Penguatan Kolaborasi Penegakan Hukum di Tingkat Global dan Regional
Dalam perkembangan pergaulan internasional saat ini, tidak mungkin suatu negara dan atau bangsa tidak mengadakan kontak dengan bangsa dan atau Negara lain. Suatu negara tidak mungkin dapat maju dan berkembang apabila mengisolasi diri dari pergaulan internasional, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan maupun kepentingan lainnya, termasuk di bidang hukum.
Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Globalisasi merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakat modern. Pada awalnya, proses ini hanya pada tataran ekonomi, namun dalam perkembangannya cenderung menunjukkan keragaman. Malcolm Waters mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya (Eny Prihtiyani, 2007). Demikian juga dengan wilayah hukum, yang pada akhirnya dipengaruhi oleh ketiga dimensi tersebut. Dengan begitu, universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam
Nilai-nilai global ini sebenarnya merupakan nilai yang didominasi oleh Negara-negara maju. Nilai global identik dengan kooptasi dan hegemoni dari Negara-negara maju yang mempunyai posisi tawar yang jauh lebih besar daripada Negara-negara berkembang. Berbagai konvensi hukum internasional sangat merefleksikan kondisi yang demikian.
Meneliti konstruksi hukum tidak cukup mengkaji apa yang tertuang dalam teks-teks resmi undang-undang, tetapi juga harus menyingkap variabel-variabel non hukum. Artinya, pembentukan hukum pada dasarnya tidak otonom, ia banyak dipengaruhi visi ideologi pembuatnya, sistem politik negaranya, ekonomi, sosial, dan budaya rakyatnya. Bahkan, dipengaruhi interaksi dan kepentingan internasional. Dengan demikian, hukum tidak lahir dari ruang hampa dan bebas nilai. Dunia mengalami restrukturisasi ekonomi global yang mengakibatkan hukum bangsa-bangsa di dunia mengalami internasionalisasi. From legal diasporas to legal ecumenism (Boaventura De Sousa Santos, 1999).
Namun jauh sebelum era globalisasi, pada era sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dan segera sesudahnya, pembentukan hukum di Indonesia juga telah sangat dipengaruhi oleh Negara lain, terutama Belanda, yang merupakan negara yang paling lama menjajah Indonesia. Pengaruh ini merupakan konsekuensi logis dari adanya asas konkordansi yang ada saat itu. Pada setiap langkah dalam proses, fungsi, rute, dan siklus pembentukan hukum, harus mempertimbangkan berbagai hal yang kemudian diolah secara matang. Hal itu terlihat pada analisis kebijakan pada umumnya, yang juga berlaku bagi pembentukan hukum, dimana dapat dibedakan menjadi: (1) Pembentukan hukum berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Inputnya berasal dari hasil penelitian filsafat pemerintahan, teologi pemerintahan; (2) Pembentukan hukum berdasarkan pertimbangan kependudukan. Inputnya berasal dari penelitian demografi pemerintahan, geografi pemerintahan; (3) Pembentukan hukum berdasarkan pertimbangan kemasyarakatan. Inputnya
Dalam era global seperti sekarang ini, pembentukan dan pembangunan hukum nasional tidak lagi dapat melepaskan diri dari pengaruh sekelilingnya (Anthony Giddens, 2002: 168). Pengaruh itu dapat berasal dari sistem hukum yang ada di seluruh dunia maupun fenomena sosial yang ada. Persoalannya adalah bagaimana membangun hukum yang berstruktur sosial Indonesia tanpa meninggalkan trends globalisasi yang melingkupinya (Zudan Arif Fakrullah, 2000: 51) Oleh karena itu, penguatan kerja sama global dan regional merupakan salah satu isu penting di tengah era globalisasi di mana pergerakan ide, manusia, barang, dan teknologi terjadi dengan masif melintasi batas-batas geografis negara (Ulil Amri, 2011: 56). Kerjasama antarnegara, baik pada skala regional maupun global, di masa ini menjadi jauh lebih penting dibandingkan masa-masa sebelumnya untuk mengelola maupun menanggulangi berbagai dampak positif maupun negatif eskalasi pergerakan lintas batas negara. Isu ini menjadi salah satu agenda prioritas dalam Rencana Pembanguan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015- 2019. Dalam Rencana Pembanguan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, kerangka kerjasama global dan regional mencakup banyak sektor dengan penekanan utama pada kerja sama - kerja sama di sektor ekonomi dan beberapa sasaran di sektor lainnya termasuk penegakan hukum. Salah satu sasaran yang hendak dicapai dari agenda prioritas ini adalah peningkatan kualitas kerja sama global untuk membangun saling pengertian antarperadaban, perdamaian dunia, dan mengatasi masalah-masalah global yang mengancam umat manusia.
