INDOMETRO Law Office

Polemik Pengelolaan Sampah: Kesenjangan Antara Regulasi dan Praktik di Lapangan

 


Polemik Pengelolaan Sampah


Masalah pengelolaan sampah merupakan salah satu persoalan pelik yang sangat sulit untuk ditangani oleh pemerintah daerah (pemda). Salah satu contoh kongkret dari peliknya masalah pengelolaan sampah adalah seperti yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta. Volume sampah di Jakarta selalu bertambah, tahun ini produksi sampah di Ibukota sebesar 6.700 ton per hari. Jumlah itu terdiri dari 60% sampah rumah tangga, 20% sampah perkantoran, 10% sampah industri, dan 10% sampah fasilitas publik. Angka itu akan selalu bertambah, setelah setahun sebelumnya produksi sampah di Jakarta berjumlah 5.300 ton per hari. Bertambahnya volume sampah tersebut juga tidak diringi dengan sistem pengelolaan sampah yang lebih baik. Pengelolaan sampah di Jakarta hingga saat ini masih menganut sistem lama, yaitu pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah. Ujung dari sistem ini pun melalui pembuangan ke tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) atau tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi (Zico Rizki). Menurut survey Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH), pengelolaan sampah mayoritas masih konvensional. Dari 64 juta timbunan sampah tiap tahunnya, 69% ditimbun di TPA, 10% dikubur, 7,5% didaur ulang (composting), 5% dibakar, dan 8,5% tak terkelola (Kompas, Rabu, 18 November 2015). 


 

 

Disisi lain, sampai dengan saat ini krisis terkait penanganan sampah merupakan hal yang selalu berulang, karena persoalan pengelolaan sampah Jakarta tidak pernah terselesaikan dengan baik dan tuntas. Beberapa waktu yang lalu sempat terjadi gangguan pengangkutan sampah dari Jakarta menuju TPA Bantargebang yang berdampak pada pada menumpuknya sampah di Jakarta (Kompas, Kamis, 5 November 2015). Krisis yang sama besar skalanya terjadi 14 tahun lalu di Jakarta. Saat itu, 10 Desember 2001, Pemda Jakarta tidak diizinkan membuang sampah di TPA Bantargebang, sehingga sampah mengepung Jakarta. Hal ini membuat DPR turun tangan membujuk Pemkot Bekasi untuk membuka TPA Bantargebang (setelah Gubernur Sutiyoso tidak mampu membujuk Pemkot Bekasi) sehingga pada akhirnya TPA Bantargebang kembali dibuka mulai 15 Desember 2001 (Kompas, 14 Desember  2001). Inti permasalah dalam pengelolaan sampah di Jakarta adalah bahwa penanganan sampah selalu bergantung kepada keberadaan TPA Bantargebang. Apabila fasilitas ini gagal beroperasi karena ditutup secara sepihak oleh yang mempunyai daerah atau karena sebab lain seperti gangguan teknis sehingga harus dihentikan, gagal pula Pemda Jakarta melaksanakan tugas dan fungsinya mengelola sampah. Akibatnya, sampah tidak terangkut dan menumpuk ditempattempat penampungan sementara. Jika persoalan ini terjadi di kota kecil mungkin tidak akan menjadi berita, masalahnya ini terjadi di Jakarta, pusat pemerintahan dan pusat ekonomi di Indonesia (Enri Damanhuri). Pengelolaan TPST Bantargebang sudah salah kaprah sejak awal. Seharusnya bentuknya sanitary landfill, tetapi pada praktiknya menjadi open dumping sehingga memunculkan berbagai persoalan lingkungan dan sosial (Tri Edhi Budhi Soesilo).



 

Penyelenggaraan pengelolaan sampah yang dilakukan pemda selama ini sebagian besar  belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Apalagi pengelolaan sampah dengan menggunakan metode pembuangan sampah secara terbuka (open dumping) jelas-jelas bertentangan dengan teknik penanganan sampah yang berwawasan lingkungan. Disisi lain, saat ini telah berlaku Undang-Undang Nomor 18 Tahun  2008 tentang Pengelolaan Sampah (UU Pengelolaan Sampah), yang di dalammnya tidak saja mengatur bagaimana pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, tetapi juga mengatur bagaimana tugas dan wewenang pemerintah dan pemda, peran serta masyarakat, larangan, bahkan terdapat sanksi pidananya. Untuk itu, perlu diketahui bagaimana konsep penyelenggaraan pengelolaan sampah menurut UU Pengelolaan Sampah, faktorfaktor apa saja yang menghambat implementasi UU dimaksud, serta bagaimana alternative penyelesaian polemik pengelolaan sampah ini dimasa yang akan datang. 


