Satu dasawarsa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) pada 17 Oktober 2014 telah melalui banyak hal. Dalam Konsiderans UU Administrasi Pemerintahan memuat tujuan dibentuknya aturan ini, salah satunya untuk menjadi solusi dalam memberikan pelindungan hukum untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pelindungan hukum dapat ditafsirkan sebagai proses atau cara atau perbuatan untuk menjamin harkat, martabat dan pengakuan hak asasi manusia (Philipus M. Hadjon, 1987:38). Pelindungan hukum yang dimaksud tidak hanya bagi pejabat pemerintah, tetapi juga diperuntukkan bagi warga masyarakat.
Kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasar dari wewenang atau kewenangan. UU Administrasi Pemerintahan telah mendefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 6. Wewenang dimaknai sebagi hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Penyelenggara Negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Ruang lingkup dalam UU Administrasi Pemerintahan salah satunya berupa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
Belum genap seminggu memperingati sepuluh tahun UU Administrasi Pemerintahan, publik dikagetkan dengan pengumuman Pejabat Pemerintahan yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera Padang-Pekanbaru pada 23 Oktober 2024 (diakses dari Kompas.com). Selain Pejabat Pemerintahan, terdapat sembilan tersangka lain yang merupakan penerima uang ganti kerugian. Dalam penelusuran beberapa artikel berita disimpulkan bahwa tanah sebagai objek pengadaan tanah diakui oleh sembilan tersangka penerima uang ganti kerugian ternyata merupakan tanah aset Pemerintahan Kabupaten Padang Pariaman. Pertanyaan utama dalam menyikapi kasus tersebut yaitu, mengapa kegiatan administratif rentan terjadi tindak pidana korupsi?
Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional untuk kepentingan umum membutuhkan tanah yang mekanisme perolehannya dilakukan melalui pengadaan tanah. Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah) dan turunannya menjadi dasar hukum bagi semua pihak untuk mengawal keberhasilan kegiatan pengadaan tanah. Subyek yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan di bidang pengadaan tanah adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 176 Tahun 2024 tentang Kementerian ATR, dan Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 177 Tahun 2024 tentang BPN.
Kegiatan pengadaan tanah diselenggarakan melalui tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil. Setiap tahapan tersebut terdapat penanggung jawab masing-masing, berturut-turut yaitu instansi yang memerlukan tanah, Gubernur atau dapat mendelegasikan kepada Bupati/Wali Kota setempat, dan Kepala Kantor Wilayah BPN atau dapat menugaskan Kepala Kantor Pertanahan setempat. Berdasarkan kasus-kasus nyata, tahap pelaksanaan pengadaan tanah adalah tahapan yang banyak menyisakan permasalahan, bahkan rentan dicampuri oleh oknum atau indikasi keterlibatan mafia tanah.
Perbuatan jahat oknum atau mafia tanah jika ditarik pada ranah hukum pidana, maka bisa menyeret Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) dalam pertanggungjawaban pidananya, seperti kasus Pengadaan Tanah Jalan Tol di Sumatera Barat di atas. Perlu diketahui bahwa proses pemberian ganti kerugian dalam pengadaan tanah dilakukan pada tahap pelaksanaan oleh instansi yang memerlukan tanah berdasarkan validasi dari Ketua P2T. Terdapat rangkaian kegiatan sebelum validasi dikeluarkan oleh Ketua P2T, salah satunya adalah Pengumuman Hasil Inventarisasi dan Identifikasi berbentuk peta bidang tanah dan daftar nominatif. Publisitas peta bidang tanah dan daftar nominatif tersebut membuka ruang untuk semua orang yang merasa memiliki tanah yang menjadi objek pengadaan tanah untuk mengajukan keberatan paling lama 14 (empat belas) hari kerja kepada Ketua P2T.
Hasil pengumuman atau verifikasi dan perbaikan menjadi dasar penentuan Pihak yang Berhak dalam pemberian ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2023 (PP Pengadaan Tanah). Pihak yang Berhak yang menerima ganti kerugian pun harus bertanggungjawab atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang telah diserahkan. Tanggungjawab yang dimaksud dapat berupa tanggungjawab pidana (Pasal 41 ayat (4) dan ayat (6) UU Pengadaan Tanah). Norma dari ketentuan pengadaan tanah sebenarnya telah mencerminkan adanya proteksi bagi Pelaksana Pengadaan Tanah yang melaksanakan tugas administratif selama sesuai dengan koridor yang telah diatur.
Di sisi lain, tindak pidana korupsi menjadi relevan karena dalam permasalahan pengadaan tanah terdapat pemberian ganti kerugian yang berkaitan dengan keuangan negara. Rujukan utama dalam penegakkan tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Kasus-kasus tindak pidana korupsi dalam pengadaan tanah sebagian besar dianggap melanggar Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4. Bunyi masing-masing ketentuan tersebut sebagai berikut (tanpa dibunyikan ketentuan pemidanaan):
a. Pasal 2 ayat (1): “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”;
b. Pasal 3: “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”;
c. Pasal 4 dalam Undang-Undang yang sama disebutkan bahwa pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.
