INDOMETRO Law Office

Ketidakpastian Divestasi Minerba: Regulasi yang Belum Tegas



Pasal 33 UUD 1945 selalu menjadi pengingat ketika berbicara penguasaan dan pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. Indikator bahwa sebuah negara benar-benar menguasai cabang-cabang produksi yang penting tersebut salah satunya adalah dengan mengetahui apakah negara menguasai mayoritas kepemilikan modal/saham yang menjadi alat untuk mengendalikan cabang produksi itu, tak terkecuali diantaranya adalah dalam bidang pertambangan mineral dan batubara yang sejauh ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan batubara (UU Minerba). PT Freeport dan PT Newmont adalah contoh nama-nama “besar” yang ambil bagian dalam pemanfaatan usaha minerba di Indonesia. 


Dengan dukungan modal dan keuntungan yang sedemikian besar menjadi logis apabila selalu ada harapan dan kebijakan bahwa akan ada peralihan saham dari pemodal asing ke pemerintah Indonesia/pemodal dalam negeri sehingga penguasaan modal secara mayoritas berada dalam genggaman pihak nasional. Tindakan peralihan saham tersebut tersebut dapat dikenali dengan istilah divestasi yang sebetulnya telah diatur  dalam berbagai peraturan perundangundangan. Namun dengan adanya berbagai aturan tentu tidak menjawab pertanyaan mengapa hingga hari ini divestasi belum sepenuhnya terlaksana. Kasus mandeknya proses divestasi antara PT Newmont dengan pemerintah RI dalam kurun 20062009 hingga melibatkan Arbitrase Internasional dan kepemilikan RI yang hanya 9,36 persen saja dari saham PT Freeport serta tarik ulur divestasi PT Freeport di tahun 2015 ini tentu saja memunculkan pertanyaan mengenai bagaimanakah sebetulnya situasi dan  kondisi pengaturan divestasi di Indonesia. 


Pengaturan Divestasi dalam Hukum Nasional dan Persoalannya

Dalam hal investasi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah mengatur mengenai kemungkinan adanya pengambilalihan hak kepemilikan/tindakan nasionalisasi terhadap pemodal asing, yang mana tindakan tersebut hanya akan dilakukan dengan Undang-Undang sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7  ayat(1) UU  Penanaman Modal. Pengaturan Pasal 7 tersebut mengundang berbagai tafsiran karena dalam Pasal 2 mengenai kebijakan dasar penanaman modal disebutkan bahwa pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dengan penanam modal asing dan menjamin  kepastian hukum serta kepastian berusaha bagi penanam modal. Sebab dengan adanya kemungkinan nasionalisasi/peralihan hak kepemilikan/divestasi maka sudah tentu ada “perlakuan” tertentu yang akan dialami oleh pemilik modal asing. 


Dan selanjutnya adalah bahwa dengan kemungkinan adanya divestasi tersebut maka akan membuat nilai dari “kepastian hukum dan kepastian berusaha” menjadi berkurang sebab bagaimana mungkin kepastian hukum dan kepastian berusaha akan tercapai jikalau sewaktu-waktu pemerintah RI dapat mewajibkan divestasi yang artinya pemodal asing harus rela melepas sahamnya untuk dimiliki secara mayoritas oleh Pemerintah RI. Aturan penanaman modal di atas menjadi acuan kita sebelum akhirnya kita masuk pada ketentuan di bidang minerba. Dalam UU Minerba, klausul divestasi masuk pada persyaratan untuk dapat memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK Operasi Produksi) bagi pemilik modal asing sebagaimana diatur dalam Pasal 79 UU Minerba. 


Adapun persoalannya adalah dalam hal IUP Operasi Produksi sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) itu tidak diadakan klausul divestasi seperti IUPK Operasi Produksi padahal ternyata pada Pasal 112 ayat (1) diadakan kewajiban bahwa setelah 5 tahun berproduksi, pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki asing wajib melakukan divestasi saham pada pemerintah Indonesia. Sebagai catatan juga bahwa UU Minerba tidak mengatur presentase nilai saham yang harus dialihkan kepada pemerintah RI, hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang besaran nilai divestasi sahamnya berubah-ubah. PP  Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Minerba pada Pasal 97 ayat 1 menegaskan bahwa modal  asing  pemegang IUP dan IUPK setelah 5 tahun berproduksi wajib divestasi saham paling sedikit 20 persen untuk dimiliki peserta Indonesia.PP tersebut kemudian diubah melalui PP Nomor 24 Tahun 2012 dan PP nomor 1 Tahun 2014 namun aturan mengenai divestasi tak tersentuh sedikitpun. Tetapi, melalui PP Nomor 77 Tahun 2014 aturan mengenai divestasi berubah drastis. 