Pengaturan Dalam UU

Sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat (Pasal 1 angka 1 UU Pengelolaan Sampah). Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya juga volume, jenis, dan karakteristik sampah. Permasalahan pengelolaan sampah saat ini telah menjadi permasalahan nasional, sehingga perlu dilakukan upaya yang komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah (Pasal 1 angka 5 UU Pengelolaan Sampah).



 

Untuk dapat menyelenggarakan pengelolaan sampah dengan baik, salah satunya harus merujuk atau berpedoman kepada UU Pengelolaan Sampah, yang merupakan dasar hukum tertinggi bagi pengelolaan sampah di Indonesia serta sebagai dasar hukum bagi kejelasan tanggungjawab pemerintah dan pemda serta peran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Adapun beberapa substansi penting di dalam UU Pengelolaan Sampah meliputi:



 

Pertama, pengurangan dan penanganan sampah, pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga dilakukan melalui usaha-usaha pengurangan dan penanganan sampah (Pasal 19 UU Pengelolaan Sampah). Pengurangan sampah tersebut dilakukan melalui kegiatan pembatasan timbulan sampah; pendauran ulang sampah; dan/atau pemanfaatan kembali sampah (Pasal 20 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah) yang saat ini lebih dikenal melalui konsep 3 R (reduce, reuse, recycle). Hal ini tidak saja dilakukan oleh pemerintah dan pemda, tetapi harus juga dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dan pelaku usaha. Adapun penanganan sampah dilakukan melalui usaha-usaha pemilahan; pengumpulan; pengangkutan; pengolahan; dan/atau pemrosesan akhir sampah (Pasal 22 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah).



 

Kedua, pembiayaan dan kompensasi, pemerintah dan pemda wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah, yang bersumber dari APBN dan APBD (Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengelolaan Sampah). Pemerintah dan pemda secara sendiri-sendiri atau bersamasama dapat memberikan kompensasi kepada orang sebagai akibat dampak negative yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah di tempat pemrosesan akhir sampah, berupa: relokasi; pemulihan lingkungan; biaya kesehatan dan pengobatan; dan/atau kompensasi dalam bentuk lain (Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengelolaan Sampah). 



 

Ketiga, kerjasama dan kemitraan, pemda dapat melakukan kerja sama antarpemda dalam melakukan pengelolaan sampah, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kerja sama dan/atau pembuatan usaha bersama pengelolaan sampah (Pasal 26 UU Pengelolaan Sampah). Pemda kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah, yang dituangkan dalam bentuk perjanjian antara pemda kabupaten/kota dan badan usaha yang bersangkutan (Pasal 27 UU Pengelolaan Sampah).



 

Keempat, peran   masyarakat, masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemda, yang dilakukan melalui: pemberian usul, pertimbangan, dan saran; perumusan kebijakan pengelolaan sampah; dan/atau pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan (Pasal 28 UU Pengelolaan Sampah).



 

Kelima, larangan sanksi pidana, dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah setiap orang dilarang: memasukkan sampah ke dalam wilayah NKRI; mengimpor sampah; mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun; mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan; membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan; melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir; dan/atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah (Pasal 29 UU  Pengelolaan Sampah). Adapun pelanggaran terhadap larangan-larangan dimaksud diancam pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, adapun denda paling sedikit 100 (seratus) juta rupiah dan paling banyak 5 (lima) milyard (Pasal 39 sampai dengan Pasal 43 UU Pengelolaan Sampah).



 

Keenam, pengawasan, pengawasan terhadap kebijakan pengelolaan sampah oleh pemda dilakukan oleh Pemerintah, pengawasan pelaksanaan pengelolaan sampah pada tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pengelola sampah dilakukan oleh pemda, baik secara sendirisendiri maupun secara bersama-sama. Pengawasan yang dilakukan oleh pemda dilakukan dengan didasarkan pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan yang diatur oleh pemerintah (Pasal 30 dan Pasal 31 UU Pengelolaan Sampah).



 

Ketujuh, ketentuan peralihan, pemda harus membuat perencanaan penutupan TPA sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka (open dumping) paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya UU Pengelolaan Sampah. Setelah itu, pemda harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya UU Pengelolaan Sampah (Pasal 44 UU Pengelolaan Sampah). Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yang belum memiliki fasilitas pemilahan sampah pada saat diundangkannya UU Pengelolaan Sampah ini wajib membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lama 1 (satu) tahun (Pasal 45 UU Pengelolaan Sampah). Karena UU ini disahkan tanggal 7 Mei 2008, ini berarti setiap pemda sudah harus membuat rencana penutupan TPA yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lambat tanggal 7 Mei 2009. 




