PUTUSAN Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/ Pdt.G/2022/ PN Jkt Pst tanggal 2 Maret 2023, telah menarik perhatian banyak pihak. Bagaimana tidak, suatu putusan perdata memerintahkan proses tahapan pemilu yang saat ini berlangsung harus dihentikan, dan kemudian tahapannya dimulai lagi dari awal dengan akumulasi waktu 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Apabila putusan ini dilaksanakan, maka pelaksanaan pemilu 2024 akan tertunda ke tahun 2025.
Di satu sisi dapat dipahami bahwa niat dari putusan tersebut untuk memberikan perlindungan kepada salah satu partai politik (parpol) yang merasa haknya telah dirugikan. Lantas bagaimana dengan hak dari seluruh parpol yang telah berstatus sebagai peserta pemilu tahun 2024? Apabila seluruh tahapan harus diulang dari awal, otomatis seluruh parpol peserta pemilu tersebut juga harus mengulang mulai dari proses pendaftaran. Hal ini tentu juga harus dikaji secara mendalam apa dampaknya kedepan. Jangan sampai karena alasan perlindungan satu kelompok berakibat kerugian yang berdampak kepada khalayak banyak. Digital Humaniora dan Arah Baru Ilmu Budaya di Indonesia Artikel Kompas.id Putusan Perdata kontroversial Untuk itu akan dilakukan analisis kajian mengenai putusan PN Jakpus tersebut.
Pertama, mengenai kompetensi absolut dari PN Jakpus terhadap perkara aquo. Berdasarkan putusan PN Jakpus, dapat dilihat bahwa objek dari gugatan penggugat adalah adanya kerugian akibat tidak lolosnya penggugat ketahapan verifikasi faktual parpol calon peserta pemilu 2024. Objek gugatan dalam hukum perdata adalah karena adanya perbuatan wanprestasi dan/atau perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian materil dan/atau immateril. Dengan demikian, apabila ditarik dari kasus tersebut, maka mengenai kerugian yang dialami oleh Partai Prima dapat saja masuk ke ranah Perdata. Walaupun sebenarnya masih lebih layak bila perkara tersebut digugat melalui ranah hukum tata usaha negara di PTUN.
Pasalnya, kerugian yang dialami tersebut adalah akibat tindakan dari pejabat tata usaha negara dan juga dalilnya dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Kedua, melihat dalil gugatan penggugat bahwa hal yang merugikannya adalah tindakan KPU dalam proses verifikasi, maka sepatutnya hakim dalam ranah hukum perdata seharusnya menghukum KPU atas tindakannya saja. Apabila tindakan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis, maka dokumen bentuk tertulis tersebutlah yang dibatalkan oleh hakim. Hal ini juga dikarenakan sifat dari hukum perdata bersifat privat, yang artinya mengenai hubungan hak dan kewajiban antarperorangan sehingga daya ikat putusan tersebut harusnya hanya terhadap pihak yang berperkara saja.
Hal privat ini yang kemudian menjadi tolok ukur adanya istilah “kurangnya para pihak” dalam hukum acara perdata, sehingga suatu kewajiban untuk terlebih dahulu menarik seluruh pihak yang berkaitan dengan perkara kedalam gugatan, agar kemudian dapat dihukum secara perdata. Ketiga, yang kemudian mengakibatkan kontroversi saat hakim PN Jakpus dalam perkara perdata menganulir ranah pemilu yang bersifat publik. Bahkan pelaksanaan pemilu tersebut telah diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 dan UU Nomor 7 tahun 2017 (UU Pemilu). Sehingga pertimbangan hakim dalam putusannya yang menjadikan norma “Pemilu Lanjutan” dan “Pemilu Susulan” sebagai acuan memutuskan adalah tidak tepat.
Pasalnya, secara tidak langsung telah memberikan penafsiran dengan menilai tindakan KPU yang tidak cermat, tidak teliti, tidak profesional dan tidak adil tersebut dapat dijadikan dasar penundaan pemilu 2024. Sedangkan berdasarkan UU Pemilu, yang dapat menjadi akibat pemilu lanjutan dan pemilu susulan hanya apabila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya di sebagian atau seluruh wilayah NKRI. Maka tentu putusan tersebut telah bertentangan dan menabrak norma konstitusi dalam Pasal 22E UUD 1945 dan Pasal 167 ayat (1) UU Pemilu yang secara eksplisit telah menentukan waktu pelaksanaan pemilu setiap 5 tahun sekali. Bahkan dari kewenangannya, peradilan tingkat pertama tidak berwenang menafsirkan UU. Wewenang penafsiran UU hanya ada pada peradilan di atasnya, yaitu Mahkamah Agung (MA).
