Revisi Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Akan Dilakukan
Penerapan pasal-pasal yang dianggap bermasalah tidak hanya memicu perdebatan di masyarakat terkait dengan aspek keadilannya, namun juga keprihatinan pemerintah terhadap penerapan pasal yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya aturan tersebut.
Proses revisi UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terus berlangsung di parlemen. Salah satu kegiatan yang dilakukan DPR adalah menjaring masukan dari berbagai pihak. Maklum, materi UU 19/2016 banyak menuai kontroversi, sehingga diperlukan revisi.
Wakil Ketua Komisi I DPR Utut Adianto, mengatakan implementasi UU 19/2016 selama ini tak jarang menimbulkan masalah seperti Pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 dan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 yang mengatur pencemaran nama baik dan/atau penghinaan melalui internet. Karenanya diperlukan rumusan baru agar tidak menimbulkan polemik dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum.
Pasal 27 ayat (3) menyebutkan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Sedangkan Pasal 45 ayat (3) menyebutkan, “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Berbagai masukan yang disampaikan berbagai kalangan terhadap revisi UU ITE idealnya masuk dalam bagian penjelasan atau norma. Komisi yang dipimpinnya terus menjaring masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat.
“Masukan dan saran untuk pasal ini akan kita selesaikan sebaik-baiknya bukan secepat-cepatnya, karena ini UU yang niatnya baik tetapi bisa merepotkan banyak pihak,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu melalui keterangannya Jumat (9/6/2023) pekan kemarin.
Sementara Wakil Ketua Komisi I Bambang Kristiono berharap RUU ITE mampu mengikuti dinamika perkembangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan perlindungan hukum di bidang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dengan lebih baik. Menurutnya tidak mudah membuat ketentuan hukum di bidang teknologi informasi karena perubahannya sanat pesat.
“Karakteristik aktivitas teknologi informasi di dunia siber yang bersifat lintas batas yang tidak lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial negara,” ujarnya.
Bambang menilai, implementasi UU 19/2016 di masyarakat kerap menghadapi sejumlah masalah yang perlu segera diantisipasi. Misalnya persoalan tentang penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik dan/atau penghinaan secara daring. Sebagian masyarakat keberatan dengan ketentuan tersebut.
Salah satu permasalahan yang muncul dan perlu diatasi adalah keberatan sebagian masyarakat terhadap Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 yang belum mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Karenanya, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) memberikan pedoman terhadap beberapan pasal yang dianggap bermasalah.
“SKB ini kemudian memicu kontroversi di masyarakat,” ujarnya.
Politisi Partai Gerindra itu menekankan penerapan pasal-pasal yang dianggap bermasalah tidak hanya memicu perdebatan di masyarakat terkait dengan aspek keadilannya namun juga keprihatinan pemerintah terhadap penerapan pasal yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya aturan tersebut.
“Penggunaan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan tujuan dibuatnya pasal-pasal tersebut dianggap dapat menjaring subjek-subjek yang seharusnya tidak menjadi sasaran dari pengaturan Undang-Undang ini,” ujarnya.
Bambang mengatakan, terhadap berbagai persoalan itu, pemerintah dan DPR bakal menyempurnakan UU 19/2016 melalui revisi dengan cara membenahi sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Selain itu UU 19/2016 harus diselaraskan dengan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baginya, kendatipun aktivitas dunia siber sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun sesungguhnya masih tetap melibatkan masyarakat yang hidup di dunia nyata. Karenanya, pelaksanaan hak-hak di dunia nyata maupun dalam aktivitas pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia siber sangat berpotensi mengganggu ketertiban dan keadilan dalam masyarakat apabila tidak terdapat harmoni antara hukum dan teknologi informasi.
Sumber : Hukum Online
Diskusi