INDOMETRO Law Office

Tinjauan Hukum Perdata terhadap Fenomena "Split Bill"


Dalam beberapa minggu terakhir ini, viral di lini masa media sosial tentang unggahan seorang perempuan yang memperoleh pesan "tagihan" pengeluaran dari laki-laki pasangan kencannya. Dari tangkapan layar percakapan, sang perempuan dikirimi detail pengeluaran makanan yang telah ia pesan sejumlah Rp 47.500 agar kemudian ditransfer ke rekening si laki-laki. Seperti biasa, unggahan semacam ini akhirnya menimbulkan diskusi sengit di kolom komentar.


Sebagian warganet menyerang sang laki-laki karena dalam perkencanan, pria memang sudah sewajarnya menanggung pengeluaran wanita. Namun, komentar lain menyalahkan sang perempuan karena dianggap memanfaatkan pasangan kencan untuk makan gratis. Ada pula argumen bahwa laki-laki sama sekali tidak wajib membayar biaya makan karena pasangan kencannya bukanlah istri atau orang yang wajib dinafkahi.


Membagi Tagihan


Split bill atau tagihan terpisah dalam konteks perkencanan adalah membagi tagihan (biasanya makanan) antara masing-masing individu pasangan secara mandiri. Dalam Cambridge Dictionary, definisi yang serupa merujuk pula pada istilah go Dutch dan semakin populer dengan semakin berkembangnya paham feminisme di negara Barat. Namun karena Indonesia adalah negara yang sangat didominasi oleh pandangan patriarki, fenomena split bill selanjutnya memicu perdebatan antara benturan etika moral dan aspek legalitas.


Pada prinsipnya, hubungan perkencanan sebenarnya merupakan salah satu bentuk perjanjian yang tunduk pada Pasal 1320 KUH Perdata. Artinya, ada dua pihak atau lebih yang bersepakat bertemu di suatu titik dan tempat tertentu untuk melakukan kegiatan bersama seperti menonton film, makan, atau sekadar mengobrol. Maka dari itu, para pihak yang terikat dalam "perjanjian kencan" tersebut harus pula beriktikad baik. Namun, masalah timbul ketika pihak pria yang umumnya membiayai pengeluaran tiba-tiba menagih ongkos pengeluaran wanita setelah kencan berakhir. Padahal, hal ini sama sekali tidak pernah menjadi pembahasan sebelum perjanjian kencan disepakati.


Kebiasaan yang Berlaku Umum


Meskipun klausul mengenai split bill tidak pernah tercantum dalam perjanjian kencan, tetapi perlu diingat bahwa berdasarkan teks Pasal 1339 KUH Perdata, persetujuan juga mengikat terhadap segala sesuatu yang menurut sifatnya dapat dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang. Maka dari itu, merupakan hal yang wajar apabila wanita setidak-tidaknya berprasangka berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum, pengeluaran selama kencan akan ditanggung penuh oleh pria.


Asumsi di atas bersumber dari fakta antropologi sejarah bahwa selama jutaan tahun, pejantan Homo sapiens berperan sebagai pemburu-pengumpul, seraya menjadi buruan bagi predator yang lebih besar. Hanya pada 400.000 tahun silam, ada beberapa spesies manusia yang mulai berburu hewan besar secara rutin. Baru pada sekitar 100.000 tahun lalu, Homo sapiens menjadi pemuncak rantai makanan (Harari, 2018:12-13).


Pada era modern, konstruksi sosial pria sebagai pencari nafkah (man as provider) masih dipertahankan melalui ajaran agama dan peraturan yuridis yang bersifat imperfecta (tanpa disertai sanksi), sedangkan wanita memiliki peran tradisional yang lebih submisif (women as homemaker). Walaupun tentu saja, gerakan wanita karier kini makin lantang disuarakan seiring dengan kesetaraan gender, dan terdapat sejumlah minoritas pasangan yang bahkan mengaplikasikan atribut pria sebagai bapak rumah tangga (house husband).


Perikatan Alam


Selain karena perjanjian, perikatan dapat pula lahir karena ketentuan undang-undang, salah satunya yang disebut sebagai perikatan alam (natuurlijke verbintenis) sebagaimana diatur dalam Pasal 1359 KUH Perdata. Perikatan jenis ini sangat unik karena berdiri di antara kepatutan moral yang bersifat etis dan kewajiban normatif yang bersifat fakultatif.


Contoh: karena murni merasa kasihan, A memberikan sejumlah uang modal kerja kepada B. Apabila di kemudian hari B menjadi pengusaha kaya, maka ia tidak memiliki kewajiban hukum untuk mengembalikan pemberian A (schuld) tersebut meskipun telah ditagih. Di sisi lain, A secara legal pun tidak memiliki haftung yang dapat memaksa supaya B mengembalikan uang modal kerja yang dulu ia pernah berikan. Dengan kata lain, relasi antara A dan B merupakan hubungan schuld (kewajiban berprestasi) tanpa haftung (tanggung jawab yuridis).


Konstruksi berpikir perikatan alam di atas dihubungkan dengan Pasal 1339 KUH Perdata dapat menjadi solusi masalah mengenai split bill kencan yang sebelumnya tidak diperjanjikan. Bagi pria yang menghendaki sistem split bill, klausul demikian harus jelas dinyatakan di depan ketika ia mengajak wanita berkencan. Namun apabila "pasal" tersebut tidak pernah disepakati di awal, maka si wanita boleh saja menolak untuk membayar porsi pengeluarannya yang tiba-tiba ditagihkan di kemudian hari.


Argumen di atas timbul karena berdasarkan Pasal 1339 KUH Perdata, perjanjian juga mengikat terhadap kebiasaan yang umumnya berlaku di masyarakat. Karena kultur di masyarakat Indonesia masih didominasi pandangan patriarki bahwa pria sebagai penyedia, maka sudah sewajarnya bahwa pengeluaran selama berkencan harus ditanggung penuh oleh sang pria−apalagi jika ia adalah pihak yang memulai ajakan kencan.


Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pria yang tidak menyebutkan klausul split bill ketika mengajak berkencan dengan sendirinya merupakan pihak yang tidak memiliki haftung. Namun jika si wanita bersedia membayar porsi pengeluaran kencannya secara sukarela, maka perikatan alam tersebut berubah menjadi perikatan pada umumnya sebagaimana Buku III KUH Perdata (J. Satrio, 1993).


Untuk menghindari kesalahpahaman yang berpotensi muncul di kemudian hari, penting bagi masing-masing individu untuk secara transparan berkomunikasi menyampaikan rules mereka sebelum sepakat berkencan. Walau konstruksi perikatan alam merupakan alternatif pemecahan solusi split bill melalui pendekatan yuridis, perlu diingat bahwa aturan hukum tertulis tidak serta merta selalu mampu menggantikan norma kewajaran dan dimensi moral yang berlaku di masyarakat. Keterbukaan dan rasa percaya merupakan kunci dalam setiap hubungan, terutama bila hubungan kencan tersebut ternyata berlanjut ke jenjang yang lebih serius.


sumber: Detik News

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال