INDOMETRO Law Office

Kekuatan Hukum Surat Bercap Jempol dalam Persidangan



Surat sebagai Alat Bukti

Pengaturan alat bukti dalam hukum acara perdata di Indonesia diatur dalam Pasal 164 HIR, yaitu:

  1. surat/tulisan;
  2. saksi;
  3. persangkaan;
  4. pengakuan; dan
  5. sumpah.

Kelima jenis alat bukti tersebut juga diakui dalam Pasal 284 RBg. Kemudian, sebagai informasi tambahan, Selain kelima alat bukti dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 284 RBg, dikenal pula adanya alat bukti elektronik. Ketentuan mengenai alat bukti elektronik diatur dalam UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE. Adapun menurut Pasal 5 ayat (1) UU 1/2024, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.



Lebih lanjut, dalam artikel Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Elektronik, diterangkan bahwa suatu informasi elektronik dan dokumen elektronik akan menjadi alat bukti elektronik (digital evidence). Sedangkan, hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektronik akan menjadi alat bukti surat.


Akta di Bawah Tangan dan Fungsi Tanda Tangan

Sebelumnya, kami asumsikan bahwa surat-surat yang Anda maksud bukanlah akta autentik atau bukan akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris.



Surat/akta yang ditandatangani di bawah tangan dan dibuat tidak dengan perantaraan pejabat umum (seperti notaris), misalnya akta jual beli, sewa menyewa, utang piutang dan lain sebagainya, disebut dengan akta bawah tangan.[1]



Kemudian, pada dasarnya, fungsi tanda tangan adalah sebagai bukti tertulis yang menunjukkan kesepakatan para pihak sebagai salah satu syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata.



Sehingga, dapat disimpulkan bahwa adanya tanda tangan dalam suatu surat/akta merupakan bukti tertulis dari kesepakatan pihak yang menandatanganinya.



Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan membagi pembahasan menjadi 2 bagian, mengenai surat yang ditandatangani orang lain dan mengenai surat yang menggunakan cap jempol.


Tanda Tangan oleh Pihak Lain

Pada dasarnya, setiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.[2]



Terkait kecakapan dalam membuat perikatan, Abdulkadir Muhammad dalam bukunya berjudul Hukum Perikatan (hal. 93) menyatakan bahwa kecakapan untuk membuat suatu perjanjian harus dimaknai juga sebagai kewenangan untuk membuat perjanjian. Selain itu, seseorang juga dikatakan memiliki kewenangan apabila ia mendapatkan kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dalam hal ini membuat perjanjian.



Berkaitan dengan pertanyaan Anda, penandatanganan surat/kuitansi oleh C tidak menunjukkan kesepakatan B atas isi kuitansi tersebut, karena para pihak yang memiliki hubungan hukum adalah A dan B dalam jual beli tanah. Sebagai informasi, kuitansi dapat berfungsi sebagai perjanjian.



Yang mana ini berarti, kuitansi tersebut telah ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang, kecuali B telah memberi kuasa kepada C untuk menandatangani kuitansi tersebut untuk dan atas nama B.



Pemberian kuasa, sebagaimana diterangkan Pasal 1793 KUH Perdata, dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan.



Jadi, jika ada pemberian kuasa, meski lisan, penandatanganan kuitansi tersebut dapat dibenarkan dan dapat menjadi alat bukti di persidangan.


Surat Bercap Jempol

Cap jempol yang dibubuhkan sebagai pengganti tanda tangan dapat disamakan kedudukannya dengan tanda tangan, namun dengan syarat surat tersebut disahkan dengan suatu surat yang bertanggal oleh notaris atau pejabat lain yang berwenang, dengan memuat pernyataan dari pejabat tersebut yang memuat:[3]

  • bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya;
  • bahwa isi surat telah dijelaskan kepada pembubuh cap jempol; dan
  • bahwa cap jempol tersebut dibubuhkan di hadapannya.
  • Berdasarkan ketentuan di atas, apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka cap jempol tidak dapat dipersamakan dengan tanda tangan.


Kekuatan Pembuktian

Menurut Subekti dalam bukunya berjudul Hukum Pembuktian, dalam suatu akta di bawah tangan, pemeriksaan akan kebenaran tanda tangan justru adalah acara pemeriksaan pertama (hal. 31).



Jika ada yang memungkiri tanda tangan tersebut, pihak lain harus mencari bukti bahwa benar tanda tangan itu dibubuhkan orang yang memungkirinya. Kemudian, jika tanda tangan itu sudah diakui, akta di bawah tangan itu memberikan orang-orang yang menandatanganinya, suatu bukti yang sempurna layaknya akta autentik (hal. 31).



Dengan dipersamakan dengan akta autentik, maka akta di bawah tangan itu merupakan bukti yang mengikat, bahwa apa yang ditulis dalam akta itu harus dipercaya hakim sebagai benar selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Akta tersebut juga menjadi bukti yang sempurna, artinya akta itu sudah tidak memerlukan penambahan pembuktian lain (hal. 29).



Oleh karena surat-surat yang Anda maksud tidak dijelaskan statusnya dan kami asumsikan sebagai akta di bawah tangan, maka surat-surat itu dapat dibawa ke pengadilan sebagai alat bukti, namun kekuatan pembuktiannya tidak mengikat dan tidak sesempurna akta autentik, sehingga harus dibuktikan dulu kebenaran isi dan tanda tangan atau cap jempolnya.


Contoh Kasus

Sebagai contoh kasus mengenai kedudukan cap jempol dalam sebuah perjanjian, kami merujuk kepada Putusan PN Nganjuk Nomor 46/Pdt.G./2006/PN. Ngjk.



Dalam eksepsi, para tergugat berpendapat bahwa surat kuasa khusus dari para penggugat kepada seorang advokat tidak sah (hal. 12).



Namun, Majelis Hakim berpendapat pembubuhan waarmerking dalam surat kuasa khusus kuasa hukum para penggugat sudah tepat dilakukan karena waarmerking di hadapan notaris, dimana pengesahan sidik jari/cap jempol ini lebih dikenal dengan waarmerking (hal. 13).



Dengan kata lain, cap jempol dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta di bawah tangan, yaitu cap jempol yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang yang menyatakan bahwa notaris atau pejabat lain tersebut mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya dan isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan yang bersangkutan (hal. 13).



Dalam putusannya, Majelis Hakim menolak eksepsi para tergugat dan gugatan para penggugat (hal. 17).



Namun, yang patut diperhatikan adalah bahwa cap jempol dalam suatu perjanjian adalah sah dan dapat dipersamakan dengan tanda tangan yang dibubuhi di atas akta di bawah tangan, namun cap jempol tersebut harus melalui waarmerking.




Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال