Syarat Sah Perjanjian
Perjanjian atau kontrak merupakan hasil kesepakatan para pihak yang harus dihormati dan dipatuhi oleh para pihak yang telah bersepakat membuat kontrak/perjanjian.[1] Maka dari itu, suatu perjanjian yang dirancang harus mengacu pada asas proporsional, yang mana dalam penuangan suatu kesepakatan itu haruslah berdasarkan hasil sepakat akan tujuan yang sama (consensus ad idem).[2]
Menurut Herlien Budiono, pengujian suatu kontrak harus meliputi 3 aspek penting yaitu:[3]
- tindakan para pihak;
- Isi perjanjian; dan
- implementasi atas apa yang sudah disepakati.
Namun demikian, bukan berarti setelah terjadinya kesepakatan, suatu perjanjian menjadi mengikat secara mutlak bagi mereka yang telah menandatanganinya. Dalam praktiknya, ada kemungkinan terjadi kecacatan pada saat proses kesepakatan yang terjadi, di mana dalam istilah hukum lebih dikenal sebagai cacat kehendak (wilsgebrek), yang dapat terjadi karena adanya ancaman/paksaan (bedreiging, dwang), kekeliruan/kesesatan/kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog).[4]
Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda terkait dengan perjanjian atau surat jual beli rumah yang ditandatangani B yang berada di bawah ancaman A, maka perlu diperhatikan terlebih dahulu syarat sahnya suatu perjanjian.
Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.[5] Suatu perjanjian yang dibuat oleh dan antara para pihak harus memenuhi syarat-syarat yang bersifat limitatif sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
- sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu hal tertentu;
- suatu sebab yang halal (diperbolehkan).
- Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subjektif yaitu tentang subjek yang mengadakan perjanjian.
Penyalahgunaan Keadaan dalam Membuat Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut terkandung asas konsensualisme, yaitu diperlukannya kesepakatan (toestemming) untuk lahirnya perjanjian. Kesepakatan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak disertai dengan tuntutan formalitas apapun, sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila sudah terjadi kata sepakat, maka perjanjian tersebut dapat dikatakan sah.[7]
Para pihak juga diberikan suatu kebebasan untuk mengadakan perjanjian, dimana syarat-syarat perjanjian yang perlu ditentukan dan diperjanjikan dapat bebas untuk disepakati. Hal ini merupakan implementasi dari asas kebebasan berkontrak (freedom of contract).[8] Pada prinsipnya, kebebasan berkontrak harus juga didasarkan pada kedudukan kedua belah pihak yang sama kuat, yakni memiliki keseimbangan posisi tawar (bargaining position) yang sama.[9]
Apabila salah satu pihak yang melakukan perjanjian berada dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan di mana pihak lawannya mempunyai keadaan psikologis yang lebih kuat dan menyalahgunakan keadaan tersebut maka dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan keadaan.
Penyalahgunaan keadaan tidak semata berkaitan dengan isi perjanjian yang tidak berimbang. J. Satrio mengemukakan bahwa memanfaatkan keadaan orang lain, bukan berarti isi dan tujuan perjanjian tidak sah, namun penyalahgunaan tidak dapat terjadi dalam keadaan bebas. Oleh karena itu, permasalahannya bukan terletak pada “kausa/sebab” yang dilarang, melainkan pada cacat dalam kehendak, cara “memaksakan” persetujuan “yang disalahgunakan”.[10]
Meski mengenai “penyalahgunaan keadaan” (misbruik van omstandigheden) belum jelas diatur dalam KUH Perdata, namun alasan-alasan kebatalan suatu perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1322 tentang kekhilafan, Pasal 1323 tentang paksaan, dan Pasal 1328 tentang penipuan.
Konstruksi penyalahgunaan keadaan sebagai cacat kehendak membawa konsekuensi bahwa perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya (vernietigbaar) kepada hakim oleh pihak yang dirugikan. Sepanjang perjanjian belum dibatalkan, maka perjanjian tetap mengikat para pihak yang membuatnya. Tuntutan pembatalan dapat dilakukan untuk sebagian atau seluruhnya dari isi perjanjian.
Mengenai penyalahgunaan keadaan dalam konteks perjanjian, terdapat dua macam penyalahgunaan keadaan yaitu:[11]
Seseorang menggunakan posisi psikologis
dominannya menekan pihak yang lemah agar pihak tersebut menyetujui perjanjian yang sebenarnya tidak ingin menyetujuinya.
Seseorang menggunakan wewenang kedudukan dan kepercayaannya untuk membujuk pihak lain agar melakukan transaksi.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan keadaan erat kaitannya dengan syarat subjektif perjanjian. Sehingga, suatu perjanjian yang dibuat dengan menggunakan ancaman dibukanya rahasia perselingkuhan salah satu pihak, maka dapat dikategorikan sebagai paksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1324 KUH Perdata. Ini karena dalam hal pemberian persetujuan atas jual beli rumah tersebut, si B berada dalam keadaan yang tidak bebas. Hal ini disebut dengan misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaan).
Sahkah Perjanjian di Bawah Tekanan?
Dengan demikian, perjanjian di bawah tekanan atau ancaman dapat diajukan tuntutan pembatalan untuk sebagian atau seluruhnya dari isi perjanjian. Hal ini karena tekanan atau ancaman merupakan penyalahgunaan keadaan sebagai cacat kehendak yang menyebabkan perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya (vernietigbaar) kepada hakim oleh pihak yang dirugikan.
Pasal 1321 KUH Perdata pada pokoknya mengatur bahwa tidak ada suatu persetujuan yang mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Artinya, perjanjian di bawah tekanan atau paksaan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Adapun yang dimaksud dengan paksaan menurut Pasal 1324 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.
Lebih lanjut, praktik peradilan telah menerima penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan perjanjian selain syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Dalam Yurisprudensi MA No. 3666 K/PDT/1992 tanggal 26 Oktober 1994 dinyatakan bahwa keadaan ekonomi yang lemah dari salah satu pihak digunakan oleh pihak lawan untuk melakukan tindakan hukum yang merugikan menguntungkan dirinya, sehingga terjadi penyalahgunaan keadaan dan tindakan hukum tersebut dinyatakan batal.
Oleh sebab itu, kondisi salah satu pihak yang berada dalam tekanan/intimidasi dari pihak lain, menyebabkan perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan karena tidak ada kehendak bebas dalam membuat kesepakatan.
Kesimpulannya, perjanjian jual beli yang dilakukan antara si A dan si B dapat dimintakan pembatalannya oleh si B sebagai pihak yang dirugikan karena tidak terpenuhinya syarat subjektif dari syarat sah perjanjian, yaitu adanya sepakat para pihak. Nantinya, hakim berwenang memutus surat atau perjanjian jual beli rumah dinyatakan batal dan tidak mengikat secara hukum karena dibuat berdasarkan penyalahgunaan keadaan.
Sumber : Hukum Online