INDOMETRO Law Office

Menolak Eks Koruptor dalam Pilkada: Pilihan untuk Masa Depan Bersih



Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa mantan narapidana dapat menjadi calon Kepala Daerah. Putusan MK yang membuka peluang kembalinya mantan koruptor menjadi Kepala Daerah ini tidak bisa dimaknai sebagai anjuran untuk memilih mantan koruptor dalam Pilkada.


Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa mantan narapidana dapat menjadi calon Kepala Daerah yang menguji Pasal 7 huruf g UU Pilkada (No. 8 Tahun 2015) ini memiliki beberapa argumentasi yuridis. Pertama, Pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan (Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP). Hakim mengimplementasikannya dengan mendasarkan pada jenis pidana yang secara tegas diatur dalam Pasal 10 KUHP yang menyatakan bahwa pencabutan hak tertentu, merupakan salah satu bagian dari pidana tambahan. Kedua, Putusan MK ini merupakan bentuk konsistensi dari Putusan sebelumnya (Putusan MK No. 4/PUU- VII/2009) yang menyebutkan empat syarat dalam pencabutan hak pilih, yaitu: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang- ulang.


Dengan kedua argumentasi yuridis ini, para pengusung mantan koruptor semakin melenggang tanpa beban, karena tak ada lagi penghalang hukum. Dengan prinsip res judicata pro veritate habetur, maka putusan Hakim Konstitusi inilah yang berlaku sebagai satu-satunya hukum mengalahkan peraturan lainnya. Meski demikian secara moral etis Putusan MK ini masih dapat diperdebatkan.


Mantan koruptor dan para pengusungnya sebagai calon kepala daerah menganggap bahwa tidaklah menjadi pelanggaran etis jika mantan koruptor yang menjadi calon kepala daerah telah mengakui statusnya sebagai mantan narapidana secara jujur di depan publik. Pendapat ini dilandasi oleh sebuah prinsip “perma’afan” di mana jika seseorang yang pernah melakukan kesalahan dan kemudian telah bertobat maka ia pantas diberikan kesempatan “kedua”.


Persoalannya adalah bagaimana bisa diketahui bahwa mereka benar-benar telah bertaubat? Bagaimana bisa menjamin bahwa perilaku koruptif yang pernah dilakukan tidak terulang lagi? Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu pula memikirkan mekanisme “pengakuan dosa” ini agar setiap orang dapat mengetahui.


Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 ini pun menjadi semakin menemukan pembenarannya ketika menghadapi kenyataan bahwa sangat sedikit calon kepala daerah yang telah mendaftar untuk Pilkada secara serentak pada 2015 ini sehingga bahkan KPU telah menetapkan Pilkada di 7 (tujuh) daerah ditunda hingga tahun 2017 mendatang. Hasil rekapitulasi KPU yang per tanggal 31 Juli 2015 terdapat 837 pasangan calon yang mendaftar, terdiri dari 21 pasangan calon di 9 provinsi, 699 pasangan calon di 233 kabupaten dan 117 pasangan calon di 36 kota. Pasangan calon dari Parpol terdapat 679 dan jalur perseorangan terdapat 158. Jumlah pasangan calon di masing-masing daerah yaitu 1 daerah (0,37 persen) tidak ada pasangan calon mendaftar, 12 daerah (4,46 persen) dengan 1 pasangan calon, 79 daerah (29,37 persen) dengan 2 pasangan calon, 148 daerah (55,02 persen) dengan 3-4 pasangan calon, 24 daerah (8,92 persen) dengan 5-6 pasangan calon, dan 5 daerah (1,86 persen) dengan lebih dari 6 pasangan calon.


Fakta bahwa terdapat 1 daerah (Kabupaten Bolaang Mongondow Timur) yang belum memiliki pasangan calon sama sekali dan 12 daerah (Kabupaten Asahan, Kabupaten Serang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Purbalingga, Kota Surabaya, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Blitar, Kabupaten Mataram, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Timur Tengah Utara, Kabupaten Pegunungan Arfak, dan Kota Samarinda) hanya memiliki satu pasangan calon menyebabkan KPU membuka pendaftaran kembali di 13 daerah tersebut pada tanggal 1-3 Agustus 2015. Hal ini sebagai akibat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) menyebutkan di Pasal 51 ayat (2) dan di Pasal 52 ayat (2) bahwa KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Gubernur/Bupati/Walikota dan Calon Wakil Gubernur/Bupati/Walikota. Tidak terpenuhinya minimal 2 pasangan calon di 13 daerah maupun minimnya pasangan calon di 79 daerah (karena hanya memiliki 2 pasangan calon) merupakan fakta yang “menguatkan” para mantan narapidana kembali berlaga di Pilkada.


Dengan melihat kenyataan bahwa secara yuridis dan sosiologis kembalinya mantan koruptor ini sulit untuk dicegah, maka yang mungkin dilakukan adalah mmenghalau terpilihnya mantan koruptor ini dengan kesadaran bahwa menghindari mudhlarat yang lebih besar dengan tidak memilih mantan narapidana adalah jauh lebih baik daripada kemungkinan didapatkannya sedikit manfaat dari terpilihnya calon narapidana sebagai kepala daerah.


Jika mantan narapidana kasus politik masih memungkinkan untuk dipilih maka untuk mantan narapidana kasus korupsi sudah jelas sekali mudhlarat lebih besar ketika dipilih, karena berpotensi melahirkan masyarakat yang kehilangan standar nilai dalam sistem sosial. Tidak ada toleransi dengan korupsi karena besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara dan dukungan teoritik menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi mempunyai dampak signifikan terhadap ketidaksetaraan sosial, baik dalam hal pendidikan, distribusi pertanahan dan pendapatan (Johan Graf Lambsdorff, 1999: 8-9). Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat.


Ketika pelaku korupsi atau mantan pelaku korupsi diterima oleh sistem sosial maka tidak ada nilai utama atau kemuliaan dalam masyarakat. Jika karakter masyarakat telah berubah demikian itu, maka semangat untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang. Kekhawatiran terbesar jika masyarakat melihat diusung mantan koruptor sebagai calon kepala daerah ini sebagai bentuk reword kepada pelaku kejahatan, maka sangat mungkin muncul pandangan bahwa melakukan kejahatan adalah hal yang biasa dan tidak perlu dikhawatirkan. Hal ini pada akhirnya akan melahirkan masyarakat koruptif dalam skala massif. Masyarakat yang sakit!


sumber: rechtsvinding

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال