Pada 4 Agustus 2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permen PPKSP). Peraturan ini mengatur mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkup internal pemerintahan, khususnya sektor pendidikan.
Salah satu bentuk kekerasan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 13 Permen ini adalah kebijakan yang mengandung unsur kekerasan, yaitu kebijakan baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, yang berpotensi atau telah menimbulkan terjadinya kekerasan yang dikeluarkan Pendidik, Tenaga Kependidikan, Anggota Komite Sekolah, Kepala Satuan Pendidikan, serta Kepala Dinas Pendidikan.
Dalam menangani kebijakan yang mengandung unsur kekerasan, tim pelaksana di level sekolah melakukan penanganan terhadap kebijakan yang dikeluarkan pendidik, tenaga kependidikan, dan anggota komite sekolah. Sementara, tim pelaksana di level pemerintah daerah melakukan penanganan terhadap kebijakan yang dikeluarkan kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan. Hasil penanganan berupa laporan hasil pemeriksaan, berisi kesimpulan dan rekomendasi, yang kemudian ditindaklanjuti oleh kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan.
Tersedianya mekanisme penanganan kebijakan yang mengandung unsur kekerasan dalam Permen PPKSP dapat menjadi sarana prosedural yang bisa ditempuh para pihak untuk menguji kebijakan yang merugikan hak dasarnya di lingkup sektor pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan kekerasan. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri urgensi, rasionalisasi, serta kelemahan dari mekanisme tersebut.
Urgensi dan Rasionalisasi Penanganan Kebijakan yang Mengandung Unsur Kekerasan
Kebijakan yang mengandung unsur kekerasan seringkali ditemukan di sektor pendidikan. Biasanya, kebijakan tersebut memiliki sifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Komnas Perempuan dalam pemantauan kebijakan diskriminatif dari tahun 2000 hingga 2015, menemukan 62 kebijakan daerah diskriminatif yang diterapkan kepada aparatur sipil negara dan lembaga-lembaga publik di daerah, beberapa diantaranya spesifik memerintahkan pelaksanaannya di sektor pendidikan, utamanya kebijakan yang mewajibkan penggunaan atribut keagamaan tertentu (Komnas Perempuan, 2021).
Dalam pemberitaan media, kebijakan diskriminatif telah menimbulkan korban. Misalnya, kasus seorang peserta didik nonmuslim yang dipaksa mengenakan jilbab di salah satu sekolah negeri di Padang. Bahkan, kepala sekolah yang bersangkutan mengatakan bahwa dari 46 siswa dan siswi nonmuslim yang bersekolah disana, siswi nonmuslim lain tidak keberatan untuk memakai jilbab (Chandra, 2021). Studi yang dilakukan Human Rights Watch (HRW) juga menemukan bahwa kasus pemaksaan penggunaan jilbab tidak hanya menyasar peserta didik nonmuslim, tetapi juga pada guru dan pegawai pemerintah. Banyak pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pegawai negeri perempuan untuk berjilbab di tempat kerja. Peraturan ini ditegakkan dengan berbagai sanksi, mulai dari peringatan sederhana hingga penundaan kenaikan pangkat dan pemberhentian (HRW, 2021).
Adanya kebijakan yang mendiskriminasi kelompok tertentu memunculkan urgensi untuk menyediakan sarana prosedural yang dapat digunakan untuk menguji kebijakan tersebut. Salah satu mekanisme yang lazim digunakan adalah pengawasan internal yang bersifat represif melalui upaya administratif. Paus Effendi Lotulung mendefinisikan pengawasan internal sebagai kontrol teknis administratif atau built in control yang berlaku di internal birokrasi pemerintahan. Senada dengan pendapat Bagir Manan, bahwa pengawasan internal erat berkaitan dengan administrative review yang terdapat pada kewenangan atasan untuk membatalkan keputusan bawahannya (Manan, 2001).
Tujuan dari adanya pengawasan internal adalah untuk mengimbangi kewenangan pembentuk kebijakan lewat kontrol yang efektif dari dalam birokrasi. Hal ini diharapkan dapat menghindari kewenangan tersebut agar tidak tergelincir ke arah perbuatan menyalahgunakan wewenang, melampaui wewenang, hingga perbuatan melawan hukum yang akan bermuara pada pelanggaran hak asasi manusia (Lotulung, 1993). Selain itu, pengawasan internal juga dimaksudkan agar pemberian otonomi dari pusat ke daerah tidak dilaksanakan secara anarkis melainkan bertanggung jawab (Manan, 2001). Menurut Bagir Manan, kebebasan berotonomi dan pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran dalam berotonomi. Di satu sisi, pemerintah daerah memiliki kebebasan untuk membentuk produk hukum untuk menjalankan urusan pemerintahannya, termasuk urusan pendidikan yang juga menjadi kewenangan pemerintah daerah. Di sisi lain, kebebasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengawasan yang dilakukan pusat ke daerah.
Dalam konteks Permen PPKSP, Kemendikbudristek berusaha membentuk mekanisme pengawasan internal yang mengawasi sekolah dan pemerintah daerah, khususnya dinas pendidikan, agar tidak membentuk kebijakan diskriminatif. Jika masih terdapat kebijakan yang demikian, Kemendikbudristek juga menyediakan sarana prosedural bagi setiap orang untuk menguji kebijakan yang mengandung unsur kekerasan di sektor pendidikan.
