Dua pasal dalam Rancangan KUHP yang mengatur tentang alat pencegah kehamilan, yakni pasal 481 dan 483 diusulkan dihapus. Yayasan Cipta Cara Padu (YCCP) menilai pasal tersebut berpotensi terhadap over-kriminalisasi, kontraproduktif dengan program Keluarga Berencana, serta penanggulangan infeksi menular seksual dan HIV/AIDS. Menurut Manajer Program YCCP Dini Haryati, apabila pasal ini disahkan, maka akan berimplikasi terjadinya over kriminalisasi.
Pasal 481 dan 483 RKUHP cenderung mengakibatkan over kriminalisasi terhadap masyarakat, khususnya para kader masyarakat, penyedia layanan (provider) dan masyarakat umum yang mengakses layanan. "Terdapat 80.000 kader KB, 569.477 kader tokoh agama dan tokoh masyarakat terlatih, LSM dan swasta terancam dipidanakan apabila pasal ini disahkan," kata Dini dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (4/2/2018).
Implikasi lainnya, yaitu mengancam keselamatan masyarakat terutama dalam penanggulangan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Data nasional menunjukkan, secara umum sumber utama pengetahuan masyarakat tentang KB, kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS berasal dari sektor nonpemerintah, seperti swasta melalui media televisi, radio, majalah dan surat kabar.
Oleh karena itu, kata Dini, apabila pemberian informasi hanya boleh dilakukan oleh petugas yang berwenang, maka masyarakat akan semakin kesulitan mendapatkan akses informasi untuk melindungi dirinya sendiri dari IMS dan HIV/AIDS.
Pasal 481 dan 483 RKUHP cenderung mengakibatkan over kriminalisasi terhadap masyarakat, khususnya para kader masyarakat, penyedia layanan (provider) dan masyarakat umum yang mengakses layanan. "Terdapat 80.000 kader KB, 569.477 kader tokoh agama dan tokoh masyarakat terlatih, LSM dan swasta terancam dipidanakan apabila pasal ini disahkan," kata Dini dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (4/2/2018).
Implikasi lainnya, yaitu mengancam keselamatan masyarakat terutama dalam penanggulangan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Data nasional menunjukkan, secara umum sumber utama pengetahuan masyarakat tentang KB, kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS berasal dari sektor nonpemerintah, seperti swasta melalui media televisi, radio, majalah dan surat kabar.
Oleh karena itu, kata Dini, apabila pemberian informasi hanya boleh dilakukan oleh petugas yang berwenang, maka masyarakat akan semakin kesulitan mendapatkan akses informasi untuk melindungi dirinya sendiri dari IMS dan HIV/AIDS.
"Pasal 481 dan 483 juga tidak sejalan atau bersifat kontraproduktif dengan program KB yang diusung oleh pemerintah," lanjut Dini. Peraturan Pemerintah Nomor 61/2014 tentang kesehatan reproduksi menyebutkan, pelayanan kontrasepsi diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, yang meliputi penyediaan sumber daya manusia, logistik, pendanaan dan alat kontrasepsi. Ketentuan tersebut menunjukkan segala aktivitas terkait program KB di atas bukan lagi menjadi ranah mutlak pemerintah, melainkan kerja bersama dengan seluruh elemen, baik pemerintah dan non pemerintah.
"Jika pasal ini disahkan, secara langsung akan mengancam program KB dan kesehatan reproduksi bagi masyarakat," ujar Dini. Atas dasar berbagai implikasi tersebut, Dini mengatakan, YCCP menilai ketentuan tentang kontrasepsi dalam RKUHP sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pembangunan kesehatan di Indonesia. "Karenanya rekomendasi terhadap pasal ini adalah agar pasal 481 dan 483 sebaiknya dihapuskan," kata Dini. Dalam kesempatan tersebut, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Ajeng Gandini Kamilah mengatakan, memang pada pasal terkait ada pengecualian dari yang dimaksud sebagai "pihak yang berwenang".
"Permasalahannya kalau pengecualiannya banyak, untuk apa ada pasal ini? Pasal ini sudah secara sosiologis tidak ada pentingnya masih dalam KUHP," imbuh Ajeng. Sebagai informasi, Pasal 481 menyebutkan, setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, atau secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori 1. Sedang Pasal 483 berbunyi: Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 481 dan pasal 482 jika perbuatan tersebut dilakukan petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan KB dan pencegahan penyakit menular.
sumber: Kompas