersinggung merupakan interpretasi diri dan terlepas dari pemaknaan secara kolektif. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum akan sulit dalam mencari persoalan apa saja yang dapat menimbulkan sebuah ketersinggungan. Poin ini didukung oleh pendapat ahli, Suparji Ahmad yang mengatakan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden harus jelas, tidak abu-abu, tidak multitafsir dan memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, lex stricta, dan lex praevia. Lex scripta artinya hukum pidana tersebut harus tertulis. Lex certa artinya rumusan delik pidana itu harus jelas. Lex stricta artinya rumusan pidana itu harus dimaknai tegas tanpa ada analogi, dan lex praevia yang artinya hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut.
Penghinaan tidak memiliki persoalan yang begitu substansial sehingga melakukan kriminalisasi terhadap penghinaan adalah bentuk nyata overkriminalisasi. Faktanya, kepolisian kerap melakukan tebang pilih dan sulit bersikap proporsional manakala pelaporan datang dari pihak yang memiliki relasi kuasa sekelas pejabat negara (PSHK, 2021).
Tidak ada kerusakan nyata yang ditimbulkan oleh penghinaan terhadap presiden. Karena pada hakikatnya subjektivitas atas sebuah peristiwa sulit untuk dibayangkan akan mengakibatkan bencana dan kerusakan.
Negara harus dapat membuktikan pemberian hukuman kepada perbuatan penghinaan tersebut tidak melebihi apa yang seharusnya diberikan.
Pasal ini berpotensi menjadi agenda kriminalisasi politik karena terseratnya presiden yang masuk sebagai legal standing di ruang persidangan dan berlawanan dengan lawan politiknya (Rizaldi Minahaqi, 2022)
Merujuk kepada argumentasi dari pemerintah bahwa pasal ini tidak membungkam kebebasan masyarakat seperti yang banyak diperdebatkan publik. Hal itu dijelaskan pada Penjelasan Pemerintah atas 14 poin hasil sosialisasi RUU tentang KUHP, disebutkan bahwa masyarakat tetap bisa menggunakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi seperti dengan memberikan kritik atau pendapat yang kontra dengan kebijakan presiden atau wakil presiden. Draf RKUHP itu menguraikan pengertian tentang kritik. Pertama, kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut. Dua, kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan atau dilakukan dengan cara yang objektif. Tiga, kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan wakil presiden lainnya. Empat, kritik dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada presiden dan wakil presiden atau menganjurkan penggantian presiden dan wakil presiden dengan cara konstitusional. Terakhir, kritik tidak mengandung niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wakil presiden.
Melihat Bab Penjelasan dari Pasal 218 ayat (2) bahwa “Kritik bersifat konstruktif dan sedapatnya mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif,” Realita hukum di lapangan acapkali tidak sesuai dengan yang diharapkan, dikenal dengan das sein das sollen. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya mengumpamakan das sollen sebagai peraturan hukum yang bersifat umum, dan das sein sebagai peristiwa konkret yang terjadi. (Mertokusumo, 2007)
Faktanya kritikan rakyat dari berbagai kalangan baik akademisi maupun praktisi cenderung tidak didengarkan walaupun sudah konstruktif dan memberikan solusi. Dan pada dasarnya, masyarakat tidak wajib untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang dialami oleh negara. Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat, dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Tanpa lahirnya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pada hakikatnya jika sebuah institusi berjalan dengan baik maka sebuah hinaan yang dilontarkan rakyat tidaklah memiliki substansi yang penting.
sumber: rechtsvinding