Mekanisme pengawasan internal dan upaya administratif telah dikenal dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya (UU Pemda) dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Pertama, Pasal 7 dan 8 UU Pemda menyebutkan pemerintah pusat memiliki wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah (pemda) yang secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (PP Binwas Pemda) mengatur lebih lanjut pengawasan pemda provinsi dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, menteri teknis, dan kepala lembaga pemerintahan non kementerian. Sementara pengawasan kepada pemda kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur.
Pasal 10 PP Binwas Pemda menyebutkan bahwa pengawasan oleh menteri teknis dilakukan terhadap teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh daerah, meliputi capaian standar pelayanan minimal atas pelayanan dasar, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan termasuk ketaatan terhadap NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan konkuren, dampak pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren yang dilakukan pemda, dan akuntabilitas pengelolaan APBN dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren di daerah. Pasal tersebut menunjukan bahwa Kemendikbudristek memiliki wewenang untuk mengawasi pemerintah daerah, khususnya untuk mengawasi teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Hal ini mencakup komponen pengawasan yang diatur dalam Pasal 10 PP Binwas Pemda.
Kedua, Pasal 75 UU AP menyebutkan mekanisme upaya administratif sebagai upaya yang diajukan warga masyarakat apabila dirugikan oleh akibat dikeluarkannya keputusan dan/atau tindakan tata usaha negara (TUN) yang dikeluarkan badan dan/atau pejabat pemerintahan melalui keberatan dan banding. Skema keberatan diajukan kepada pejabat pemerintahan yang mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan TUN. Sementara, skema banding diajukan kepada atasan pejabat pemerintahan yang mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan TUN apabila masyarakat tidak terima dengan hasil penyelesaian keberatan yang telah dilakukan.
Permen PPKSP mengadopsi mekanisme upaya administratif untuk menangani kebijakan yang mengandung unsur kekerasan. Artinya, apabila kebijakan yang dibentuk merugikan pihak tertentu karena mengandung unsur kekerasan, yang dalam Permen ini didefinisikan sebagai kebijakan yang memiliki potensi menimbulkan terjadinya kekerasan atau telah menimbulkan terjadinya kekerasan, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan upaya administratif untuk menguji kebijakan tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) menjelaskan bahwa dalam upaya administratif, badan dan/atau pejabat TUN atau atasannya melakukan penilaian yang lengkap, baik dari aspek penerapan hukum maupun aspek kebijaksanaan instansi yang memutus.
Kedua aspek tersebut harus dinilai ketika tim pelaksana dalam Permen PPKSP menguji kebijakan yang mengandung unsur kekerasan. Aspek penerapan hukum merupakan kewajiban badan dan/atau pejabat TUN untuk mendasarkan keputusan atau tindakan pada peraturan perundang-undangan, baik yang menjadi dasar kewenangan maupun dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan atau tindakan. Sementara, aspek kebijaksanaan sering dikaitkan dengan konsep doelmatigheid yang menekankan kemanfaatan/tujuan dari keputusan atau tindakan, sehingga batu uji yang digunakan adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), mencakup kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.
Kelemahan Sistem Penanganan Kebijakan yang Mengandung Unsur Kekerasan dalam Permen PPKSP
Permen PPKSP membatasi aktor yang membentuk kebijakan yang mengandung unsur kekerasan hanya pendidik, tenaga kependidikan, anggota komite sekolah, kepala satuan pendidikan, serta kepala dinas pendidikan. Hal ini dapat dimaklumi sebab jangkauan peraturan yang dikeluarkan Kemendikbudristek amat terbatas, hanya dapat menjangkau pejabat teknis pemerintahan yang berada di sektor pendidikan. Namun, keberadaan mekanisme ini belum dapat menjawab tantangan apabila kebijakan diskriminatif justru diformalisasi oleh pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah (perkada). Pemantauan yang dilakukan Komnas Perempuan serta studi yang dilakukan HRW menunjukan bahwa mayoritas kebijakan yang mengandung unsur diskriminasi diundangkan dalam bentuk perda dan perkada (HRW, 2021).
Mekanisme dalam Permen PPKSP tidak bisa menguji perda dan perkada. Artinya, apabila terdapat pihak yang merasa dirugikan karena kedua bentuk kebijakan tersebut, maka hal yang paling mungkin dilakukan adalah mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menguji rancangan perda atau perkada secara preventif atau mengajukan permohonan pengujian perda atau perkada ke Mahkamah Agung.
Sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 137/PUU-XIII/2015 dan 56/PUU-XIV/2016, Kemendagri, secara langsung maupun lewat gubernur, sudah tidak bisa lagi membatalkan perda secara represif. Kewenangan pembatalan perda secara represif merupakan domain Mahkamah Agung selaku lembaga yustisi yang diberi kewenangan oleh UUD 1945. Artinya apabila terdapat Perda, termasuk Perkada, yang merugikan hak masyarakat, pemohon dapat mengajukan permohonan pengujian kepada Mahkamah Agung.
Adanya putusan tersebut bukan berarti pengawasan internal terhadap kebijakan daerah sudah tidak lagi bisa dilakukan sama sekali oleh Kemendagri dan gubernur. PP Binwas Pemda memasukkan kebijakan daerah sebagai salah satu aspek pengawasan dan pembinaan yang hasilnya harus ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Hal ini membuka potensi untuk mendorong pengawasan preventif terhadap rancangan perda yang hendak dibentuk pemerintah daerah agar tidak mengandung unsur kekerasan tertentu yang diakui dalam peraturan perundang-undangan.
sumber: rechtsvinding