INDOMETRO Law Office

Prinsip Kemanfaatan sebagai Dasar Penghapusan Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Fidusia



Seiring majunya kegiatan usaha di Indonesia, hukum terus mengalami dinamika agar dapat menjadi payung hukum atas seluruh aktivitas bisnis. Aktivitas bisnis menjadi salah satu alasan maraknya kegiatan permodalan melalui lembaga pembiayaan. Lembaga pembiayaan adalah suatu kegiatan pembiayaan yang menyediakan dana atau barang dan tidak menarik dana langsung dari masyarakat.


Pada negara Indonesia, pengaturan mengenai Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 1 angka 1 diatur bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pasal 1 angka 2 diatur lebih lanjut bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.



Selanjutnya dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan menjelaskan tentang badan-badan usaha yang dapat berguna untuk kepentingan masyarakat dalam hal penyediaan dana atau barang. Dari lembaga pembiayaan yang sangat pesat perkembangannya adalah perusahaan pembiayaan. Dalam hal ini perusahaan pembiayaan hanya memberikan modal usaha atau dalam bentuk barang. Terbentuknya perusahaan pembiayaan didasarkan atas pengajuan hutang piutang atau kredit. Hutang piutang yang ada di Indonesia tidak harus pada kepercayaan saja tetapi harus diselingi dengan objek jaminan. Di Indonesia jaminan yang dikenal dalam sistem hukumnya adalah jaminan fidusia. (Sunaryo, 2013).


Sifat melawan hukum pidana (Wederrechttelijke)

Hukum pidana adalah hukum undang-undang, demikian selalu dikatakan orang. Kepastian hukum yang hendak dijamin oleh undang-undang pidana, seperti yang diagungkan oleh Pasal 1 ayat (1) KUHP, tidak juga memberikan keadilan. Lahirnya yurisprudensi pertama tentang ajaran sifat melawan hukum materiel pada tahun 1993 (Arrest Hoge Raad, Februari 1933, yang terkenal dengan Veearts arrest), membuktikan bahwa penerapan ajaran sifat melawan hukum formal tidak cukup memberikan jaminan terhadap penemuan keadilan dalam kasus yang konkret. Arrest ini memberikan kelonggaran kepada hakim untuk memberikan keadilan kepada orang yang tidak melakukukan tindak pidana (seperti yang dituduhkan dalam dakwaan jaksa) dengan jalan menyatakan hilangnya sifat melawan hukum formal berdasarkan alasan-alasan di luar undang-undang pidana, yaitu hukum tidak tertulis, yang dalam perkara khusus ini adalah pertimbangan yang secara ilmiah dianggap dapat dibenarkan.



Secara singkat ajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang memuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar, maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.




Ajaran yang materiel mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat bearada pada hukum yang tidak tertulis. Melawan hukum, apabila secara materiel perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum.



Kemanfaatan sebagai alasan hapusnya Sifat Melawan Hukum (Wederrechttelijke)


Dalam praktik, tindak pidana terhadap jaminan fidusia sering dialami oleh perusahaan pembiayaan di Indonesia. Beberapa kasus yang marak terjadi adalah pemberi fidusia dengan sengaja mengalihkan obejek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis dari penerima fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.



Salah satu perkara Tindak Pidana Fidusia dalam Putusan Nomor 3453/Pid.Sus/2017/PN Mdn, dengan kasus posisi Terdakwa membeli secara kredit 1 (satu) unit mobil dan selaku debitur yang memiliki kewajiban setiap bulan sesuai dengan surat perjanjian kredit. kemudian pada tahun 2014 Terdakwa meminjamkan mobil tersebut dengan membuat surat penitipan mobil bermaterai Rp 6.000,- (enam ribu rupiah) dan menerima uang sewa sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), perbuatan Terdakwa meminjamkan mobil tersebut kepada orang lain tanpa sepengetahuan dari pihak PT Toyota Astra Financial Service (PT TAFS) (penerima fidusia) selaku perusahaan pembiayaan kredit mobil tersebut, kemudian setelah dipinjamkan mobil tersebut tidak lagi diketahui keberadaannya.



Terhadap perkara ini Jaksa Penuntut Umum telah membuktikan bahwa perbuatan Terdakwa dalam perkara aquo telah memenuhi semua unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Namun dalam putusannya majelis hakim Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan pada dakwaan kesatu dan dakwaan kedua, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana dan Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).



Pertimbangan hakim terhadap putusan ini menyatakan, 

“bahwa dengan keadaan demikian maka dapat disimpulkan bahwa terdakwa ada kemauan dan kemampuan membayar hanya tidak sebesar yang ditentukan oleh penerima fidusia sehingga pemberesan hutang pihutang ini dapat diselesaikan secara perdata yaitu gugatan perdata dan bukan pidana maka walaupun terdakwa dalam perbuatannya terbukti memenuhi unsur dakwaan tetapi karena dari fakta-fakta adalah terdakwa yang telah membayar selama 20 (dua puluh) bulan dan uang muka Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak mampu membayar lagi karena objek fidusia dilarikan oleh orang yang menyewa mobil objek fidusia” 

“bahwa dari segi tujuan hukum salah satu adalah kemanfaatan maka adalah lebih tepat dan bermanfaat jika penyelesaian perkara ini diselesaikan dengan atau secara proses perdata” 


Dari pertimbangan tersebut dapat memberikan arti bahwa kemanfaatan merupakan aspek yang penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan sifat melawan hukum suatu perbuatan. Bagaimana hakim memperhatikan anasir-anasir yang berada diluar hukum dan memperhatikan alasan-alasan yang terdapat dalam diri pelaku.



Prinsip kemanfaatan sebagai alasan hapusnya sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana sesungguhnya menjadi warna baru dalam penegakan hukum pidana khususnya di Indonesia. Penegak hukum kiranya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan yang mana tidak mempermasalahkan baik atau tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung kepada pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan manfaat kepada manusia atau tidak.



Dengan demikian, Penegak hukum pada perkara pidana khususnya tindak pidana fidusia kiranya memperhatikan prinsip kemanfaatan. Penegak hukum diharapkan tidak hanya memperhatikan pemenuhan unsur melainkan juga harus memperhatikan prinsip kemanfaatan sebagai unsur keadilan yang hendak dicapai. Penegak hukum harus dapat menilai sikap batin pelaku tindak pidana yang mendasari suatu perbuatan tindak pidana fidusia itu terjadi. Prinsip Kemanfaatan dapat dijadikan suatu jurisprudensi sebagai penghapus unsur sifat melawan hukum pidana dalam perkara tindak pidana fidusia.



sumber: rechtsvinding

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال