Pemindahan Hak Berdasarkan Hukum Tidak Tertulis
Hukum tidak tertulis merupakan norma ataupun peraturan tidak tertulis yang sudah digunakan oleh warga dalam kehidupan sehari-hari. Hukum tidak tertulis merupakan hukum yang tidak dituliskan ataupun tidak dicantumkan dalam perundang-undangan, contohnya hukum adat.
Jika ada perbuatan yang menurut hukum adat atau menurut hukum yang hidup di dalam masyarakat dianggap termasuk perbuatan yang melawan hukum, maka KUHP tidak akan mengatakan perbuatan tersebut bersifat melawan hukum karena KUHP hanya mengacu pada aturan tertulis.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan, tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Dalam pasal yang mengandung asas legalitas tersebut dituliskan kata “perundang-undangan” yang mengacu pada aturan tertulis. Sehingga, yang dapat dikatakan suatu perbuatan melawan hukum atau tidak dengan sistem formil, mengacu pada aturan tertulis.
Pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak mungkin dilakukan disebabkan asas legalitas lahir untuk menjawab ketidakpastian hukum akibat kesewenang-wenangan penguasa. Asas legalitas ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana karena asas ini menentukan perbuatan mana saja yang dianggap sebagai perbuatan pidana.
Namun, untuk kedudukan hukum tidak tertulis atau hukum pidana adat dalam sistem hukum di Indonesia diakui dalam Pasal 5 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Tindak pidana adat sebagaimana substansi pengaturan dari hukum pidana adat secara yuridis formal baru mempunyai hukum semenjak dikeluarkan dan diundangkannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil.
Namun, suatu perbuatan untuk dapat dipidana tidak harus perbuatan itu diancam pidana dulu oleh KUHP atau perundang-undangan lainnya meskipun undang-undang belum atau tidak mengancam perbuatan itu.
Apabila ketentuan hukum yang tidak tertulis menganggap suatu perbuatan itu sebagai perbuatan tercela, maka tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atas dilakukannya perbuatan itu.
Hukum tidak tertulis juga dapat digunakan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang memiliki kekuatan untuk menggunakan hukum tidak tertulis sebagai dasar pemutus. Menurut Abintoro Prakoso dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, apabila ternyata dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuannya atau jawabannya, maka barulah mencari dalam hukum kebiasaan atau kearifan lokal.
Hukum kebiasaan ini adalah hukum tidak tertulis, yang untuk menemukannya adalah dengan cara menanyakan kepada tokoh masyarakat atau warga yang dianggap mengetahui tentang kebiasaan masyarakat setempat.
Sebagai seseorang yang memiliki peran penting dalam penegakan hukum, hakim dapat melakukan konstruksi melalui nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Sumber : Hukum Online
Diskusi