Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat
Contoh kasus Putri Nur Fauziah (PNF) yang ditemukan tewas pada 1 Oktober 2015 di dalam sebuah kardus yang ditemukan di Kampung Belakang, Kamal, Jakarta Barat. Dari hasil olah TKP oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya PNF sebelum dibunuh terlebih dahulu mengalami kekerasan seksual oleh tersangka.
Macam-Macam Kekerasan terhadap Anak dan Dampaknya
Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiayaan emosional atau pengabaian terhadap anak. Menurut “Journal of Child Abuse and Neglect”, penganiayaan terhadap anak adalah kegagalan dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian dan kerusakan fisik atau emosional.
- Kekerasan fisik, berupa meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, menarik telinga atau rambut mengakibatkan guncangan terhadap anak yang mengakibatkan tekanan Intrakranial, pembengkakan otak, kekurangan oksigen yang mengarah pada pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, gangguan pernapasan, dan pupil melebar.
- Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak pelakunya mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk menekan kepada anak untuk melakukan aktivitas seksual,kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak meski tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi. Pengaruh pelecehan seksual dijelaskan bahwa anak merasa bersalah, kenangan buruk, Insomnia, takut hal-hal yang berhubungan dengan pelecehan; termasuk benda, bau, tempat dan wajah tertentu. Psikolog anak dan konselor pola asuh Maria, M.Psi. menuliskan dalam milisnya bahwa ada dua jenis pelecehan seksual, yakni fisik dan verbal. Pelecehan seksual fisik ditandai dengan adanya sentuhan yang bersifat sensual yang tidak di inginkan di beberapa area tubuh korban. Sedangkan pelecehan seksual verbal ditandai dengan katakata sensual (dapat berupa rayuan maupun komentar yang bersifat negative) yang ditujukan kepada korban. Dalam jangka panjang korban pelecehan seksual akan mengarah ke masalah kepribadian, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, melukai diri sendiri, depresi dan keinginan bunuh diri. Menginjak dewasa ia dikhawatirkan akan mengalami gangguan identitas disosiatif (kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan) dan Bulimia Nervosa.
- Kekerasan emosional sebenarnya agak sulit didefinisikan karena sifatnya tidak menyakitkan secara fisik, namun kekerasan emosi justru dikhawatirkan menjadi pemicu utama adanya kelainan-kelainan pada proses tumbuh kembang anak karena terkadang pelakunya adalah orangorang terdekat dan secara tidak sadar melakukan kekerasan secara emosional dalam kurun waktu yang lama. Yang merupakan bentuk kekerasan emosional kepada anak termasuk nama panggilan, ejekan, membandingkan kekurangan dan kelebihan dengan orang lain, penyiksaan atau perusakan terhadap benda atau binatang kesayangan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas, memutuskan komunikasi dan penghinaan. Korban kekerasan emosional biasanya bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan. Korban pelecehan emosional cenderung tak berdaya dan cenderung bersikap pasif.
Perlindungan Anak dalam Perundang-Undangan
Negara menjamin perlindungan terhadap anak melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
UU Nomor 35 Tahun 2014 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Oktober 2014 banyak mengalami perubahan paradigma hukum, diantaranya memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali dalam hal penyelenggaraan perlindungan anak, serta dinaikannya ketentuan pidana minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak,serta diperkenalkannya sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi, yaitu pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Khusus untuk Anak yang berhadapan dengan hukum yangberhak mendapatkan restitusi adalah
Tantangan yang Dihadapi dan Upaya yang Harus Dilakukan
- Meskipun UUPA telah mengalami perubahan menjadi UU No. 35 Tahun 2014, DPR RI dan pemerintah harus menghadirkan UU yang khusus berupa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam prolegnas prioritas tahun 2016 agar dapat menjadi landasan hukum bagi tindakan yang harus dilakukan dalam meminimalisir dan menghentikan kekerasan seksual di Negara ini.
- Para penegak hukum masih memiliki kendala dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kekerasan seksual. Oleh karena itu, Negara harus meningkatkan kapasitas para penegak hukum agar lebih terlatih menangani kasus-kasus kekerasan seksual, mereka juga perlu memiliki sensitivitas terhadap korban sehingga lebih sungguh-sungguh bekerja, dan fasilitas yang memadai sehingga dapat dengan mudah mengenali kejahatan seksual ini.
- Menjamin tersedianya pusat-pusat rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual anak di setiap kota di Indonesia yang pengelolaannya dapat dilakukan bersama-sama dengan komponen-komponen terpilih di masyarakat yang memiliki kepeduliaan terhadap pengasuhan, pemulihan masa depan anak. Pusatpusat rehabilitasi ini harus dikelola secara profesional dengan anggaran yang mencukupi sehingga negara memberikan jaminan pemulihan yang seimbang. Pusat-pusat rehabilitasi ini perlu diintegrasikan dengan peran penyidik dan peran-peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).