Istilah open legal policy sering ditemui di berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”). Konsep open legal policy tersebut pertama kali digunakan oleh MK dalam Putusan MK No. 010/PUU-III/2005.[1]
Lantas, apa arti open legal policy? Secara harfiah, open legal policy berarti kebijakan hukum terbuka.
Dalam bidang ilmu hukum, konsep open legal policy atau kebijakan hukum terbuka merupakan hal baru dan relatif tidak dikenal sebelumnya. Selama ini istilah policy (kebijakan) dikenal dalam bidang ilmu kebijakan publik yang berarti bebas atau terbuka, karena makna kebijakan selalu merujuk pada keleluasaan pejabat/pihak yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu yang pelaksanaannya tidak atau belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan.[2]
Kemudian, “kebijakan hukum” merupakan tindakan pembentuk undang-undang dalam menentukan subjek, objek, perbuatan, peristiwa, dan/atau akibat untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sementara kata “terbuka” dalam istilah kebijakan hukum terbuka diartikan sebagai suatu kebebasan pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan hukum.[3]
Oleh karena itu, arti open legal policy adalah keleluasaan pembentuk undang-undang dalam menentukan suatu aturan, larangan, kewajiban atau batasan-batasan yang dimuat dalam suatu norma undang-undang yang sedang dibuat yang merupakan pilihan kebijakan pembuat undang-undang.[4]
Adapun, menurut pandangan MK, open legal policy adalah kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.[5]
Menurut Mardian Wibowo berdasarkan pengkajian beberapa putusan MK, suatu materi undang-undang bersifat open legal policy adalah ketika UUD 1945 memberikan mandat kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur suatu materi lebih lanjut, namun tidak memberikan batasan pengaturan materinya, atau ketika UUD 1945 tidak memberikan mandat kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur suatu materi lebih lanjut.[6]
Dengan demikian, secara garis besar, suatu kebijakan pembentukan undang-undang dapat dikatakan bersifat terbuka atau open legal policy adalah ketika UUD 1945 atau konstitusi sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur dalam undang-undang.
Apakah Open Legal Policy Tidak Bisa Diuji ke MK?
Lantas bisakah norma yang bersifat open legal policy diujikan ke MK sebagaimana disebutkan dalam dissenting opinion Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013?
Sebagai informasi, dalam dissenting opinion atau pendapat berbeda yang dikemukakan oleh Maria Farida Indrati dalam putusan tersebut, diterangkan bahwa tata cara pelaksanaan pilpres, ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum, dan aturan presidential threshold adalah open legal policy (hal. 91).
Lebih lanjut, Maria berpatokan pada Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa MK tidak mungkin membatalkan undang-undang atau sebagian isinya jika merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun suatu undang-undang dinilai buruk, mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir (hal. 92).
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam pertimbangan hukum Putusan MK No. 86/PUU-X/2012 (hal. 100) ditegaskan bahwa open legal policy yang dimiliki oleh pembentuk undang-undang tidak dapat dijalankan sebebas-bebasnya dan harus memperhatikan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum sebagaimana bunyi Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, pada prinsipnya, setiap undang-undang, termasuk yang open legal policy tetap bisa diajukan judicial review ke MK sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
MK dapat menguji undang-undang yang dibentuk melalui open legal policy dan mungkin saja membatalkan undang-undang tersebut apabila melanggar ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan ketika melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir sebagaimana dijelaskan di atas.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa dalam berbagai putusan MK, ketika suatu norma undang-undang masuk ke dalam kategori kebijakan hukum terbuka (open legal policy), maka norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional atau bersesuaian dengan UUD 1945.[7]
Sumber : Hukum Online