Selain itu, Enny menilai, selama ini di Indonesia, hampir selalu ada efek kerusuhan yang ditimbulkan dari perbuatan atau ucapan yang menyinggung suatu agama.
"Harus dilihat dampaknya, ketika ada dampaknya dari yang melakukan itu. Apa tak ada kemungkinan menimbulkan kerusuhan atau apapun? Itu harus jadi pertimbangan juga," lanjut dia. Namun, Enny menegaskan, nantinya pasal penodaan agama, yang saat ini ada pada pasal 156 KUHP, masuk dalam delik materiil. Artinya, tindak pidana yang dijerat pasal tersebut harus dibuktikan akibatnya terlebih dahulu. Dengan demikin tindak pidana penistaan agama dinyatakan terjadi jika terbukti membawa akibat yang nyata.
Enny menganggap, dengan digolongkan ke dalam delik materiil, maka akan terhindar dari aksi main lapor yang menggunakan pasal tersebut. Tetapi, ia menegaskan, dipertahankannya pasal penistaan agama masih berupa usulan dari pemerintah dan belum diputuskan. Sementara itu, Ketua Panja Revisi Undang-undang KUHP, Benny K. Harman mengatakan kelanjutan pembahasan pasal penistaan agama dalam rapat panja KUHP masih menuggu kesiapan pemerintah. Namun, sebelumnya panja KUHP telah mengundang sejumlah perwakilan tokoh agama untuk membahas pentingnya pasal tersebut ada di KUHP. Ia menyatakan, saat itu dari semua perwakilan tokoh agama yang diundang menganggap perlu adanya pasal penistaan agama dalam KUHP. Hanya, Benny menegaskan, perlu adanya makna yang jelas terkait tindakan yang dikategorikan penistaan agama. Sehingga dalam prakteknya, pasal tersebut tidak digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang.
"Jadi, hanya negara melalui perangkat hukumnya yang boleh memutuskan apakah perbuatan seseorang itu dapat dikategorikan sebagai tindakan penistaan agama. Bukan oleh tekanan masaa dan selainnya. Ini bentuk kepastian dan keadilan hukum," papar Benny. "Makanya nanti perlu ditegaskan apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan menista," lanjut politisi Partai Demokrat itu. Menanggapi polemik pasal penistaan agama, rohaniawan Franz Magnis Suseno mengaku belum memiliki pendapat yang tegas dalam hal ini. Hanya, ia menegaskan perlu adanya rumusan yang jelas terkait pasal itu jika masih ingin dipertahankan. "Harus ada maksud dari seseorang untuk menghina dan merendahkan, kalau ada orang sekadar tersinggung dengan pernyataan seseorang itu belum termasuk penghinaan toh," ucap Magnis.