Penafsiran Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK telah diulas banyak pihak, salah satunya ialah Shinta Agustina, dkk yang spesifik menguraikan rumusan ‘melawan hukum’ (2016:154-155). Rumusan ‘melawan hukum’ dalam tulisan tersebut dianalisis berdasarkan peraturan perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi, dan tinjauan literatur yang ditemukan adanya perdebatan ajaran melawan hukum secara formil dan melawan hukum secara materiil. Sementara rumusan ‘menyalahgunakan kewenangan’ pun perlu kehati-hatian dalam penerapannya karena UU PTPK tidak menjelaskan definisi ‘kewenangan’ dalam ketentuan Pasal 3, sehingga penafsirannya dapat berpedoman pada pengertian ‘kewenangan’ dalam UU Administrasi Pemerintahan.
Batasan menyalahgunakan wewenang dalam UU Administrasi Pemerintahan meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang. Akibat hukum melampaui wewenang dan/atau bertindak sewenang-wenang menyebabkan produk hukum tidak sah, sedangkan akibat hukum mencampuradukkan wewenang menyebabkan produk hukum dapat dibatalkan. Untuk mengawasi penyalahgunaan wewenang tersebut, terdapat unit yang ditugaskan yaitu aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) yang hasil pengawasannya berupa tidak terdapat kesalahan, terdapat kesalahan administratif, atau terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara (Pasal 20 UU Administrasi Pemerintahan). Tindak lanjut ditemukannya kesalahan administratif dilakukan penyempurnaan administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sementara tindak lanjut ditemukannya kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama sepuluh hari kerja terhitung sejak diterbitkannya hasil pengawasan.
Pengembalian kerugian negara dibebankan oleh dua subjek antara Badan Pemerintahan (jika tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang) atau Pejabat Pemerintahan (jika ada unsur penyalahgunaan wewenang) yang pembuktian penyalahgunaan wewenangnya bertumpu pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Artinya upaya penyelesaian dugaan penyalahgunaan wewenang seharusnya diproses oleh APIP terlebih dahulu untuk kemudian diteruskan melalui PTUN. Pola ini sejalan dengan Pasal 135 PP Pengadaan Tanah yang telah tegas memerintahkan untuk mendahulukan mekanisme administrasi untuk menyelesaikan laporan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan pengadaan tanah.
Pendekatan hukum administrasi negara sebagai primum remedium (upaya pertama) dan pidana sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) dalam permasalahan pengadaan tanah seyogyanya mulai dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum berdasarkan konstruksi hukum yang telah ada. Penelitian dari Dinoroy Aritonang (2021:55) menemukan bahwa hukum pidana sangat kuat mendominasi terhadap pelaksanaan hukum administrasi. Hal ini sangat berkorelasi dengan kasus-kasus pengadaan tanah di tahun 2023 seperti keterlibatan mafia tanah dalam dugaan tindak pidana korupsi P2T yang membayarkan uang ganti kerugian kawasan hutan kepada masyarakat dalam pengadaan tanah genangan Bendungan Pasalloreng di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan dan dugaan tanam tumbuh fiktif dalam pengadaan tanah genangan Bendungan Margatiga di Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung, serta beberapa kasus lainnya yang P2Tnya dijerat tindak pidana korupsi.
Bertentangan dengan kasus di atas, kasus pelepasan aset perusahaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada tahun 2017 yang sempat menyeret Dahlan Iskan dalam tindak pidana korupsi selaku Direktur salah satu BUMD saat itu, justru diputus tidak bersalah berdasarkan beberapa pertimbangan yang salah satunya mengakui prinsip business judgment rule dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Business judgment rule berdasarkan Black’s Law Dictionary (mengutip dalam Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 49/Pid.Sus-TPK/2017/PT.SBY) adalah prinsip melindungi direksi atas keputusan bisnis selama dilakukan sesuai dengan kewenangan, kehat-hatian dan itikad baik dalam transaksi perseroan. Prinsip ini pada intinya tidak berbeda dengan asas legalitas hukum administrasi dalam Pasal 5 UU Administrasi Pemerintahan, yaitu “penyelenggaraan administrasi pemerintahan mengedepankan dasar hukum dari sebuah keputusan dan/atau tindakan yang dibuat oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan” dan asas lainnya yang secara eksplisit dianut dalam UU Administrasi Pemerintahan.
Dari uraian sederhana di atas, semangat pemberantasan korupsi harus terus dikobarkan tanpa mengorbankan upaya administrasi untuk mewujudkan keadilan korektif. Jangan sampai penegakkan hukum saat ini semakin membuktikan pernyataan begawan hukum pidana, Profesor Satjipto Rahardjo, yang mengatakan bahwa “Kita hidup dalam hukum modern, tapi hukum modern tidak bisa memastikan bahwa yang menang adalah yang benar dan yang kalah adalah yang salah”.
sumber: rechtsvinding