Kemudian setiap pemda harus menutup TPA yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lambat 7 Mei 2013. Selain itu, pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yang belum memiliki fasilitas pemilahan sampah pada saat diundangkannya UU Pengelolaan Sampah ini, wajib membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lambat tanggal 7 Mei 2009.  Hanya saja dalam implementasinya, UU Pengelolaan Sampah ini belum berlaku secara efektif, karena pertama, kurangnya sosialisasi terhadap pemberlakuan UU Pengelolaan Sampah, selain itu beberapa materi yang ada dalam UU tidak bisa serta merta dilaksanakan karena belum diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah, baik itu berupa peraturan pemerinta maupun peraturan daerah; kedua, upaya pengurangan sampah melalui pelaksanaan program 3 R (reuse, reduse, recycle) dirasa kurang efektif dan sangat sulit dilaksanakan, karena dalam implementasinya masih sedikit masyarakat yang melakukannya karena kurangnya kesadaran, fasilitas, maupun sosialisasi. Selain itu, usaha penanganan sampah tidak berjalan efektif karena dalam penanganan akhirnya, tidak ada usaha-usaha untuk memisahkan sampah baik yang organic maupun non organic. 




Sampah yang ada diangkut langsung dicampur untuk kemudian dibuang ke TPA tanpa ada pemilahan terlebih dahulu maupun diproses sesuai dengan tata cara pengelolaan sampah yang ramah lingkungan; ketiga, banyak kepala daerah yang belum serius memiliki TPA sampah yang berpihak pada lingkungan. Penanganan sampah yang saat ini lebih banyak menggunakan metode TPA secara terbuka (open dumping). Apabila diganti dengan metode TPA tertutup (sanitary landfill) memerlukan biaya yang cukup besar, karena diperlukan teknologi maupun lahan yang cukup luas. Praktis kewajiban ini belum dapat terlaksana dengan baik karena keterbatasan lahan dan APBD yang kecil. Menurut Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, serta Bahan Beracun Kemen LH dan Kehutanan 57% (lima puluh tujuh persen) kota/kabupaten yang ditinjaui sebagai peserta Adipura (penghargaan lingkungan Kota/Kabupaten) masih memiliki teknik pengelolaan sampah secara terbuka (open dumping) (Media Indonesia, Sabtu, 21 November 2015). 




Padahal Pasal 44 UU Pengelolaan Sampah secara tegas mengamanatkan bahwa setiap pemda harus memiliki rancangan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dengan menggunakann cara sanitary landfill (sampah dilapisi dengan tanah pada perode tertentu TPA) atau menggunakan teknik controlled landfill (sampah dipadatkan dan dilapisi dengan tanah di TPA). Sehingga praktis pasal peralihan di dalam Pasal 44 sangat sulit dimplementasikan dilapangan. Selain itu, norma tersebut tidak memiliki sanksi baik dalam bentuk pidana maupun administratif, sehingga dalam penegakkan hukumnya sulit dilaksanakan. 


 

Solusi Kedepan

 

Metode penyelenggaraan pengelolaan sampah yang saat ini dilakukan oleh pemda banyak yang tidak sesuai UU. Untuk itu, pemerintah, DPR, pemda, dan pihak lainnya yang terkait perlu segera mengambil langkah-langkah:

 

Pertama, DPR bersama-sama dengan pemerintah harus lebih aktif lagi mensosialisasikan keberlakuan UU Pengelolaan Sampah, yang merupakan pedoman sekaligus juga payung hukum tertinggi bagi pemerintah dan pemda dalam mengatur, mengelola, melaksanakan, sekaligus melakukan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan sampah. Sehingga kedepan, penyelenggaraan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemda dapat dilaksanakan dengan lebih baik dan sesuai bertentang dengan UU Pengelolaan Sampah.



 

Kedua, DPR yang salah satu fungsi adalah melakukan pengawasan, harus segera memanggil pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan sampah diantaranya Kemen LH, pemda, dan pihak terkait lainnya, untuk memastikan bahwa UU Pengelolaan Sampah harus dilaksanakan secara konsukuen;



 

Ketiga, Pemerintah harus segera mendorong agar pemda tidak lagi menggunakan pendekatan open dumping untuk menangani persoalan sampahnyatetapi menggunakan metode pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, misalnya dengan menggunakan metode sanitary landfill, controlled landfill, teknologi pembakaran yang mampu mengurangi jumlah sampah dengan menggunakan metode insenarator, atau cara lainnya yang lebih ramah lingkungan, mengurangi plastik dengan pembatasan di toko ritel, dan mendorong pembangunan fasilitas pengelolaan sampah intermediate treatment facilities (ITF) seperti yang telah diwacanakan oleh Gubernur DKI Jakarta. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus lebih aktif mendorong dan menfasilitasi pemda dengan cara memberikan bantuan baik berupa bantun teknis maupun dana, untuk memastikan setiap pemda melakukan pengelolaan sampah dengan metode yang berwawasan lingkungan.



sumber: rechtsvinding

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال