Dalam perspektif yuridis normatif, pengertian tindak pidana korupsi mengacu pada UU 31/1999 sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016
Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan rumusan kedua pasal tersebut, unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara merupakan syarat mutlak serta bersifat imperatif dalam tindak pidana korupsi.
Adapun, makna dari merugikan keuangan negara adalah sebagai berikut:
- Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk;[1]
- Kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.[2]
Sementara itu, dana donasi yang Anda maksud dikelola oleh yayasan yang secara definisi berarti badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.[3] Artinya, secara kelembagaan, pada dasarnya yayasan tidak berhubungan dengan keuangan negara.
Oleh karena itu, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi apabila perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara secara nyata dan dapat dihitung jumlahnya. Jika tidak berhubungan dengan keuangan negara atau tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, maka tidak dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi.
Meski demikian, terdapat dua kemungkinan untuk menentukan penyalahgunaan dana donasi termasuk korupsi atau tidak, yaitu ada atau tidaknya hubungan kemitraan atau kerja sama dengan pemerintah atau penyelenggara negara dalam menjalankan kegiatan yayasan filantropi yang mengelola dana donasi tersebut.
Apabila yayasan filantropi tersebut menjalin hubungan kerja sama dengan pemerintah atau penyelenggara negara berdasarkan suatu perjanjian dan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut terdapat kerugian keuangan negara, maka berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.
Karena Anda tidak menjelaskan dalam pertanyaan, kami asumsikan bahwa yayasan filantropi yang Anda maksud adalah badan hukum swasta yang tidak terikat dengan perjanjian atau kemitraan dengan pemerintah, sehingga pelaku penyalahgunaan dana donasi tidak dapat dijerat pasal tindak pidana korupsi. Sehingga, tidak dapat dilaporkan ke KPK.
Jerat Pasal Penyalahgunaan Dana Donasi oleh Pengurus Yayasan Filantropi
Selanjutnya, merujuk pada penjelasan di atas, apabila penyalahgunaan dana donasi yayasan filantropi tersebut tidak berhubungan dengan kerugian keuangan negara, maka petinggi atau pengurus yayasan tersebut dapat dilaporkan ke kepolisian dengan menggunakan pasal penggelapan, penggelapan dalam jabatan, penipuan, dan/atau tindak pidana pencucian uang (“TPPU”).
Tindak pidana penggelapan, penggelapan dalam jabatan, dan penipuan, diatur di dalam KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[4] yaitu tahun 2026, sebagai berikut:
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 372 KUHP (Penggelapan) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[5] | Pasal 486 UU 1/2023 (Penggelapan) Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta.[6] |
Pasal 374 KUHP (Penggelapan dalam Jabatan) Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena adanya hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. | Pasal 488 UU 1/2023 (Penggelapan dalam Jabatan) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang tersebut karena ada hubungan kerja, karena profesinya, atau karena mendapat upah untuk penguasaan barang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp 500 juta.[7] |
Pasal 378 KUHP (Penipuan) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. | Pasal 492 UU 1/2023 (Penipuan) Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta.[8] |
Selain ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas, penyalahgunaan dana donasi yang dilakukan oleh pengurus yayasan filantropi juga dapat dijerat pasal TPPU, sebagai berikut:
Pasal 3 UU TPPU
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Untuk menjerat pelaku dengan Pasal 3 UU TPPU, aparat penegak hukum akan menelusuri secara keseluruhan dugaan penyalahgunaan dana donasi tersebut dengan memperhatikan 3 tahapan TPPU, yaitu:[9]
- Placement (penempatan)
Upaya menempatkan uang yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan atau lembaga yang terkait dengan keuangan. Tahap ini adalah tahap pertama dalam proses pemisahan harta kekayaan hasil kejahatan dari sumber kejahatannya.[10]
Misalnya apakah dana donasi yang disalahgunakan pengurus yayasan tersebut dikonversi ke dalam sistem perbankan (pembelian cek, giro, deposito atau pembelian valas), sehingga seolah-olah asal-usul uang tersebut berasal dari hasil yang sah.
- Layering (pemisahan/pelapisan)
Upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.[11]
Sebagai contoh, dana donasi yang disalahgunakan itu dipindahkan dari satu bank ke bank lain, hingga beberapa kali. Selain itu, dapat juga dana dipecah-pecah hingga jumlahnya tidak terdeteksi misalnya membeli barang-barang bernilai tinggi seperti rumah, mobil, atau berlian, bahkan mengubah bentuk mata uang.
- Integration (penggabungan)
Upaya menggunakan hasil harta kekayaan hasil tindak pidana yang telah ditempatkan (placement) dan atau pelapisan (layering) nampak seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, untuk kegiatan bisnis yang halal atau membiayai kembali kegiatan kejahatannya.[12]
Umumnya pelaku mengadakan kegiatan-kegiatan resmi (pengalihan) dari hasil placement atau layering, sehingga seolah-olah harta yang didapatkan tidak ada hubungannya sama sekali antara dana yang dicucinya. Pada tahap ini, uang yang telah dicuci tersebut dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum agar mendapatkan legitimate explanation.
Kemudian, untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU, pada dasarnya tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hal ini diatur di dalam Pasal 69 UU TPPU.
Dengan demikian, pelaku penyalahgunaan dana donasi dapat langsung dilaporkan atas dasar Pasal 3 UU TPPU, meski belum dibuktikan tindak pidana asalnya (penipuan, penggelapan, atau penggelapan dalam jabatan).
Sumber: Hukum Online