Sebelumnya, perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 35/2014, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Mengenai seseorang yang memegang bokong anak, terlepas dari apakah anak tersebut adalah perempuan atau laki-laki, pada dasarnya perbuatan tersebut dapat dipidana berdasarkan UU Perlindungan Anak dan perubahannya.
Lantas apa jerat pasal pencabulan anak? Benarkah Pasal 82 UU Perlindungan Anak mengatur sanksi pidana pelaku pencabulan anak?
Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, sebagaimana diatur dalam Pasal 76E UU 35/2014.
Kemudian, menjawab pertanyaan Anda, ketentuan Pasal 82 UU Perlindungan Anak telah diperbaharui oleh Pasal 82 ayat (1) UU 17/2016, yang mengatur bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76E UU 35/2014 berpotensi dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Lebih lanjut, jika tindak pidana dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 82 ayat (1) UU 17/2016.[1]
Selain itu, penambahan 1/3 dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E UU 35/2014.[2]
Adapun jika tindak pidana menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada pada Pasal 82 ayat (1) UU 17/2016.[3]
Sebagai informasi, dalam tindak pidana pencabulan terhadap anak terdapat pidana tambahan, yaitu pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik yang diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.[4] Namun patut dicatat, pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak.[5]
Pencabulan dalam KUHP
Pada dasarnya, ketentuan dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian perbuatan cabul. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada pengertian perbuatan cabul yang diberikan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 212) yang mengatakan bahwa “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, Ratna Batara Munti menyatakan bahwa hukum pidana mengenal istilah perbuatan cabul, yang diatur dalam Pasal 281 s.d. Pasal 296 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 406 s.d. Pasal 423 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[6] yaitu tahun 2026.
Berdasarkan istilah perbuatan cabul yang dikemukakan R. Soesilo, menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.
Penjelasan selengkapnya mengenai pasal percabulan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 s.d. 296 KUHP atau Pasal 406 s.d. 423 UU 1/2023, dapat Anda simak dalam artikel Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya.
Kesimpulannya, jika seseorang memegang bokong anak dengan maksud untuk melakukan perbuatan cabul yang melanggar kesusilaan, yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak, maka orang tersebut dapat dipidana dengan Pasal 76E UU 35/2014 jo. Pasal 82 UU 17/2016, dengan memperhatikan ketentuan unsur-unsur perbuatan tindak pidana masing-masing.
Memang dalam pertanyaan Anda tidak ada keterangan yang menyatakan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, dan sebagainya. Akan tetapi, jika anak tersebut tidak mau dipegang bokongnya, maka dalam hal ini ada pemaksaan, dalam artian seseorang melakukan suatu tindakan kepada orang lain yang tidak diinginkan oleh orang tersebut.
Contoh Kasus
Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami akan berikan contoh kasus dalam Putusan PN Ternate No. 63/Pid.Sus/2023/PN Tte. Dalam kasus ini, terdakwa mendekati anak korban dan memaksa anak korban untuk duduk bersama terdakwa. Kemudian, terdakwa mulai mencabuli anak korban dengan cara memasukkan jari tangan terdakwa dan memutar jari-jarinya di kemaluan anak korban (hal. 3). Setelah perbuatan pencabulan tersebut, anak korban merasakan sakit dikemaluannya dan melakukan visum yang mana hasil pemeriksaan menunjukan adanya luka lama di selaput darah lebih dari 3 hari, tidak tampak luka baru (hal.10).
Atas perbuatannya, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencabulan anak dibawah umur sebagaimana dakwaan tunggal, dan melanggar Pasal 76E UU 35/2014 jo. Pasal 82 UU 17/2016. Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sejumlah Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan (hal. 14-15).
Sumber: Hukum Online