Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhamad Isnur mengkritik ketentuan Pasal 2 Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dinilai menyimpang dari asas legalitas. Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, Pasal 2 berbunyi, "Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksuda pada ayat 1 (satu) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab".
"Hukum yang hidup dalam masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP menurut Pasal 2 ini tetap berlaku. Ini artinya menyimpangi asas legalitas," ujar Isnur saat dihubungi, Selasa (2/7/2019). Menurut Isnur, ketentuan pasal tersebut membuka celah penerapan peraturan daerah yang cenderung diskriminatif. Pasal ini juga pernah dipersoalkan Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Staf advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Sekar Banjaran Aji mengatakan ketentuan pasal 2 RKUHP sangat berkaitan erat dengan penerbitan Peraturan Daerah (Perda). Dikhawatirkan pengaturan yang tidak ketat dapat memunculkan Perda yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Berdasarkan data Komnas Perempuan, terdapat 460 Perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, ada 45 Perda yang mendiskriminasi kelompok minoritas dan kelompok dengan orientasi seksual berbeda.
Keberadaan perda diskriminatif dinilai memunculkan sentimen negatif hingga tindakan kekerasan terhadap kelompok perempuan dan minoritas. "Meskipun dikatakan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab, ketentuan ini telah membuka celah penerapan hukum seperti yang terlihat dalam perda-perda diskriminatif saat ini," kata Isnur.
sumber: Kompas