Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan dalam KUHP dalam Perspektif UUD 1945
Dalam keterangannnya DPR yang diwakili oleh Ruhut Sitompul menjelaskan bahwa ketentuan tersebut yang tercantum KUHAP telah sejalan dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 28 UUD 1945. Menurut Ruhut, ketentuan tersebut justru melindungi kemerdekaan seseorang. Seseorang dapat dikenai tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan seperti yang tercantum dalam Pasal 335 ayat (1) KUHAP sesuai dengan pertimbangan subjektif penyidik.
“Jika keluarga terdakwa/tersangka berkeberatan dengan yang dilakukan oleh penegak hukum, maka keluarga terdakwa/tersangka dapat melakukan upaya praperadilan. Namun tersangka dapat ditahan dengan bukti yang cukup jika terdakwa akan menghilangkan barang bukti. Jika keluarga tersangka/terdakwa berkeberatan dengan penyidikan yang berlangsung, dapat mengajukan upaya praperadilan,” urainya.
Sementara Pemerintah melalui Ditjen Litigasi Kemenhukham Mualimin Abdi mengungkapkan permohonan Pemohon tidak berkaitan dengan konstitusionalitas Pasal 335 ayat ayat (1) KUHP dan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, melainkan permasalahan implementasi norma. Mualimin menjelaskan dalam beberapa putusan MK, harus dibedakan antara pengujian konstitusionalitas UU dengan constitutional complaint.
“Hal yang dialami Pemohon terkait dengan penerapan di publik, namun tidak seusai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sesungguhnya yang dipermasalahkan Pemohon lebih kepada implementasi Pemohon, namun Pemohon mengajukan ke MK sebagai masalah konstitusionalitas norma,” papar Mualimin.
Menurut Pemerintah, Mualimin melanjutkan, apabila ada kekurangan atau kelemahan dalam tataran praktik seperti yang dialami Pemohon mengenai pemberitahuan penangkapan, hal itu masuk sikap penegak hukum yang tidak profesional. Apabila dalam praktiknya, jelas Mualimin, ada hal yang tidak profesional, dapat dilaporkan pada propepam. “Atau juga sudah disediakan hal lain, yaitu dengan upaya praperadilan lembaga peradilan,” jelasnya.
Mualimin menuturkan pihak Pemerintah telah berkoordinasi kepada pihak kepolisian yang bersangkutan dan menemukan informasi yang berbeda-beda. “Dalam kasus pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XI/2013, yakni Hendry Batoarung Madika, ada alamat yang tidak lengkap. Dan seringkali penegak hukum mengirimkan melalui jasa POS, namun terkadang hanya disampaikan kepada kelurahan,” jelasnya.
Pemohon Perkara Nomor 1/PUU-X/2013, yakni Oei Alimin Sukamto Wijaya, melalui kuasa hukumnya Muhammad Sholeh menyatakan kliennya tersebut terlibat perkelahian di Hotel Meritus, Surabaya pada 5 Agustus 2012 lalu dan menjadi tersangka akibat Pasal 335 ayat (1) KUHP. Sementara itu, Hendry Batoarung Madika, menyatakan, ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP mengatur tentang tembusan surat penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Hendry ditangkap karena kasus Narkoba.
Dalam kurun waktu 24 hari setelah penangkapan, keluarga Hendry baru menerima surat perintah penangkapan dan sudah melakukan upaya hukum praperadilan. Namun upaya ini ditolak hakim, karena KUHAP tidak mengatur pemaknaan mengenai berapa lama kata “segera”. Menurut Pemohon, penerapan Pasal 18 ayat (3) KUHAP oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia khususnya tentang pemaknaan kata “segera”, waktunya tidak pasti. Hal ini tidak menjamin kepastian hukum karena warga negara diperlakukan tidak sama di depan hukum.
Diskusi