INDOMETRO Law Office

Usulan Pengurangan Pasal Pidana dalam UU Pemilu



Panitia Kerja (Panja) DPR terus membahas revisi UU No 10 Tahun 2008 yang mengatur Pemilu Legislatif. Kala ini, dua pakar hukum pidana dihadirkan untuk memberi masukan terhadap aturan pidana dalam UU itu. Apakah aturan pidana yang ada di dalamnya masih relevan digunakan atau termasuk bagian yang akan direvisi.Ini salah satu pertanyaan yang ditujukan ke dua ahli pidana itu, Prof. Aswanto (Universitas Hasanuddin) dan Topo Santoso (Universitas Indonesia).


Dekan Fakultas Hukum Unhas Aswanto menilai pasal pidana dalam UU Pemilu saat ini terlalu banyak. “Dari Pasal 260 sampai Pasal 311. Hitungan saya ada 41 pasal mengenai pidana. Pengalaman saya waktu menjadi Panwaslu Provinsi, teman-teman di lapangan kesulitan mengkualifikasi tindak pidana yang ada dalam UU itu,” ujarnya di Gedung DPR, Rabu (29/2).


Aswanto berharap dalam UU Pemilu seharusnya pasal yang mengatur pidana jangan terlalu banyak. Ia mengusulkan agar pasal pidana dalam UU Pemilu ke depan ‘diperas’ lagi agar semakin sedikit dan padat. “Idealnya cukup 10 pasal saja yang mengatur tindak pidana,” ujarnya.


Usulan sepuluh pasal pidana ini, lanjut Aswanto, mengacu kepada adanya 10 tahapan dalam pemilu. Dari pendaftaran hingga ke pengambilan sumpah. “Jadi, Panwas akan lebih mudah mengimplementasikan di lapangan. Kita sering membuat UU atau aturan pidana tapi tak memikirkan bagaimana implementasinya kelak,” ujarnya.


Aswanto bukan asal omong. Ia mengaku menemukan adanya ketentuan dalam UU No.10 Tahun 2008 ini bahwa norma perbuatan pidananya (actus reus) tidak ada, tetapi justru ada ancaman pidananya. “Saya pernah menemukan ini. Saya ingatkan, kalau aturan pidana sebanyak UU yang sekarang, ini bukan UU Pemilu, tetapi mirip KUHP,” ujarnya.


Berdasarkan catatan hukumonline, salah satu pasal dari UU No 10/2008 yang dinilai bermasalah adalah ketentuan larangan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Meski larangan itu tidak dikategorikan sebagai tindak pidana namun UU ini memberi ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya.


Lebih lanjut, Aswanto menuturkan sebaiknya pidana pemilu didefinisikan terlebih dahulu sebelum mencantumkan sanksi pidana. Ia menjelaskan setidaknya ada dua poin untuk mendefinisikan pidana pemilu. Pertama, perbuatan yang melanggar hak seseorang untuk memilih atau dipilih. Kedua, perbuatan yang membuat pemilu tak terlaksana atau terlaksana tapi tak berjalan secara demokratis. “Itu ukurannya,” tegas Aswanto.


Anggota Panja dari PDIP Ganjar Pranowo khawatir bila pasal pidana dikurangi maka pelaksanaan pemilu akan ‘diakali’ oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. “Apakah nanti orang justru akan bermain-main dengan pelaksanaan pemilu?” ujarnya. Ia berpendapat sebenarnya tak ada ukuran yang pasti berapa pasal pidana yang pas untuk UU Pemilu.


Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Topo Santoso membuat perbandingan Indonesia dengan negara-negara di ASEAN. Ia menjelaskan pasal pidana dalam UU Pemilu di Indonesia saat ini sebenarnya sama dengan aturan yang ada di Malaysia dan Singapura. “Di Filipina malah ada 100-an pasal pidana dalam UU Pemilu-nya,” jelasnya.


Topo memang tak menyebutkan berapa pasal pidana yang layak untuk dimasukan ke dalam UU Pemilu, tetapi ia meminta agar 41 pasal pidana yang ada sekarang dikaji ulang. “Kalau diberikan kriminalisasi terlalu banyak tetapi tidak fokus. Ada norma lalu sekedar dikasih sanksi pidana, itu akan membahayakan. Kita harus cek lagi pasal-pasal itu,” jelasnya.

Misalnya, dalam UU Pemilu yang berlaku saat ini, ancaman pidana terbanyak ditujukan kepada penyelenggara. Yakni, Petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). “Orang yang capek menghitung seharian, lalu ada yang terselip sedikit bisa kena pidana. Dan prakteknya, ancaman pidana itu tidak dijalankan juga,” ujarnya. 


Sumber: Hukum Online

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler

Iklan


Iklan

نموذج الاتصال