Penanggulangan masalah-masalah global yang dimaksud dalam RPJMN mencakup persoalan yang luas seperti penangangan transnational organized crime, penyebaran senjata ringan ilegal,
Dari perspektif ruang lingkupnya, kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian internasional dapat dibedakan berdasarkan jumlah negara-negara yang menjadi pihak atau peserta pada suatu perjanjian internasional, yaitu: pertama, perjanjian internasional bilateral/khusus, misalnya perjanjian garis batas wilayah, garis batas landas kontinen, dsb; kedua, perjanjian internasional regional/ kawasan, misalnya perjanjian internasional antara negara-negara ASEAN; ketiga, perjanjian internasional multilateral/universal, misalnya Konvensi Hukum Laut (Abdul Fickar Hadjar, 2017).
Dari segi peraturan perundang-undangan nasional, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang juga memiliki dimensi kerjasama internasional. Beberapa peraturan perundang-undangan mengatur hal-hal yang paling umum dan mendasar terkait dengan kerjasama internasional seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Di samping itu juga, Indonesia sudah memiliki perangkat hukum yang mengatur mengenai ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance) yang merupakan kerjasama internasional yang disebutkan dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi TOC). Kerjasama internasional yang dibolehkan dalam Konvensi TOC antara lain esktradisi (Pasal 16), transfer terhukum (transfer of sentenced persons) [Pasal 17], bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance) [Pasal 18], investigasi bersama (joint investigation) [Pasal 19], pemindahan proses peradilan (transfer of criminal proceeding) [Pasal 21] (Romli Atmasasmita, 2004: 132).
Kejahatan transnasional meliputi berbagai tindakan seperti terorisme, penyelundupan objek-objek arkeologi atau
Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan lembaga penegak hukum di Indonesia seperti kepolisian, kejaksaan, badan intelejen, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk melakukan kerjasama internasional (dalam beragam bentuk) dalam rangka penegakan hukum. Pengaturan terhadap objek atau kewenangan yang sama, dalam hal ini kerjasama internasional, merupakan salah satu potensi terjadinya tumpang tindih pengaturan.
Isu mengenai penguatan kerja sama global dan regional dalam rangka penegakan hukum ini sangat penting, terutama yang langsung terkait dengan ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Ekstradisi merupakan salah satu bentuk kerjasama internasional yang tertua dalam sejarah hukum internasional. Selain itu mekanisme ekstradisi yang harus didahului dengan terlebih dahulu membentuk perjanjian internasional terlebih dahulu, di mana setiap perjanjian ekstradisi memiliki isi yang berbeda satu dengan yang lainnya, menunjukkan adanya kebutuhan untuk dianalisis dan dievaluasi. Adapun dalam kurun waktu tahun 2007-2015 terdapat 8 perjanjian ekstradisi yang dibuat, 4 di antaranya belum diratifikasi), yang menunjukkan lonjakan jumlah yang cukup besar dibandingkan kurun waktu tahun 1974-2004 yang berjumlah 4 perjanjian saja.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian tedahulu, keterikatan negara-negara terhadap hukum atau kaidah-kaidah internasional tidak hanya sebatas penandatanganan dan ratifikasi saja melainkan juga mencakup
Perihal hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini, dikenal adanya dua teori klasik yakni teori dualisme dan monisme hukum. Menurut teori dualisme, hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda, terpisah dan tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan transformasi, dengan perkataan lain, hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum nasional. Teori monisme memandang hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan bersumber dari satu sistem ilmu hukum. Paham monisme ini mengenal adanya pemberian primat terhadap salah satu dari kedua hukum tersebut. Jika dianut primat hukum internasional, maka kedudukan hukum nasional dianggap lebih rendah dan tunduk pada hukum internasional. Sebaliknya apabila dipakai primat hukum nasional, hukum internasional dipandang sebagai kelanjutan hukum nasional yaitu untuk urusan luar negeri.
sumber: rechtsvinding
Diskusi