Dalam konteks hukum, utang adalah kewajiban untuk membayar kembali sejumlah uang/barang yang dipinjam oleh satu pihak (debitur) dari pihak lain (kreditur). Utang dibagi menjadi 3 jenis yaitu: utang dalam jangka waktu pendek,utang dalam jangka waktu menengah, dan utang dalam jangka waktu panjang.
Dilansir dari Jurnal Untag yang berjudul Status Utang Apabila Pemilik Utang Meninggal Dunia Ditinjau Dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan oleh Apryan Anggara Pratama, dalam pelaksanaan proses pelunasan utang belum tentu berjalan mudah, oleh karena itu kreditur akan melakukan proses penyelesaian utang yang dapat ditempuh agar debitur melunasi utangnya.
Namun, ada kemungkinan bahwa harapan tidak selalu sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam akad. Misalnya, peminjam mungkin tidak dapat melunasi utangnya karena kebangkrutan, kegagalan usaha, sakit yang menghalangi kemampuan mereka untuk bekerja, atau meninggal dunia.
Permasalahan yang dibahas kali ini adalah mengenai status utang apabila pemilik utang meninggal dunia, baik dalam konteks peraturan perundang-undangan maupun dalam hukum Islam.
Dalam Pasal 1754 KUHPerdata bahwa pinjaman adalah keadaan di mana satu pihak memberikan uang/barang dan akan dikembalikan dengan kondisi atau nilai yang sama.
Pinjaman merupakan kewajiban yang dimiliki oleh debitur untuk melunasinya, tetapi ada kondisi yang membuat debitur tidak dapat melunasi utangnya yaitu kematian debitur. Maka dari itu utang tersebut akan dilimpahkan kepada ahli waris untuk melunasinya.
Menurut Pasal 833 KUHPerdata, ahli waris secara otomatis akan menerima semua hak milik benda dan kekayaan utang piutang pewaris.
Secara umum, hukum waris mengatur tentang bagaimana harta warisan dibagi dan sebagian besar dari hukum ini bersifat memaksa. Harta warisan, yang bisa berupa uang, barang, aktiva, atau pasiva yang diwariskan dari pewaris kepada ahli waris, membawa serta kewajiban untuk melunasi utang dan beban lain. Hal ini diatur dalam Pasal 1100 KUHPerdata. Namun, Pasal 1032 KUHPerdata memberikan kemudahan kepada ahli waris sebagai berikut:
1. Ahli waris tidak diwajibkan untuk membayar utang dan beban harta peninggalan lebih dari nilai barang-barang yang diwariskan. Bahkan, mereka dapat membebaskan diri dari kewajiban tersebut dengan menyerahkan seluruh barang warisan kepada para kreditur dan penerima hibah wasiat.
2. Barang-barang milik ahli waris tidak dicampurkan dengan harta peninggalan, dan mereka tetap memiliki hak untuk menagih piutang mereka sendiri dari harta peninggalan tersebut.
Dari pembahasan tersebut, dapat dipahami bahwa kewajiban untuk melunasi utang terbatas pada nilai barang-barang warisan yang diterima, dan tidak melebihi jumlah tersebut. Ahli waris dapat dibebaskan dari kewajiban membayar utang pewaris jika seluruh barang warisan diserahkan kepada kreditur.
Sementara, adlam Kompilasi Hukum Islam (KHI), utang adalah suatu hal yang sangat amat penting untuk diperhatikan, dikarenakan utang memiliki hukum yang wajib dilunasi. Maka dari itu dalam hukum Islam pemilik utang wajib untuk melakukan pelunasan atas utang nya.
Sesuai dengan isi Qur'an pada surah An-nisa ayat 11 yang menjelaskan pembagian warisan dilakukan setelah dipenuhi wasiat atau dilunasi sangkutan utang. Oleh karena itu segala utang akan dilunasi menggunakan harta warisan yang ditinggalkan pemilik utang, karena pada dasarnya anak tidak memiliki kewajiban untuk melunasi utang orang tuanya.
Walaupun begitu, agama Islam menganjurkan bagi seorang anak untuk melakukan pelunasan utang orang tuanya, agar orang tua terhindar dari segala keburukan akibat dari utang yang dimilikinya.
Kewajiban melunasi utang menjadi tanggung jawab pewaris, tapi juga dapat diwakilkan oleh orang lain dengan alasan saling membantu, apabila ahli waris tidak sanggup untuk membayar utang tersebut, hal ini dinamakan kafalah bi ad-dain.
Dengan demikian utang memiliki kewajiban hukum untuk dilunasi, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Status kewajiban ini tetap berlaku meskipun pemilik utang telah meninggal dunia, dan tanggung jawab untuk membayar utang ini tetap ada, baik oleh pihak sekitar pemilik utang maupun, terutama, oleh ahli waris jika ada.