Pengaturannya menjadi diperinci yang kali ini konsepnya menjadi bertahap dan dibedakan sesuai ijinnya. Tahapannya dimulai dari tahun keenam sampai kesepuluh dengan presentase dari 20 hingga 51 persen bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi yang tidak melakukan sendiri pengolahan dan pemurnian sedangkan bagi yang melakukan sendiri pengolahan dan pemurnian dimulai dari tahun keenam, kesepuluh sampai dengan kelima belas dengan nilai presentase saham sebesar 20 hingga 40 persen saja. Bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi yang melakukan metode  penambangan bawah tanah hanya diberikan kewajiban divestasi sebesar 20 sampai 30 persen saham semenjak tahun keenam sampai kelima belas. Kemudian bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi yang melakukan metode penambangan bawah tanah dan sekaligus metode terbuka juga diberikan kewajiban divestasi sebesar 20 sampai 30 persen saham tetapi dihitung sejak tahun keenam sampai kesepuluh. Dan yang terakhir adalah bahwa bagi IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian tidak wajib melakukan divestasi saham. 


Dari keseluruhan pengaturan di atas maka setidaknya sudah ada perubahan yang cukup signifikan dari yang tadinya hanya wajib divestasi sebesar 20 persen menjadi 30 sampai dengan 51 persen. Kemudian besaran kewajiban divestasi dibuat bervariasi dan bahkan untuk pemegangIUP khusus Pengolahan dan Pemurnian tidak diberi kewajiban divestasi. Di sisi lain, dalam levelPeraturan Menteri ESDM yakni Permen ESDM Nomor 27 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham, serta Perubahan Penanaman Modal di bidang Usaha Minerba, perinciannya malah jauh berbeda dengan PP 77 Tahun 2014 yakni pada Pasal 2 diatur bahwa divestasi pada tahun keenam sebesar 20 persen, tahun ketujuh 30 persen, tahun kedelapan sebesar 37 persen, tahun kesembilan sebesar 44 persen dan tahun kesepuluh sebesar 51 persen.  Sebetulnya situasi ini sangat tidak mencerminkan kepastian dan tidak konsistennya aturan serta justru memperjelas gambaran ketidakpastian di bidang divestasi saham pengusahaan Minerba.


Solusi Kebijakan  Ke Depan

Divestasi sebenarnya adalah cerminan keinginan negara untuk ke depannya benar-benar mewujudkan harapan Pasal 33 UUD 1945 sehingga dengan dikuasainya modal maka pengendalian atas cabang produksi menjadi lebih kuat, namun tentu hal tersebut harus diikuti dengan kepastian aturan. Bagaiamanapun juga kepastian hukum bagi investor asing tetap harus dijunjung tinggi dengan menerapkan aturan yang “stabil” dan “logis” sehingga dapat diterapkan dan menguntungkan bagi pemilik modal asing maupun bagi negara. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dicermati yakni pertama, bahwa harus diberi penegasan pada UU Minerba siapasiapa saja sebetulnya pihak yang harus melaksanakan divestasi dan jangan sampai justru kejelasan hanya muncul dalam level Peraturan Pemerintah dan Permen yang kerap berubah-ubah dan malah berbedabeda satu sama lain. 


Kedua, penentuan besaran nilai divestasi saham menjadi persoalan yang sangat krusial sehingga perlu juga dipastikan berapakah besaran yang pasti yang hendak diberlakukan baik  penegasan dalam level UU maupun misalnya apabila dipandang cukup  penegasan dalam level PP saja. Hal tersebut bukan hanya demi menjunjung tinggi kepastian hukum bagi investor dan  kemudahan eksekusi divestasi bagi berbagai pemangku kepentingan, tetapi juga kepastian bagi peserta Indonesia/pihak nasional untuk mengetahui kecukupan dana/kemampuan dana untuk nantinya  membeli saham yang akan didivestasikan tersebut, mengingat besaran dana usaha minerba tentu tidak kecil. Ketiga, harus ada sinkronisasi antar peraturan baik dalam level UU sampai pada peraturan yang ada dibawahnya, sebagai contoh misalnya ketentuan mengenai pemodal asing yang menjadi pemegang IUP khusus pengolahan dan pemurnian yang menurut PP 77 Tahun 2014 tidak wajib divestasi yang mana ketentuan tersebut tidak ditemui dalam UU Minerba dan juga misalnya presentase nilai saham yang berbeda antar PP dengan Permen. 


Bagaimana mungkin suatu aturan dapat dilaksanakan apabila antar peraturan tidak mendukung satu sama lain padahal mengatur hal yang sama. Ini seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah agar persoalan divestasi saham betul-betul menjamin kepentingan semua pihak. Pada akhirnya, pengelolaan minerba harus menjadi cerminan bahwa penguasaan serta pengelolaannya benar-benar diwujudkan demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, pengaturan yang benar-benar kuat dan menjamin kepentingan pihak investor asing yang kontribusinya tidak sedikit dalam hal permodalan.  


sumber: rechtsvinding

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال