Hal yang perlu dicermati dari kejadian tersebut adalah bagaimana seorang pengacara, sebagai salah satu elemen penegakan hukum di Indonesia, dihadapkan dengan pilihan yang cenderung bertentangan dengan aspek moralitas dalam menjalankan tugasnya. Secara gamblang, tangkisan dengan menuntut kembali tidak seratus persen salah jika ditinjau dari sudut pandang aliran positivisme hukum. Terlebih lagi jika tujuan yang ingin ia capai adalah untuk melindungi citra klien yang sedang dibelanya atau untuk menciptakan pengelolaan taman wisata yang lebih baik, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan tanpa embel-embel mencari keuntungan melalui mekanisme ganti rugi. Namun, dari sudut pandang moralitas ilmu hukum yang erat kaitannya dengan keadilan sosial bagi masyarakat, keputusan menuntut kembali pengelola Bromo sekadar untuk membela kliennya adalah perbuatan yang cenderung tidak etis dan menunjukan kurang peduli terhadap sekitar.
Akibatnya, ilmu hukum seolah terlihat keji dan tak bermoral, padahal hukum hanyalah alat untuk mengatur. Sebagaimana diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, dalam bukunya Hukum dan Perilaku, 2009, halaman 59, “hukum dalam institusi moral berhubungan dengan perilaku manusia yang baik, hukum bagaikan mengajukan persyaratan bahwa kehidupan hukum yang baik tercipta dari anggota masyarakat yang hidup dengan baik pula. Akan tetapi, apabila hukum telah menjadi teknologi (alat) maka persyaratan tersebut tidak lagi diperlukan, bergantung pada penggunaan hukum sebagai teknologi itu dengan baik dan berhasil.” Pada praktiknya selama ini, pemikiran positivisme hukum berkembang jauh lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat.
Penganut aliran positivis memercayai teori hukum murni yang dikembangkan oleh Hans Kelsen, yang kurang lebihnya menegaskan bahwa hukum ditaati karena ditulis dan disahkan oleh penguasa, tidak terkait dengan baik atau adil. Moral hanya dianggap sebagai bagian dari hukum ketika mendapat pengesahan dan pengakuan dari otoritas berwenang. Sehingga dalam penerapannya, terjadilah demoralisasi hukum yang secara ringkas dapat digambarkan bahwa hukum hanya sekadar barisan kata-kata belaka. Padahal bangsa Indonesia adalah bangsa beradab yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, dan mengedepankan nilai-nilai seperti tenggang rasa, toleransi serta tepa selira dalam kehidupan bermasyarakat.
Semuanya telah terkristalisasi menjadi Pancasila, suatu grundnorm bagi bangsa ini, Menurut penulis, seorang pengacara dalam memberikan jasa hukum idealnya memiliki hati beserta niat luhur dan wajib mengamalkan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana janji sumpah profesi pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang telah ia ikrarkan. Penerapan hukum tanpa adanya moral akan menciptakan citra buruk bagi ilmu hukum. Tanpa kepercayaan masyarakat, maka hukum akan kehilangan kredibilitasnya untuk mengatur sehingga menghentikan pertumbuhan nasional dan merusak tatanan yang telah dibentuk selama ini.
Coba bayangkan bagaimana suatu negara hukum yang didirikan berdasarkan kontrak sosial, namun rakyatnya tidak mematuhi hukum. Untungnya, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemahaman atas keadilan sosial, hukum progresif yang mencitakan keadilan substantif berdasarkan living law (hukum yang hidup dalam masyarakat) telah diakui berdasarkan Pasal 597 (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Hukum Pidana yang akan segera diterapkan pada masa mendatang.