Sedangkan dalam menafsirkan UUD 1945 diberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga bilapun dikaitkan dengan kebebasan dan kemandirian hakim dalam mengadili suatu perkara, bukanlah berarti kebebasan dan kemandirian tersebut tak terbatas, karena adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur. Sehingga berdasarkan hal itu, tidaklah akan menimbulkan masalah jika PN Jakpus hanya memutuskan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar ganti rugi kepada Partai Prima. Namun yang menjadi masalah ketika putusan perdata tersebut menyentuh kepentingan publik, dan yang lebih fatalnya ketika putusan tersebut telah menabrak Konstitusi dan UU Pemilu.
Koreksi sistem Penegakan Hukum Pemilu Di sisi lain tidak dapat dipungkiri, peristiwa ini telah menambah referensi tentang perlunya dilakukan kembali perbaikan terhadap sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia. Khususnya terhadap putusan PN Jakpus ini, di mana yang menjadi asal muasalnya adalah dari adanya permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu di Bawaslu, yang diajukan oleh Partai Prima terhadap KPU atas Berita Acara Nomor 232 tahun 2022 yang menyatakan partai prima Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam tahapan verifikasi parpol. Kemudian Bawaslu memeriksa dan memutus permohonan tersebut dalam putusan Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022 dengan mengabulkan sebagian dan memerintahkan untuk melakukan perbaikan dokumen dan verifikasi dokumen persyaratan perbaikan, yang selanjutnya para pihak menerima dan melaksanakan putusan Bawaslu tersebut.
Namun setelah dilakukannya proses perbaikan, KPU kemudian menerbitkan berita acara terhadap perbaikan yang telah dilakukan Partai Prima dengan tetap menyatakan TMS terhadap Partai Prima yang tertuang dalam Berita Acara KPU Nomor 275 tahun 2022. Sehingga atas hal itu, Partai Prima kemudian kembali mengajukan upaya administratif ke Bawaslu. Namun berdasarkan hasil verifikasi permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, sebab hal itu merupakan objek permohonan yang dikecualikan karena sudah pernah diperiksa dan diputus oleh Bawaslu. Maka kemudian Partai Prima mengajukan gugatan kepada PTUN Jakarta, dengan objek gugatan adalah Berita Acara KPU Nomor 275 tahun 2022.
Namun terhadap gugatan tersebut PTUN Jakarta mengeluarkan penetapan Dismissal Nomor 425/ G/ 2022/PTUN.JKT yang menyatakan gugatan penggugat “tidak dapat diterima dan PTUN Jakarta tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara aquo”. Artinya PTUN belum memeriksa materil/substansi dari gugatan tersebut. Sesuai pasal 471 UU Pemilu, putusan PTUN tersebut sudah bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Hal ini yang kemudian mengakibatkan Partai Prima menempuh jalur di luar upaya hukum pemilu, yaitu dengan menggunakan upaya hukum perdata guna memperjuangkan hak-haknya melalui gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) di pengadilan negeri.
Tidak ada lagi upaya hukum pemilu yang dapat ditempuh. Sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa proses pemilu pun, antara PTUN dengan Bawaslu memiliki persepektif yang berbeda dalam memaknai keputusan KPU yang menjadi objek sengketa proses dalam UU Pemilu. Dalam perspektif Bawaslu, keputusan KPU yang dapat dijadikan objek sengketa dapat berbentuk surat keputusan dan/atau berita acara sebagaimana pasal 15 Peraturan Bawaslu Nomor 9 tahun 2022. Sedangkan menurut PTUN, objek sengketa tersebut adalah berbentuk surat keputusan. Sehingga perlu dilakukan penyamaan persepsi di antara lembaga penegak hukum pemilu untuk kepastian hukum.
Selain itu, MA sebagai peradilan di atasnya juga perlu menetapkan suatu standar/batasan terhadap badan peradilan di bawahnya dalam penanganan perkara, guna meminimalkan tumpang tindih wewenang antara badan peradilan yang satu dengan badan peradilan lainnya. Akhirnya terhadap putusan PN Jakpus tersebut perlu diatensi oleh MA dan KY, sehingga di kemudian hari tidak menjadi preseden buruk dalam sistem penegakan hukum khususnya penegakan hukum pemilu. Kemudian terhadap upaya banding/kasasi yang dilakukan, diserahkan kepada Pengadilan Tinggi dan/atau MA sesuai wewenangnya, harapannya wajib untuk dikaji secara mendalam dengan aspek pertimbangan yang berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum.
sumber: Kompas