Dampak Pengesahan KUHP Baru terhadap Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah
Pengesahan UU tentang KUHP yang Baru
Pada tanggal 2 Januari 2023 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terlepas dari perdebatan dan pro-kontra tentang sebagian materi di dalam KUHP, UU ini merupakan “masterpiece” dari produk legislasi di Indonesia, karena setelah Indonesia merdeka selama 77 tahun baru saat ini kita berhasil membentuk KUHP menggantikan KUHP produk kolonial (wetboek van strafrecht) yang pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP juga telah disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, berdasarkan Pancasila (Ketentuan menimbang huruf b KUHP).
Seiring dengan keberlakuan KUHP, terdapat catatan penting yang kiranya akan menjadi fokus dalam tulisan ini, yakni bagaimana implikasi disahkannya KUHP ini terhadap keberlakuan ketentuan pidana yang ada di UU atau Peraturan Daerah. Ketentuan Peralihan Pasal 613 KUHP menyatakan:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, setiap Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu Undang-Undang ini.
Ketentuan mengenai penyesuaian ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang.
Jika mencermati ketentuan pasal ini, timbul pertanyaan, apakah setelah KUHP disahkan semua UU atau perda yang memuat ketentuan pidana harus direvisi? Karena Pasal 613 KUHP menimbulkan beberapa interpretasi, yakni apakah semua UU dan perda yang mengatur ketentuan pidana harus direvisi atau cukup hanya membentuk satu UU khusus yang mangatur untuk itu. Walaupun menurut ketentuan Pasal 624, KUHP mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, hanya saja implikasi dari keberlakuan KUHP harus diperhitungkan, karena menyangkut keberlakuan terkait ketentuan pidana di UU atau perda lain, yang juga berkaitan dengan arah pembangunan dan politik legislasi kedepan.
Materi Baru yang Penting Terkait Pengenaan Sanksi Pidana
Terkait dengan sinkronisasi antara UU dan perda yang di dalamnya memuat ketentuan pidana dengan KUHP, terdapat beberapa materi penting di dalam UU tentang KUHP yang terkait dengan prinsip pempidanaan dan rumusan ketentuan pidana yang perlu disinkronisasikan, yaitu:
Jenis pidana
Pasal 64 KUHP mengatur pidana terdiri atas: pidana pokok; pidana tambahan; dan pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Dalam Pasal 65 ayat (1) KUHP diatur pidana pokok terdiri atas: pidana penjara; pidana tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial. Pasal 66 ayat (1) KUHP menyatakan pidana tambahan mencakup: pencabutan hak tertentu; perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan; pengumuman putusan hakim; pembayaran ganti rugi; pencabutan izin tertentu; dan pemenuhan kewajiban adat setempat. Kemudian Pasal 67 KUHP menyatakan pidana yang bersifat khusus merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.
Pidana denda
Pasal 78 KUHP menyatakan pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak ditentukan minimum khusus, pidana denda ditetapkan paling sedikit Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Pasal 79 ayat (1) KUHP menyatakan pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:
a. kategori I, Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b. kategori II, Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. kategori III, Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
d. kategori IV, Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
e. kategori V, Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
f. kategori VI, Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
g. kategori VII, Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan
h. kategori VIII, Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Kemudian Pasal 79 ayat (1) KUHP menyatakan dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pidana dan Tindakan bagi Korporasi
Pasal 118 KUHP mengatur pidana bagi Korporasi terdiri atas: pidana pokok; dan pidana tambahan. Pasal 119 KUHP menyatakan pidana pokok adalah pidana denda. Pasal 120 ayat (1) KUHP menyatakan pidana tambahan bagi Korporasi terdiri atas: pembayaran ganti rugi; perbaikan akibat Tindak Pidana; pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan; pemenuhan kewajiban adat; pembiayaan pelatihan kerja; perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana; pengumuman putusan pengadilan; pencabutan izin tertentu; pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu; penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/ atau kegiatan Korporasi; pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Korporasi; dan pembubaran Korporasi.
Istilah
Beberapa istilah di dalam KUHP yang dirasa penting untuk disinkronkan dengan UU dan perda lainnya, yaitu:
Setiap Orang adalah orang perseorangan, termasuk koorporasi (Pasal 145 KUHP);
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau yang disamakan dengan itu, maupun perkumpulan yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu (Pasal 146 KUHP).
