Kriteria Orang di Bawah Pengampuan dalam Perspektif Hukum Perdata
Orang di Bawah Pengampuan Menurut Pasal 433 KUH Perdata
Pengampuan adalah suatu keadaan seorang yang telah dewasa dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, sehingga diampu oleh orang yang berhak untuk mengampu. Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah pengampuan adalah seperti seorang yang belum dewasa, dimana ia tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah.
Siapa saja yang termasuk dalam pengampuan diatur di dalam Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi:
Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.
Ketentuan Pasal 433 KUH Perdata ini, menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, ada 3 alasan untuk pengampuan, yaitu karena:
- Keborosan (verkwisting);
- Lemah akal budinya (zwakheid van vermogen);
- Kekurangan daya berpikir: sakit ingatan, dungu (onnozelheid) dan dungu disertai sering mengamuk (razemij).
Lebih lanjut, dalam Pasal 434 KUH Perdata ditegaskan bahwa:
Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila, atau gelap mata. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.
Berdasarkan Pasal 436 KUH Perdata, yang berwenang menetapkan pengampuan adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang akan diajukan pengampuan.
Aturan Orang di Bawah Pengampuan Pasca Putusan MK
Pasal 433 KUH Perdata telah diujikan ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) dan telah diputus dalam Putusan Nomor 93/PUU-XX/2022. Putusan tersebut menyatakan bahwa kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” dan kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” tidak dimaknai “adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual”, dan sepanjang kata “harus” tidak dimaknai “dapat” (hal. 478). Sehingga ketentuan Pasal 433 KUH Perdata selengkapnya menjadi (hal. 478):
Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.
MK berpendapat bahwa berkenaan dengan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” mempunyai kesamaan karakter dengan istilah disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Oleh karena itu, MKi menimbang penting dan relevan untuk mengaitkan isu “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata dengan pengertian disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang secara substansial saat ini telah diatur di dalam UU 8/2016, sebagai wujud kehadiran negara untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap para penyandang disabilitas (hal. 462).
Adapun Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 dan penjelasannya menerangkan bahwa ragam penyandang disabilitas meliputi:
- Penyandang disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layu atau kaku, paraplegi, cerebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
- Penyandang disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome.
- Penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku antara lain:
- Psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
- Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.
- Penyandang disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.
Norma Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 dan penjelasannya tersebut memiliki kaitan, bahwa istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang ada di dalam KUH Perdata bertalian erat bukan hanya dengan pengertian disabilitas mental, namun juga dengan pengertian disabilitas intelektual. Keterkaitan dimaksud tidak lain disebabkan antara lain karena disabilitas mental maupun disabilitas intelektual keduanya bermuara pada suatu kondisi di mana seseorang tidak mampu untuk melakukan analisis dan membuat keputusan, atau dengan kata lain seseorang tidak mampu untuk secara layak mempertimbangkan akibat/risiko dari suatu tindakan yang dilakukannya (hal. 463).
Sebagai informasi, dalam Pasal 32 UU 8/2016 dan penjelasannya diatur bahwa penyandang disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap (orang yang belum dewasa dan/atau di bawah pengampuan) berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
Lebih lanjut, dalam pertimbangan putusan MK tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 433 KUH Perdata dan UU 8/2016, orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, yang bersangkutan kadang-kadang berada dalam keadaan baik atau cakap. Artinya, ada saatnya orang dalam ketiga kategori demikian dipandang cakap untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum. Sementara itu, penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual mempunyai hak keperdataan dengan cara memilih atau mewakilkan kepentingan keperdataannya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Artinya, yang bersangkutan dapat bertindak sendiri untuk memilih maupun mewakilkan hak-hak keperdataannya (hal. 468).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat bahwa pemaknaan kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata merujuk pada kata “dapat” dalam Pasal 32 UU 8/2016. Artinya, setelah ada Pasal 32 UU 8/2016, maka Pasal 433 KUH Perdata dimaknai bahwa bagi/terhadap setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, baik permanen atau pun sementara, pengadilan negeri memiliki pilihan apakah akan menetapkan yang bersangkutan berada di bawah pengampuan atau tidak, sepanjang pengadilan negeri dimaksud didasarkan pada fakta hukum di persidangan khususnya yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ahli serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 jo. Pasal 436 sampai dengan 446 KUH Perdata (hal. 468 – 469).
Pengadilan negeri dapat berkesimpulan bahwa orang yang dimohonkan untuk ditempatkan di bawah pengampuan apabila yang bersangkutan terbukti dalam keadaan baik atau cakap, dan mampu bertindak serta bertanggung jawab secara hukum, maka permohonan pengampuan tidak beralasan untuk dikabulkan. Sedangkan jika fakta hukum membuktikan hal yang sebaliknya, yaitu pemohon terbukti dalam keadaan tidak baik atau tidak cakap, pengadilan negeri akan mengabulkan permohonan pengampuan tersebut (hal. 469).
Sumber : Hukum Online
Diskusi