Beberapa poin krusial dalam pengaturan di dalam Buku Kesatu KUHP ini sangat penting untuk menjadi acuan dalam perumusan ketentuan pidana di dalam UU dan Perda lainnya, serta merupakan terobosan baru sekaligus juga pembaharuan bagi perumusan ketentuan pidana di Indonesia.
Ketentuan Peralihan UU tentang KUHP dan Implikasinya
Ketentuan Pasal 613 KUHP tentulah harus ditelaah secara mendalam. Karena apabila dicermati hal ini dapat diartikan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 613 KUHP dapat dimaknai bahwa pada saat UU ini berlaku, setiap UU dan Perda yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu KUHP. Adapun penyesuaian ketentuan pidananya diatur dengan UU. Ini berarti penyesuaian tersebut haruslah dimuat dalam UU khusus atau bisa diinterpretasikan UU atau Perda lain harus juga disinkronkan dengan ketentuan-ketentuan di dalam KUHP.
Hanya saja di dalam penjelasan Pasal 613 KUHP, interpretasi apakah semua UU dan Perda yang memiliki ketentuan pidana semua harus disesusaikan dengan KUHP tidak tergambar dengan jelas. Karena penjelasan Pasal 613 KUHP hanya menyatakan: dalam ketentuan ini, penyesuaian ketentuan pidana tidak termasuk bagi ancaman pidana denda yang diatur dalam Undang-Undang pidana administratif. Adapun penjelasan selanjutnya merujuk kepada Penjelasan Pasal 187 KUHP.
Pasal 187 KUHP menyatakan “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang. Penjelasan Pasal 187 KUHP menyatakan: Frasa "menurut Undang-Undang” dalam ketentuan ini hanya terkait dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus Tindak Pidana yang menurut sifatnya adalah:
a. dampak viktimisasi (korbannya) besar;
b. sering bersifat transnasional terorganisasi (transnational organized crime);
c. pengaturan acara pidananya bersifat khusus;
d. sering menyimpang asas-asas umum hukum pidana materiel;
e. adanya lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat dan memiliki kewenangan khusus (misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia);
f. didukung oleh berbagai konvensi intemasional baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum; dan
g. merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat (super mala per se) dan sangat dikutuk oleh masyarakat (strong people condemnation).
Pengecualian di atas juga berlaku bagi besaran pidana denda dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana yang berpotensi menimbulkan kerugian yang besar bagi negara/masyarakat. Ini berarti bahwa beberapa UU yang mengatur hal-hal seperti yang telah disebutkan di atas dapat mengatur berbeda dari Ketentuan Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu. Sehingga bisa juga diartikan bahwa setelah disahkannya UU tentang KUHP akan ada satu UU khusus yang mengatur materi-materi yang telah disyaratkan didalam Pasal 613 ayat (2) KUHP.
Ini adalah kerja besar, karena Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR D) harus melakukan review terhadap seluruh UU dan Perda untuk memenuhi ketentuan Pasal 613 KUHP. Apalagi ditengah target-terget legislasi yang tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) baik itu jangka panjang maupun tahunan yang kurang menggembirakan, ketentuan Pasal 187 bab Pasal 613 KUHP merupakan tantangan besar dan beban baru bagi kerja-kerja legislasi kedepan.
Perumusan Ketentuan Pidana Kedepan
Penafsiran terhadap Pasal 613 dan Pasal 187 KUHP di atas bisa benar, tetapi juga bisa salah. Untuk itu diperlukan sosialisasi dan penegasan khususnya mengenai materi dari KUHP khususnya terkait dengan sinkronisasi rumusan ketentuan pidana di UU atau Perda lain yang juga merumuskan ketentuan pidana oleh para perumus dan juga Pemerintah dan DPR RI, agar tidak terjadi kebingungan, kekhawatiran, dan perbedaan penafsiran dimasyarakat, apalagi di kalangan pemerintah daerah dan DPRD sebagai pembentuk Perda. Penyamaan persepsi ini sangat penting, karena hal ini akan berpengaruh terhadap pembentukan dan kualitas di bidang legislasi baik di pusat maupun di daerah, khususnya pada materi pengaturan yang terkait dengan ketentuan pidana.
Selain itu, materi-materi terkait pemidanaan yang diatur di dalam KUHP harus dijadikan acuan/pedoman untuk penyempurnaan pasal-pasal terkait ketentuan pidana di UU lain dan perda, karena prinsip-prinsip pemidanaan yang diatur dalam KUHP telah disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia berdasarkan Pancasila.
Sumber : Artikel Hukum
Diskusi